Buddha

Salam Buddhis

Ilustrasi

Ilustrasi

Masyarakat Indonesia dikenal ramah dan religius. Salah satu cirinya mereka menempatkan salam pada posisi penting dalam komunikasi, baik salam berorientasi adat, budaya, maupun agama. Salam juga bersifat situasional, sangat dipengaruhi oleh audien, kondisi, dan situasi setempat. Kerena itu, salam di suatu daerah, di suatu situasi, maupun antara agama dan keyakinan satu dengan lainnya berbeda-beda. Salam juga bisa diekspresikan melalui ucapan, gerakan, atau kombinasi dari keduanya. Namun, salam memiliki arti yang sama yaitu sebagai "pernyataan hormat" dan “harapan akan kebaikan”.

Umat Buddha Indonesia telah mempopulerkan ucapan salam: “Namo Buddhaya” sebagai salam yang paling lazim digunakan. Namun demikian, ada juga ada yang menggunakan salam seperti: (1) Namaste, yang berarti “hormat saya/kami kepada anda”. (2) Sukhi hotu merupakan salah satu salam dalam agama Buddha yang artinya “semoga ada kebahagiaan” atau “semoga berbahagia”.

(3) Sotthi hotu/ Suvatthi hotu dalam bahasa Pali, sedangkan dalam bahasa Sanskerta adalah Svastyastu. Artinya semoga ada kesejahteraan/ kebaikan; semoga sejahtera. Salam ini adalah sebagai bentuk harapan agar kehidupan lawan bicara diliputi dengan kesejahteraan atau kebaikan.

(4) Namo Omitofo/Omitohud, untuk meneguhkan keyakinan, dan sebagainya. Salam memiliki fungsi sebagai ekspresi harapan kesejahteraan, kebahagiaan maupun penghormatan. Biasanya salam diucapkan pada saat awal dan akhir dalam pembicaraan kepada sesama umat Buddha maupun umat agama lain, karena memiliki arti yang bersifat universal.

Terlepas dari keragaman yang ada, salam agama Buddha memiliki tempat penting dalam berkomunikasi, baik di kalangan internal maupun eksternal. Pengucapan salam dalam berbagai kegiatan merupakan etika dasar dalam komunikasi Buddhis yang harus tetap dilaksanakan dan kembangkan. Hal ini selaras dengan ajaran Buddha dalam Kakacupama Sutta, yang menjelaskan bahwa terdapat 5 (lima) syarat bertutur kata yang benar, yaitu: (1) tepat pada waktunya, (2) mengandung kebenaran, (3) lembut, (4) bermanfaat, dan (5) dilandasi cinta kasih.

Artinya, menyampaikan informasi dan menjalin komunikasi dalam agama Buddha harus mengandung kebenaran, memberikan manfaat kepada lawan bicara, disampaikan pada waktu, situasi, dan audiens yang tepat, serta diungkapkan secara lembut dan dilandasi dengan cinta kasih. Dengan demikian, komunikasi yang terjalin adalah komunikasi yang penuh dengan energi kebaikan.

Pesan Buddha pada Dhammapada,VIII, 100:

“Daripada seribu kata yang tak berarti,
lebih baik sepatah kata yang penuh arti,
yang dapat membuat si pendengar
menjadi penuh damai”

Sabbe satta bhavantu sukkhitatta,
Semoga semua makhluk berbahagia.

Meto Sarono, S. Ag. (Penyuluh Agama Buddha Kab. Kayong Utara, Prov. Kalimantan Barat)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Buddha Lainnya Lihat Semua

Mimbar Agama Lainnya Lihat Semua