Kisah Inspiratif

Hj Bariroh: Mengantar Anak Jalanan ke Panggung Wisuda

Hj Bariroh: Mengantar Anak Jalanan ke Panggung Wisuda

Hj Bariroh: Mengantar Anak Jalanan ke Panggung Wisuda

Dengan modal basmalah ia merintis upaya pengentasan anak-anak dari jalanan. Melalui pesantrennya, kini ia menjadi mitra strategis pemerintah dalam pengentasan anak jalanan.
***

Suatu ketika petugas dari Dinas Sosial dan aparat kepolisian kembali datang untuk menengok keadaan anak-anak jalanan hasil razia yang dititipkan di pesantren. Seperti biasa, satu persatu anak jalanan itu diabsen, namun kali ini para petugas itu terkejut, anak-anak titipan mereka itu marah dan menolak dipanggil anak jalanan. “Jangan panggil kami anak jalanan lagi, sudah gak ada itu anak jalanan. Kami ini santri Fathul Khoir.”

Demikian sepenggal peristiwa beberapa tahun silam yang hingga kini masih berkesan di benak Hajjah Bariroh, pengasuh Pondok Pesantren Fathul Khair, Sumur Bandung III Harjamukti, Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Mubalighah kelahiran Cirebon itu memang dikenal sebagai salah seorang tokoh yang aktif dalam gerakan pengentasan anak jalanan dan anak-anak terlantar.

Bagi Bariroh, kedatangan anak-anak yang tengah dirundung masalah tersebut dianggapnya sebagai amanah yang jika diterima dan diperlakukan dengan pasti akan membawa berkah. Terkait sikapnya itu, Bariroh punya prinsip, “Pesantren itu ibarat samudera, dia bisa menampung apa pun, baik maupun buruk, susah maupun senang, namun tetap menghasilkan yang baik-baik, seperti ikan segar, mutiara, dan lain sebagainya.”

Prinsip ini ia jalani dengan konsisten, terbukti dengan semakin besarnya kepercayaan dari instansi pemerintahan seperti Pemkot, Kepolisian, Satpol PP, Dinsos dan sebagainya di lingkungan Kota Depok, bahkan Jakarta, kepada pesantren yang dipimpinnya. Fathul Khair kini menjadi muara penitipan anak-anak jalanan, anak- anak terlantar, atau anak-anak malam berhasil dijaring aparat dalam operasi razia.

Tak jarang tengah malam Bariroh dihubungi aparat keamanan yang baru saja menemukan bayi-bayi yang dibuang orang tuanya di jalanan. Dan pintu rumah ibu empat anak hasil pernikahannya dengan Haji Rochibun ini terbuka 24 jam untuk urusan-urusan darurat semacam ini.

Di mata stakeholder, menitipkan anak-anak di pesantren Fathul Khair berbeda dan memiliki nilai lebih dari pada menitipkan mereka di panti-panti sosial milik pemerintah. Di pesantren perlahan anak-anak itu mendapatkan perhatian dan pendidikan lebih dari pengasuh dan para pengurus. Tak hanya pengetahuan moral, mereka juga sedikit demi sedikit mulai ditempa dengan kesadaran beragama. Tak heran jika kemudian anak-anak jalanan merasa lebih nyaman tinggal di pesantren dan menjadi santri serta memilih tinggal lebih lama untuk mengaji dari pada sekedar menjadi titipan sementara aparat keamanan, sebagaima diceritakan di awal.

Guru Galak Dipecat

“Untuk membuat anak-anak jalanan kerasan di pesantren, kunci utamanya adalah kenyamanan dan perhatian,” Ustadzah Bariroh menjelaskan.

Di Fathul Khair, anak- anak jalanan yang baru saja masuk ditempatkan di komplek khusus yang mudah dipantau sekaligus diberi kelonggaran untuk hanya mengikuti sebagian aktivitas supaya mereka segera merasa nyaman dengan suasana pesantren. Ketika mereka sudah mulai nyaman, beberapa bulan kemudian, barulah sedikit demi sedikit hak dan kewajiban mereka sebagai santri diterapkan.

