Kisah Inspiratif

Nur Husin, Mengabdi di Kampung Kristen

Nur Husin saat mengajar di TPQ di Dusun Kwangenrejo, Desa Leran, Kecamatan Kalitidu (Foto: Mahbub Khoiron).

Nur Husin saat mengajar di TPQ di Dusun Kwangenrejo, Desa Leran, Kecamatan Kalitidu (Foto: Mahbub Khoiron).

Waktu dhuhur tersisa sepertiga ketika Nur Husin pulang dari hutan mencari kayu bakar. Aktivitas ini sampingan saja selepas ia menjalani pekerjaan utama sebagai tukang es keliling sejak pagi. Sudah puluhan kilometer ia tempuh, pindah dari sekolah ke sekolah, dari kampung ke kampung, untuk menjajakan dagangannya. Dalam letih, selanjutnya Husin mesti bergegas mandi, berangkat ke mushala, dan mengajar hingga menjelang maghrib tiba.

Husin merupakan satu-satunya guru ngaji di Dusun Kwangenrejo, Desa Leran, Kecamatan Kalitidu. Jarak Kwangenrejo belasan kilometer dari pusat kota Bojonegoro. Kanan kirinya terhampar sawah penduduk. Di tepi selatan, kampung ini berbatasan dengan hutan mahoni. Menuju ke sana berarti menyusuri kelokan jalan tak rata, berbatu dan berdebu. Ada satu mushala, dua gereja, dan tiga puluhan anjing piaraan warga.

Orang-orang biasa menyebutnya “Kampung Kristen”. Sebutan ini lebih populer ketimbang nama
administratif sebagaimana tercatat di kantor kelurahan. Data populasi penduduk menunjukkan, dari sekitar 55 kepala keluarga (KK), 60 persen di antaranya beragama Kristen dan 35 persen beragama Islam. Selebihnya adalah penganut di luar dua agama ini.

Dua gereja di Kwangenrejo mewakili dua organisasi Kristen Protestan, yakni Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU) dan Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB). Organisasi GKJTU berpusat di Salatiga, Jawa Tengah, sementara GPIB di Jakarta. Masing-masing memiliki tata cara ibadah dan perisitilahan yang khas. Penatua Gereja GKJTU Jemaat Kwangenrejo, Yono, mengibaratkan hubungan keduanya seperti dua kamar berbeda yang berada dalam satu rumah. Satu keluarga di Kwangenrejo bisa terdiri dari pengikut organisasi gereja yang berbeda, bahkan agama yang tak sama.

“Meski berbeda, alhamdulillah seluruh penduduk hidup rukun. Perbedaan keyakinan bukan masalah bagi penduduk di sini,” kata Suharjo, Ketua RT 37/RW 10, alamat Mushala Darus Salam, tempat Husin rutin mengajar ngaji.

Melawan Himpitan Ekonomi

Meski berdarah Bojonegoro, Husin bukan penduduk asli Kwangenrejo. Rumah asalnya ada di Desa Karangan, Kecamatan Kepohbaru, sekitar 40 kilomerter dari tempat tinggalnya kini. Ia mulai menetap di Kwangenrejo pada 2011 setelah menikah dengan perempuan teman dari istri sahabatnya semasa di pesantren. Tahun pertama tak ada yang ia lakukan kecuali beradaptasi. Hingga akhirnya ia “kepergok” pintar mengaji dan mulai merintis taman pendidikan al-Qur’an atau TPQ.

Perjuangan Husin tidak gampang. Ia mendirikan TPQ ketika ia sendiri belum bisa sepenuhnya mandiri. Untuk urusan tempat tinggal, ia ikut bersama mertuanya. Husin juga terpaksa melakoni pekerjaan kasar untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Ia tak mungkin jadi pegawai karena tidak memiliki ijazah SD. Pria kelahiran 20 Juni 1984 ini diminta ayahnya pindah ke pesantren saat ia duduk di kelas lima madrasah ibtidaiyah.

