Kisah Inspiratif

Mak Ajay Salmi: Mengajar dengan Keterbatasan Penglihatan

Ibu Salmi mengajar di mushola/langgar dekat rumahnya.

Ibu Salmi mengajar di mushola/langgar dekat rumahnya.

Suara puji-pujian pengantar sembahyang berjama’ah menggema di seluruh ruangan langgar. Satu persatu mereka berdatangan, dan ketika seorang ibu tua berkaca mata telah di ambang pintu, tangannya segera dituntun, kemudian nada lagu keislaman pun dilirihkan. Sejurus kemudian, iqamah berkumandang. Demikianlah Bu Salmi, yang dari jarak seratus meter dari rumahnya, setiap hari membimbing jama’ah langgar, walaupun kadang dituntun.

Memasuki Desa Gambor, Kecamatan Singojuruh, di pintu gerbang masuk tertulis “Pusat Kerajinan Bordir”. Desa ini memang telah sejak lama dikenal di Banyuwangi sebagai salah satu pusat kerajinan bordir. Rendaan baju itu semuanya dikirim ke Bali. Dengan kerajinan ini, penghidupan masyarakat yang bergelut dalam bisnis ini terbilang cukup mapan. Namun, sebagian besar penduduk desa ini adalah petani, ada pula buruh tani, pedagang, dan sektor perekonomian lainnya.

Sekitar tahun 1990, kesadaran warga desa menyekolahkan anak-anak ke jenjang SLTP apalagi SLTA masih rendah. Jarang para pemuda melanjutkan sekolah, mereka lebih memilih bekerja di Bali, sektor apapun, karena menantang dan nyata. Lazimnya desa, hamparan sawah dan ladang mengitari desa yang berjarak sekitar 40 km dari kota Banyuwangi. Sebagian pemuda memilih geluti pertanian, meneruskan usaha orang tua dan keluarga, tetapi tidak banyak.

Inilah yang kemudian menjadi bagian pokok masalah. Banyak terjadi fenomena mabuk mabukan, perkelahian, dan jenis kenakalan remaja lainnya, terutama ketika para pemuda pulang dari kota besar semacam Bali dan menularkan perspektif yang tercemari. Tantangan ini menjadikan para pemuka agama di desa ini terus berpikir jalan keluar jitu untuk meminimalkannya. Sementara itu nasib kurang menguntungkan dialami para remaja perempuan, karena kalau mereka tidak sedang belajar mondok, akan dikawinkan dalam usia muda.

Pendidikan agama di sekolah memang telah ada di sekolah formal, tetapi dianggap berlokasi waktu yang terbatas. Karena itulah pengalaman, pendalaman, dan penghayatan beragama yang instensif dirasa mendesak. Menjawab tantangan itu, para alumni pesantren sebagai kelanjutan dakwah para kiai, mendirikan surau-surau sebagai basis pendidikan keagamaan masyarakat.

Hingga saat ini tak kurang ada delapan surau yang hidup di tengah dan pinggiran masyarakat desa yang menggunakan bahasa using sebagai bahasa keseharian. Dua di antaranya diasuh guru ngaji senior. Di timur ada surau yang dikelola Man Ishaq, dan di barat ada surau yang dipimpin Man Rasyad. Di desa ini penyebutan nama ustadz-ustadzah tidak populer bahkan tidak dipakai. Para santri memanggil guru ngaji mereka dengan sebutan Kang dan Mbok, bagi guru usia sekitar 30 tahun, dan Man (paman) bagi guru usia 40-50 tahunan.

Kedua surau ini, menjadi tempat belajar dasar-dasar keagamaan. Menulis huruf Arab dan Pegon, tajwid, dasar gramatika arab, tauhid dan fikih. Para santri biasanya bersekolah di tingkat dasar dan sebagian kecil SLTP. Memang, di desa ini umumnya adalah langgar yang diperuntukkan bagi pendidikan anak-anak. Ada langgar khusus pendidikan anak putra, dan ada pula yang campur dengan putri. Muncul pula langgar-langgar kecil di dekat sungai, sawah yang menjadi kebutuhan praktis berwudhu dan tempat terdekat untuk sembahyang bagi para petani.

Keyakinan para guru ngaji bahwa pendidikan lang- gar adalah hal yang urgen, selalu tercermin dalam nasihat mereka, ketika usai sembahyang jama’ah Maghrib. Kerap, masalah-masalah yang sedang berkembang ditanggapi dan kemudian disampaikan pada para santri atau jama’ah. Man Ishaq, pembimbing langgar khusus anak putra, sering menekankan, jangan sampai putus mengaji walaupun sedang menempuh sekolah lanjutan.