Hal lain yang membuat santri yang berasal anak jalanan nyaman di pesantren, pengasuh dan para pengajar di Fathul Khair memperlakukan mereka dengan sangat baik. Tidak dibeda-bedakan dengan santri lain yang bukan dari jalanan, seperti anak yatim dan dhuafa dari kampung sekitar. Perihal perlakuan yang sama dan penuh kasih sayang terhadap para santri ini memang sangat ketat diawasi oleh Ustadzah Bariroh. Pernah suatu saat ada guru yang kelewat galak bahkan “main tangan”, kenang Bariroh, ”Langsung saya keluarkan. Lha gimana nggak? Saya yang nyariin mereka duit aja gak pernah nyubit.”

Tak hanya dalam perlakuan dan bimbingan, sebagai penyemangat santri dalam belajar, pesantren juga memberikan reward kepada seluruh unsur pesantren yang menunjukan effort dalam proses belajar mengajar. Salah satunya adalah diumrahkan. Bekerja sama dengan biro travel, Hajjah Bariroh yang secara rutin memberangkatkan jamaahnya untuk umrah ke tanah suci juga mendapat jatah sedikitnya tiga kursi setiap kali pemberangkatan. Dan dari tiga kursi itu, dua di antaranya dihadiahkan kepada santri yang menunjukkan kesungguhan dalam belajar. Sementara kursi sisanya diberikan kepada para guru dan pengurus. Tak heran hingga saat ini sudah lebih dari 70 persen santri dan guru Pesantren Fathul Khair sudah diumrahkan.

Terkait hal ini, Hajjah Bariroh menyatakan, “Pada hakikatnya semua rezeki yang kita terima atau yang diterima pesantren adalah hak anak-anak ini. Karena sebesar atau sekecil apa pun dana atau penghargaan yang masuk harus disampaikan kepada mereka secara amanah.”

Dengan pola dan etos pengajaran yang demikian, tak heran jika kemudian Fathul Khair berhasil mengantarkan santri-santrinya hingga ke bangku kuliah dan diwisuda sebagai sarjana berbagai disiplin keilmuan. Sebagian alumni kini telah bekerja di berbagai perusahaan atau instansi pemerintah. Sebagian lain memilih kembali ke almamaternya untuk mengabdi. Uniknya, meski sudah bekerja dan mampu tinggal di kos, sebagain alumni itu memilih untuk tinggal di pesantren karena terlanjut nyaman dengan suasana pesantren.

Kontrakan Petak

Lahir di Losari Cirebon pada tahun 1958, Bariroh adalah putri ke-4 dari 7 bersaudara anak pasangan H. Syamsuri dan Hj. Muyassaroh. Sebagaimana tradisi masyarakat santri di Kota Udang, sejak kecil Bariroh pun diarahkan orang tuanya untuk menempuh pendidikan di pesantren. Tak kurang dua pesantren legendaris di Cirebon, yaitu Babakan Ciwaringin dan Buntet Pesantren, sempat ditinggalinya untuk belajar selama bertahun-tahun, sebelum akhirnya pada tahun 1980 selepas MAN ia hijrah ke ibukota dan mengajar di Pesantren Darun Najah, Ulujami.

Tahun 1989 Bariroh mengundurkan diri dari Darun Najah, karena diterima sebagai PNS di lingkungan KUA Kramat Jati. Untuk meningkatkan kapasitasnya, tahun 1992 ia melanjutkan pendidikan ke Fakultas Dakwah IAIN Syarif Hidayatullah (kini UIN) Ciputat. Saat menjadi penyuluh di KUA itulah Bariroh untuk pertama kali berkenalan dengan dunia malam di jalanan.