Bumi Kwangenrejo juga tak memberinya banyak harapan. Permukaan tanahnya gersang. Hasil sawah kurang menjanjikan. Hutan milik Perhutani di dekatnya hanya menyediakan kayu bakar atau tanah tegalan yang tak seberapa. Maklumlah bila hampir seluruh penduduk di sana hidup dalam kemiskinan.

“Hanya ada dua mata pencaharian utama warga Kwangenrejo, petani atau pembalak liar,” ujar Suharjo. Kedua pilihan ini sama-sama sulit. Dalam rezim pupuk mahal dan bahan pangan impor, petani tetap akan sukar hidup sejahtera. Sedangkan untuk menjadi pencuri kayu di samping harus memiliki tenaga fisik ekstra, risiko pamungkasnya adalah penjara.

Pernah pada Mei 2009 selepas shubuh, satu peleton polisi bersenjata lengkap mengepung Kwangenrejo dalam sebuah operasi penggrebekan. Petugas Polwil Bojonegoro berhasil mengamankan dua truk berisi 350 gelondong kayu mahoni hasil pembalakan liar. Hampir seluruh pria dewasa kabur. Rupanya polisi telah mengidentifikasi Kwangenrejo sebagai pusat peredaran kayu ilegal, mereka menjulukinya “Kampung Pencuri Kayu”.

“Zaman krisis moneter dan reformasi memang ramai sekali aksi pembalakan liar. Tapi sekarang sudah tidak lagi,” kata Sumidi, pensiunan polisi hutan yang masih tinggal di Kwangenrejo sejak 1988.

Apa yang dirasakan umumnya penduduk, juga dialami Husin, bahkan mungkin lebih memilukan. Penghasilannya sebagai penjual es hanya cukup untuk kebutuhan dasar istri dan anak perempuannya. Itu pun setelah berbagai siasat pemenuhan dilakukan.

“Itulah kenapa saya bersusah payah mencari kayu bakar di hutan. Biar elpijinya irit. Pendapatan pas-pasan, jadi mesti pintar mengondisikan,” tuturnya.

Di samping bertangung jawab menyediakan uang belanja keluarga, Husin seringkali juga harus menanggung sendiri kebutuhan santri-santri TPQ. Semangat Husin untuk menetap dan mengajar di Kwangenrejo sempat oleng. Karena tidak kerasan, Husin membawa anak dan istrinya boyong ke kampung halaman orang tuanya di Kepohbaru.

Namun di luar dugaan, belum lama ia pindah rombongan satu mobil warga Muslim Kwangenrejo datang ke Kepohbaru dan memintanya kembali. “Kami butuh Sampean. Siapa lagi yang mengajar ngaji kalau bukan Sampean?”

Bagi warga Kwangenrejo Husin adalah tokoh, oase bagi anak-anak muslim yang tak mengenyam pendidikan agama selama ini. Husin malu dengan anggapan seperti itu. Menurutnya, dirinya hanya lulusan pesantren kecil di kampungnya. Memang bertahun-tahun ia pulang-pergi ikut ngaji di Pesantren Langitan, salah satu pesantren terpandang di Jawa Timur. Tapi itu ia lakukan hanya tiap hari Ahad. Lagi pula mengajar ngaji memang kebiasaannya sejak usia belasan tahun. Dia terlahir di lingkungan keluarga pengajar ngaji.

Suasana sepi Mushala Darus Salam adalah kelaziman di desa miskin ini. Padahal ia satu satunya pusat tempat ibadah umat Islam di Kwangenrejo. Sejak didirikan pada tahun 1982, jamaah hingga memenuhi empat shaf saja dapat dihitung dengan jari. Fauzan, sang pendiri mushala, tak bisa berbuat banyak.

“Saya ini tho mas. Selain pendatang, saya ini tidak pintar ngaji. Entah, masyarakat kok memanggil saya kiai,” tuturnya.

Kiai Fauzan sehari-hari sebatas menjadi imam di mushala rintisannya. Bacaannya tidak lancar dan kental dengan aksen Jawa. Sebagian orang percaya, Kiai Fauzan menghafal surat-surat pendek dari huruf Arab yang dilatinkan.