“Belajar dari buaian hingga sebelum liang lahat menjelang,” ujar ustadz yang dulu mondok di Pesantren Nahdlatut Thullab, sebuah pesantren salaf di Kepundungan Srono Banyuwangi.

Sebelah utara Masjid Baiturrahim didirikan surau khusus untuk ibu-ibu. Pengasuhnya adalah Ibu Haji atau Mak Haji Salmi yang dalam ejaan orang Using dilafalkan dengan, “Mak Ajay.” Nama gadisnya adalah Salmi. Setelah naik haji pada tahun 1990, dia mengganti nama Hajjah Nur Aini. Tetapi tetap saja, masyarakat lebih mengenal nama asalnya, “Salmi.”

Dulu, langgar para ibu ini sangatlah sederhana, karena cuma semacam angkringan. Kali pertama dikelola oleh Mbah Sum, dilanjutkan Mbah Manis, kemudian Bu Salmi pada akhir tahun 70an. Berikutnya, awal tahun 80-an, atas inisiatif warga dengan arahan Hajjah Salmi atau Mak Ajay Salmi, surau atau mushola yang biasa disebut warga dengan langgar itu direnovasi sedemikian rupa. Sumbangan swadaya berupa iuran dengan cara mengisi kaleng, jimpitan, dan donasi para orang kaya dari warga langgar dan desa yang memungkinkan Mak Ajay berhasil merampungkan pengembangan ini.

Setelah berupa langgar yang layak, kemudian dinamai Baitur Rahmah, nama yang bermakna “rumah kasih” hampir mirip dengan nama masjid sebelah selatannya yang dinamai Baitur Rahim. Rumah kasih barangkali menggambarkan corak Islam yang penuh kasih sayang, dengan pendekatan dakwah yang melayani, bukan membentak dan menakut-nakuti.

Untuk menopang biaya operasional, di langgar disediakan kotak amal. Dua bulan sekali kotak amal itu dibuka. Perolehannya sekitar Rp. 300.000,- dan tenaga kebersihan dari anggota jama’ah langgar akan memperoleh sekedar bisyarah dari sebagian bongkar kotak amal itu. Kerap melihat kemiskinan sebagian para jama’ah, Bu Salmi dan jama’ah lainnya membantu para jama’ah itu. Sakit pun, akan disambangi dan dibantu.

Ibu Salmi tak pernah mengenyam pendidikan sekolah formal. Ia buta huruf latin. Ia bisa membaca huruf arab saja, dan pengetahuan kepesantrenan. Benar- benar insan pesantren dengan ideologi pesantren yang selalu berdialog dengan masyarakat. Sebagai seorang pembelajar yang baik, ia yang dalam keadaan mata kurang bisa melihat dengan jelas itu memperoleh pengetahuan dari suaminya yang membacakan kitab- kitab agama, dari konsultasinya kepada para kiai, dan dari anak-anaknya yang semuanya pernah dipondokkan. Kadang dimintanya anak-anak membacakan shalawat lengkap dengan kejelasan hurufnya. Begitu pula jika ada doa yang dirasa musykil.

Tentang komitmen belajar dan mengajar, suatu ketika ia mengujarkan, “Ketika masih di pondok dulu, saya diajari kiai belajar mengajar. Jadi, belajarnya ya dari mengajar,” ujar ibu lima anak yang juga alumni Pesantren Salaf Nahdlatut Thullab Kepundungan Srono Banyuwangi ini.

***

Para ibu umumnya mereka yang larut dalam kerumunan, lebih mudah diatur, dan dipadukan. Barangkali inilah rahasia mengapa jama’ah langgar para ibu ini bertahan sedemikian lama. Di bawah kepengasuhan Bu Salmi pun, kurang lebih empat puluhan tahun berjalan, langgar ini terbilang tertib. Jama’ah sembahyang pun lengkap diselenggarakan lima waktu, Isya, Subuh, Dzuhur, Ashar, dan Maghrib.