Berawal dari keinginan mencari tambahan poin sebagai penyuluh, ia mengunjungi pusat-pusat kehidupan malam, seperti Lokalisasi Boker Depok dan Kramat Tunggak Jakarta. Bariroh terkejut mendapati kenyataan ada banyak pekerja seks di dua lokalisasi itu yang lulusan Madrasah Aliyah dan Pendidikan Guru Agama (PGA). Kenyataan itu mengusik nuraninya. Sejak itu, Bariroh bertekad ikut berikhtiar membantu mengentaskan mereka dan anak-anak mereka dari jalanan.

Berangkat dari kepedulian itu, Hajjah Bariroh merintis upayanya dengan menyelenggarakan majelis taklim di kontrakan petaknya. Sebelum merintis pesantren, ia memang sering menginisiasi pendirian mushola di sekitar tempat tinggalnya. Tak kurang lima mushola yang sudah ia bantu pendiriannya. Jatah beras PNS yang ia terima tiap bulan pun ia sumbangkan kepada anak yatim dan janda- janda miskin di sekitar rumahnya. Belakangan, teman-teman kantornya ikut-ikutan menitipkan berasnya untuk disumbangkan. Dari sinilah tradisi menyantuni fakir miskin berlangsung hingga saat ini. Setiap bulan secara rutin yayasannya menyantuni ratusan janda miskin.

Pesantren Fathul Khair sendiri berawal dari dua petak kontrakan yang disewanya. Satu petak untuk tempat tinggalnya bersama keluarga, satu petak lagi untuk anak-anak yatim asuhannya. Baru pada 7 Juli 2000, beberapa tahun kemudian, Pondok Pesantren Fathul Khair secara resmi berdiri. Bukan hal yang mudah. Berbagai kendala menghadang. Dari mulai masyarakatnya yang memang sejak awal sangat tidak agamis, bahkan cenderung abangan, hingga dari tokoh agama setempat yang terusik dengan kegiatan sosial Hajjah Bariroh yang dianggap mengurangi pendapatan mereka.

Tak hanya mengurus anak yatim dan janda miskin, Fathul Khair juga menyantuni kematian dengan menyediakan kain kafan, sembako untuk tahlilan, serta ustadz atau ustadzah yang dengan suka rela membantu pengurusan jenazah. Kebetulan Hajjah Bariroh sendiri adalah amil di daerahnya.

Kuncinya Sembahyang Malam

Pendanaan materi menjadi salah satu hal menantang keberadaan pesantren yang sejak awal memang hanya bermodalkan tawakal kepada Allah. Bahkan hingga saat ini, di mana setiap bulannya dibutuhkan sekitar 25-28 juta rupiah untuk honorarium seluruh pengajar, pengurus dan karyawan pesantren. “Semuanya dari Allah Ta’ala,” kata Hajjah Bariroh. “Kuncinya sukses pesantren ini ada pada shalat malam, shalat Dhuha dan puasa Senin Kamis, yang secara istiqamah dilakukan seluruh warga pesantren.”

“Allah tidak pernah tidur,” tambah ibu empat anak hasil pernikahannya dengan H. Rabichun itu. “Kita tinggal minta saja sama Allah, pasti dikasih. Itu keyakinan yang saya tanamkan sejak dulu kepada diri saya, anak-anak, para santri serta para donatur.”

Keistiqomahan mereka bermunajat kepada Allah setiap pukul 02.00 dini hari itu diijabah oleh sang Khalik. Bantuan terus mengalir untuk Pesantren Fathul Khair, dari jalan yang kadang tidak diduga-duga oleh Hajjah Bariroh. Dari mulai lembaga dan instansi yang menaruh kepercayaan penuh untuk menitipkan donasinya kepada sang muballighah, sampai pada beberapa tokoh masyarakat atau pejabat yang tengah dirundung masalah, yang ingin keluar dari masalahnya dengan ikut berdoa bersama santri setiap malam. Berkah doanya anak-anak yatim dan para santri dhuafa, banyak dari mereka yang semakin dimudahkan urusannya atau dilepaskan dari masalahnya. Mereka inilah yang kemudian silih berganti digerakkan oleh Allah untuk membantu pesantren.