Alhamdulillah, sekarang ada Nak Husin. Mushala jadi tambah hidup,” terang pria usia 63 tahun itu.

Melihat air mata dan harapan besar warga, Husin tak kuasa menolak. Tekadnya memuncak. Ia kembali ke Kwangenrejo, melakoni rutinitas seperti sedia kala; menjadi penjual es keliling untuk anak-anak sekolah, pergi ke hutan, lalu mengajar ngaji sore dan sore hampir setiap hari. Jumat ia tetapkan sebagai hari libur, tapi Husin tidak menolak bagi anak kampung yang memintanya membimbing baca al-Qur’an bakda maghrib.

Kali ini perjuangan Husin lebih mantab. Masyarakat mulai mendukung kerja keras pengabdiannya. Sekembali dari Kepohbaru, masyarakat membantu Husin memperbaiki tempat tinggal baru yang mengambil bagian belakang rumah mertuanya. Rumah kayu itu tampak sangat kuno. Karena bekas dapur, rumah 8 x 5 meter itu tak memiliki jendela. Cahaya matahari masuk lewat dinding kusam yang bolong atau atap celah genting yang sudah berlumut. Satu lampu neon untuk seluruh isi rumah menggantung di atas dinding bambu yang menyekat kamar tidur dan ruang tamu. Dapur dan ruang tamu adalah ruangan yang sama.

“Meja dan bangku ini sumbangan masyarakat sini, termasuk warga Kristen. Mereka baik-baik,” kata Husin menujuk sebuah meja tanpa taplak dan dua bangku kayu sepanjang dua meter.

Masyarakat Abangan

Masyarakat plural di Kwangenrejo secara umum memang baik dan mampu berdampingan secara
harmonis. Tapi bagi Husin selalu ada sisi lucu dan aneh yang membuat nalar keagamaannya tak sanggup menjangkau. Saat umat Islam Kwangenrejo mengadakan doa bersama untuk para leluhur, umat Kristen kerap menitipkan nama agar juga ikut didoakan.

“Mereka datang membawa kertas berisi nama-nama. Setiap satu nama kadang mereka hargai seribu rupiah. Begitu pula kalau umat Kristen punya hajat, yang diundang dan diminta mendoakan ramai-ramai juga orang Islam,” jelas Husin senyum-senyum.

Namun hal itu tak terjadi apabila yang mepunyai hajat adalah orang Islam. Menurut ketua RT setempat, mengundang penganut Kristen ke acara maulid atau rajaban dikhawatirkan menyinggung perasaan mereka, lantaran pengajian umumnya mengulas hal-hal khusus tentang ajaran Islam. Warga Kwangenrejo juga sanggup berpindah agama berkali-kali selayaknya memilih warung pecel.

Hanya karena diminta menjadi buruh tani oleh pemilik sawah, seseorang bersedia murtad dari Islam ke Kristen atau sebaliknya. Tapi tak banyak yang mampu menyogok penduduk. Mayoritas sibuk dengan kondisi ekonominya masing-masing. Mushala dan gereja pun tak sementereng di kota-kota.​​​​​​​

Dengan kenyataan seperti ini, Husin menolak data populasi yang mengungkapkan bahwa warga Kwangenrejo bisa dibagi dalam kelompok besar, yakni Kristen dan Islam. Menurutnya, mayoritas di dusun miskin ini adalah abangan, bahkan tidak beragama. Goyahnya akidah dengan sedikit iming-iming “kesejahteraan” adalah bukti konkretnya.

Anak Susah Mengaji
Setelah menetap sekitar hampir setahun sejak 2011, melihat pandangan dunia masyarakat muslim di sana yang demikian, Husin berinisiatif membuka TPQ di Mushola Darus Salam. Baginya, mengajar anak-anak mereka adalah hal yang paling penting.

Gayung pun bersambut, pihak Mushola mendukung penuh ide Husin. Akhirnya, pengajaran mengaji dimulai meski dengan santri minim. “Awalnya hanya tiga anak, lalu lama kelamaan bertambah,” imbuhnya.