Tak ada cerita jama’ah mengundurkan diri, justru semakin bertambah. Bahkan beberapa tahun terakhir, ibu muda yang bergabung dalam jama’ah mulai tumbuh. Sebagian besar mereka para janda tua, miskin, dan berpendidikan rendah, lainnya pensiunan PNS. Kadang anak maupun cucu, sebagai pengenalan dibawa serta di langgar berukuran 9 x 9 meter ini.​​​​​​​

Rumah pengasuh jama’ah langgar kelahiran 1 Januari 1950 ini tepat di barat masjid. Tentu menarik, melihat perannya sedemikian besar ini jika dihubungkan dengan suami, dan latar belakang keluarganya. Kusman, nama suaminya asal Blitar, seorang guru sekolah dasar, petani yang taat beribadah, istiqomah berjama’ah di masjid dan tokoh masyarakat. Bu Salmi aktif mengisi mauidhah hasanah dalam jama’ah PKK, dan kelompok- kelompok pengajian desa.

Mendidik berarti mendampingi. Mendidik para ibu, sama artinya mendampingi mereka sekaligus mendidik orang-orang yang mereka didik. Bukakah para ibu adalah pendamping kehidupan bagi para anak- anaknya, dan juga nenek bagi para remaja ini? Menjaga, merawat, dan menguatkan amaliyah ibadah itu tentu jadi dambaan setiap muslim. Lebih-lebih bagi orang yang sudah memasuki usia senja. Kira-kira begitu filosofi pentingnya jama’ah para ibu sepuh. Terhitung jumlah jama’ah langgar 37 orang dan dalam keseharian yang datang 28 hingga 30 orang.

Setelah jama’ah Maghrib, para ibu secara serempak membaca surat, shalawat, dan doa. Suatu malam dengan hafalan surat Waqiah, di lain malam surat Yasin, di lain malam shalawatan, doa doa dan amalan. Setelah merampungkan bacaan, maka secara bergiliran mereka menyetorkan hafalan bacaannya kepada Bu Salmi, atau kepada orang yang ditunjuk Bu Salmi. Khusus malam Jum’at pembacaan Yasinan dipimpin Bu Salmi. Malam Ahad pengajian fikih dan amaliyah di masjid dengan narasumber para pengurus takmir masjid. Bulan-bulan peringatan hari besar atau bulan utama, pengajian fikih dan keutamaan amaliyah kerap diajarkan.

Dalam mauidhah hasanah yang dilakukan setelah acara rutin hafalan surat Waqiah, Yasin, doa dan shalawatan, Bu Salmi menyisipkan bahasan pentingnya menjaga diri dan keluarga dari hal yang menyebabkan masuk neraka. Jangan sampai ada di antara keluarga yang terkena narkoba dan kejahatan lainnya.

Quu anfusakum wa ahlikum naro, mari kita jaga diri kita dan keluarga kita dari neraka,” ujarnya mengutip ayat al-Quran.

Setelah sembahyang Isya, para ibu biasa curhat problem keseharian, maupun berbagi informasi. Langgar dengan demikian menjadi tempat nyaman berdiskusi dan sekedar istirahat untuk leyeh-leyeh merebahkan badan. Sungai bening mengalir di samping langgar, jeding dan MCK turut memberi kesan betapa langgar ini sungguh hidup dan menjadi rumah kedua bagi para jama’ah.

Bu Salmi sembilan bersaudara. Ayahnya bernama Qasim, ibunya Aisyah. Qasim seorang yang gemar sowan silaturahmi kepada para kiai. Ia juga pengamal ajaran thariqah. Dalam silaturahminya, Qasim senantiasa meminta berkah doa para kiai agar anaknya kelak bermanfaat bagi masyarakat.

Nuruddin dibantu adiknya, Jazuli dan Musliman mengasuh pondok pesantren yang diberi nama Tsamarotur Roudlhoh. Sepeninggal Nuruddin, pesantren dipercayakan kepada putranya, Muhammad Munir selaku alumni dari Habib Zein Sumaith, Madinah.

Pendek kata, sembilan bersaudara: Nuruddin, Sulimah, Jariyah, Muslimin, Musliman, Jariyah, Rosyid, Salmi, dan Aisyah keseluruhannya mengabdikan diri kepada masyarakat. Mereka para pendakwah yang ulet. Kalau tidak pemangku pesantren, mereka pemangku masjid, surau atau mushola.

Setiap 1 Syawal mereka berkumpul di desa kelahiran kesembilan bersaudara di Dusun Sumberejo Srono, Banyuwangi. Sebelum dan setelah ngaji kerap membahas perkembangan dakwah di masing-masing daerah.

Terkadang ketika acara keagamaan berlangsung di desa kediaman Mak Ajai, ia mengundang kakaknya, Kiai Haji Nurudin Qasim, salah satu kiai sepuh Banyuwangi sebagai penceramah serta mengundang putra dan menantunya.