Meski mencari dana untuk membiayai kegiatan pesantren ini tidak mudah, namun Hajjah Bariroh merasa ada hal lain yang lebih sulit. “Bagian tersulit dari pengelolaan pesantren ini adalah mencari sosok pengurus pondok yang amanah, yang jujur dan mau berjuang bersama dengan hanya mengharap ridha Allah.”

Beberapa kali Hajjah Bariroh harus bongkar pasang pengurus karena beberapa dari mereka terbukti tidak amanah. “Semua ini milik anak-anak santri, hak mereka yang harus kita sampaikan. Meski tidak besar pesantren juga sudah memberikan apresiasi kepada para guru dan pengurus, berupa gaji. Dengan begitu saya berharap jangan sampai hak anak-anak diutak-atik.”

Pengurus Membelot

Ketika pesantren sedang berkembang cukup pesat, cobaan juga datang dari dalam. Salah sorang staf pengajar tahfizh yang tergiur banyak bantuan kepada pesantren lalu membelot, dan “membawa lari” sejumlah santri dan calon donator lalu membuka pesantren sendiri. Namun Hajjah Bariroh terus berjalan. Berbekal komitmen dan konsistensinya memegang amanah anak-anak yatim, dhu’afa dan anak-anak jalanan, kini Pondok Pesantren Fathul Khair sudah berhasil mengembangkan diri. Dari semula hanya dua petak kontrakan, kini sudah memiliki tidak kurang dari 2.000 meter persegi lahan yang digunakan untuk menyelenggarakan PAUD, RA dan MI, serta beberapa kegiatan pendidikan yang non formal seperti Keaksaaraan Fungsional, Paket A sampai C, Wajar Dikdas, Pendidikan Terpadu Anak Harapan (Dikterapan), Pesantren dan TPA.

Saat ini Hajjah Bariroh sedang membangun pesantren cabang di Cileungsi. Lagi-lagi kali ini pun hanya bermodalnya pasrah pada Allah dan upaya membangun simpati dan dukungan masyarakat. “Alhamdulillah respon masyarakat setempat bagus, mereka merasakan kehadiran kami sangat dibutuhkan,” kata hajjah Bariroh. “Dengan modal awal bismillah kami memulai pembangunan, tanpa terbayang uangnya dari mana. Alhamdulillah pada saat tiba waktunya pembayaran material ada saja donator yang membantu.”

Kepada masyarakat setempat, pesantren pun membalasnya dengan aksi-aksi simpatik. Ketika Idul Adha kemarin, misalnya, dari 39 ekor sapi yang berhasil dikumpulkan Pesantren Fathul Khair, beberapa diantaranya ditempatkan di kantong-kantong jamaah, termasuk bakal lokasi pesantren cabang di Cileungsi.

Perjuangan panjang Hajjah Bariroh tidak sia-sia, selain alumni yang sudah mulai mapan dengan pekerjaan yang cukup bagus, dan mulai memberikan perhatian kepada almamaternya, putra putrinya yang sudah selesai kuliah pun mulai turun tangan ikut membantu pengelolaan pesantren. Khairiyah, Khairan dan Khairul kini lebih banyak meluangkan waktu untuk pesantren yang didirikan ibundanya. Anak-anak Hajjah Bariroh dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya seakan berlomba mendukung sang bunda dan memotivasi santri menjadi lebih baik lagi.

Penulis: Ahmad Iftah Sidik

====

Artikel liputan ini pertama kali dimuat dalam buku "Mendidik Tanpa Pamrih. Kisah Para Pejuang Pendidikan Islam" (Jakarta: Kemenag RI, 2015).

Kisah Inspiratif Lainnya Lihat Semua

Artikel Lainnya Lihat Semua

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Koordinat
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Nol
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Kumpul
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Temu
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Jenuh