Proses pembelajaran pun tak semulus yang dibayangkan. Ketika orang tua santri diminta membelikan buku panduan cara cepat baca al-Qur’an metode an-Nahdliyah—mereka menyebutnya jilidan—tak satu pun dari mereka merespon. Padahal, harganya tak lebih dari Rp 2000.

Untuk menambal kekosongan itu, Husin dulu sempat bingung dari mana bisa mendapatkan jilidan untuk santri-santrinya sementara untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja masih serba kekurangan. Cukup berat baginya membeli jilidan untuk 50-an santri, meskipun yang aktif hadir sering hanya 25-30 anak. Celana pendek dan kaos oblong adalah “seragam” keseharian mereka.

“Saya tak mungkin mengandalkan orang tua santri yang sama-sama hidup pas-pasan. Semangan pendidikannya juga pas-pasan. Akhirnya saya bertekad untuk menyisihkan sedikit demi sedikit hasil jualan saya untuk membeli jilidan,” kisahnya.

Tiap hari Husin kuwalahan menangani pembelajaran peserta didiknya seorang diri. “Dulu, sebelum istri punya tanggungan anak, dia biasa menemani saya mengajar, namun saat ini sudah sibuk merawat putri kami yang baru berusia satu setengah tahun.”

Jika untuk buku seharga Rp 2000 saja berat, jangan tanya bagaimana wali santri akan menggaji guru anak-anak mereka tiap bulan. Mereka tidak ada waktu berpikir ke arah itu. Lagi pula pikiran semacam ini juga tak pernah terlintas di pikiran Husin.

“Dia tidak pernah sekalipun mau menerima uang dari warga. Padahal dari segi ekonomi dia sangat membutuhkan,” cerita Suharjo, Ketua RT. Suharjo mengaku betul-betul salut ketulusan pemuda pendatang yang satu ini.

Saat ini yang dibutuhkan Husin adalah perhatian orang tua terhadap anaknya. Ia mengaku tak semua peserta didiknya sanggup ia kelola. Teruma ketika anak menjelang kenaikan jenjang SMP.

Seolah tradisi, manakala pelajar purna di bangku sekolah dasar maka purna pulalah masa mereka mengaji. Ia merasa beruntung belakangan sudah memberi mereka materi akhlak dari kitab Akhlaqul Banin dan Taisirul Khalaq; serta hukum Islam dasar dari kitab Mabadi’ul Fiqih ketika mereka menginjak kelas enam SD. Setidaknya belak tersebut mengurangi kekhawatiran masa depan santri di tengah kampungnya yang “tak beragama” dan dunia perganulan yang kian bebas.

Pelan-pelan tahun ini ia juga sukses mendorong dua santrinya nyantri ke Pondok Pesantren Modern Syakur Al-Marzuqi Nglingi, Ngasem, sekitar 15 kilometer dari Kwangenrejo. Husin berharap, mereka kelak dapat membantu hidupnya syiar Islam di Kwangenrejo. Menunjang, bahkan melanjutkan, perjuangan yang ia dan Kiai Fauzan lakukan.

Bentuk bantuan seperti itulah yang paling berharga bagi Husin. Apakah Husin tak membutuhkan sumbangan materiil?

“Oh, tentu. Tapi tolong diusahakan jangan berupa uang. Barang akan lebih afdol. Saya yang miskin takut menunggangi TPQ.” Husin lalu menerawang, santri-santrinya kelak juga bisa memakai pakaian seragam, memiliki perpustakaan, dan merayakan pesta khataman. “Doakan saya istiqamah,” tuturnya.

Penulis: Mahbib Khoiron

​​​​​​​====

Artikel liputan ini pertama kali dimuat dalam buku "Mendidik Tanpa Pamrih. Kisah Para Pejuang Pendidikan Islam" (Jakarta : Kemenag RI, 2015).

Kisah Inspiratif Lainnya Lihat Semua

Artikel Lainnya Lihat Semua

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Koordinat
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Nol
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Kumpul
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Temu
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Jenuh