Lazimnya berdakwah biasa menuai kontroversi. Pernah suatu saat dalam khotbah Jum’at, khatib menerangkan ngelelesi (mengambil sisa padi setelah digebras) adalah mutlak haram. Sontak fatwa ini meresahkan hingga khatib tidak diperbolehkan berkhotbah. Apa peran Mak Ajai? Kedekatan dengan seluruh kalangan dan sama sekali tidak berkepentingan, dengan caranya yang perlahan ia jelaskan duduk perkara khotbah kepada masyarakat. Walhasil, khatib dizinkan berkhotbah lagi.

Program masjid yang dianggap tidak sejalan dengan aspirasi masyarakat biasa ia protes, menyampaikan kritik dan solusinya.

Lewat sentuhan dinginnya ia menampung aneka soal dan beragam informasi yang didapat dari para jama’ah, meski kadang sewaktu pengajian di masjid. Ketika ada masalah fikih yang belum dapat dipahami para jama’ah, rujukannya Bu Salmi. Baik di langgar bahkan ketika dalam persoalan rumah yang sifatnya rahasia, Bu Salmi telaten menjawab problematika tersebut.

Zaman yang semakin maju ini, diperlukan benteng kuat, dari segala arah. Para pendakwah dengan segmen dakwah yang berbeda berusaha maksimal membawa suasana masyarakat yang islami. Kini bahkan banyak surau yang didirikan di desa kami. Ada surau yang khusus anak-anak mengaji, ada surau sembahyang jama’ah warga, dan surau yang dipimpin Bu Salmi khusus untuk jama’ah ibu-ibu.

Dengan semakin banyak alumni pesantren, semakin bertambah surau didirikan. Suasana semarak, terutama menjelang Maghrib dan Isya, berbondong-bondong para jama’ah ke masjid atau surau membuat titik-titik obrolan bahkan penyimpangan perilaku, misalnya mabuk mabukan yang sebelumnya marak di gardu-gardu maupun di pusat kerumunan menjadi hilang atau paling tidak berkurang.

Di langgar, Bu Salmi penggerak kaum muda para alumni pesantren yang mulai dimunculkan. Di langgar ini telah hadir setidaknya tiga alumni pesantren serta para ibu yang dipercaya Bu Salmi mengimami sembahyang berjama’ah dan memimpin bacaan shalawat. Pendek kata, kaderisasi berjalan. Seiring usia Bu Salmi yang telah memasuki usia senja. Salah seorang jama’ah, Siti mengatakan, “Sekarang yang muda-muda juga ikut menjadi jama’ah bahkan dipercaya memimpin jama’ah juga shalawatan. Ada Mbok Anah, Mbok Ulil, dan Mbak Siti.”

Bagaimanapun, kenyataannya surau-surau di desa ini sedemikian hidup dan mewarnai corak masyarakat. Perubahan dari tradisi muram semacam madon (prostitusi), mabuk-mabukan, perkelahian remaja, dangdutan dan jaranan dengan perilaku ekstrem lainnya tengah bergerak perlahan menuju tradisi yang mencerahkan. Warga percaya, karena keterlibatan para alumni pesantren yang dengan berbagai cara meningkatkan kegiatan di tengah masyarakat, di masjid dan lembaga pendidikan surau ini berdampak positif. Pendidikan di langgar dengan demikian semacam penjaga gawang moral masyarakat. Para ibu muda, yang sebagian lulusan pesantren dan perkuliahan, turut mewarnai pentingnya pendidikan bagi anak perempuan. Pernikahan dini yang dulu dialami para perempuan saat ini sudah tak ada lagi. Remaja putra yang mabuk- mabukan semakin minim, bahkan tak ada.

Merespon dampak pendidikan langgar, Siti Nur Hidayah, salah seorang jama’ah mengatakan, “Dulu anak-anak muda biasa mabuk-mabukan di gardu-gardu, sekarang berkurang, bahkan tak lagi tampak.”

Penulis: Yusuf Suharto

====

Artikel liputan ini pertama kali dimuat dalam buku "Mendidik Tanpa Pamrih. Kisah Para Pejuang Pendidikan Islam" (Jakarta: Kemenag RI, 2015).

Kisah Inspiratif Lainnya Lihat Semua

Artikel Lainnya Lihat Semua

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Koordinat
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Nol
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Kumpul
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Temu
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Jenuh