Buddha

Peringatan Hari Asādha, Bersama Membumikan Kerukunan

Buddha Wacana

Buddha Wacana

Pare ca na vijānanti, mayamettha yamāmase. Ye ca tattha vijānanti, tato sammanti medhagā.

Sebagian orang tidak mengetahui bahwa dalam pertengkaran mereka akan binasa, tetapi mereka yang dapat menyadari kebenaran ini akan segera mengakhiri semua pertengkaran. (Dhammapada Yamaka Vagga, Syair VI).

Asadha Puja juga dikenal dengan istilah Asalha Puja, Asanha Puja dan atau Asana Bucha. Ini merupakan salah satu perayaan penting bagi umat Buddha.

Asadha merupakan kata yang berasal dari nama bulan ke delapan pada penanggalan Buddhis. Asadha menjadi istimewa karena memperingati pembabaran Dhamma untuk pertama kalinya oleh Sang Buddha, terbentuknya Sangha (perkumpulan bhikkhu) untuk pertama kalinya, dan menjadi lengkaplah Tiratana (Buddharatana, Dhammaratana dan Sangharatana).

Buddha membabarkan Dhamma untuk pertama kalinya kepada 5 orang Pancavagiya Bhikkhu. Satu hal yang penting untuk dijadikan renungan dan refleksi adalah ketika ajaran dibabarkan, para bhikkhu mendengarkan serta memperhatikan dengan sikap hormat dan tenang. Para bhikkhu selanjutnya merenungkan mendalam pada batin masing-masing tidak disertai dengan sikap yang saling mempertentangkan bahwa salah satu murid menjadi yang utama sedangkan yang lainnya tidak.

Semua memiliki sikap dan kesempatan yang sama dalam menyelami kebenaran. Demikian juga halnya saat ini, sikap dan cara hormat serta perenungan dhamma bisa terus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, utamanya untuk saling menghargai dan memberikan kesempatan yang sama bagi orang lain.

Pada saat penyampaian khotbah dhamma pertama, yaitu Dhammacakkapavattana Sutta, Sang Buddha menyampaikan akibat buruk yang disebabkan dari ketidakrukunan dan saling mempertentangkan. Buddha menyampaikan bahwa “Berkumpul dengan yang dibenci adalah sebab timbulnya penderitaan”.

Maka dipahami bahwa Sang Buddha menyampaikan agar tidak memunculkan pertentangan dan permusuhan di tengah-tengah suatu komunitas yang dapat menimbulkan penderitaan. Sikap yang menjunjung tinggi kerukunan dan menghindari pertentangan telah disampaikan Sang Buddha dalam sabdanya pada syair Dhammapada (Bab I, 3 dan 4) berikut: “Ia menghinaku, ia menyinggung perasaanku, ia menyalahkanku, ia merugikanku, bagi siapa yang selalu berpikir demikian maka keresahan, kebencian, kemarahan akan ada pada dirinya, tetapi barang siapa yang tidak berpikir demikian maka akan tetap tenang, sabar dan tidak akan melakukan kekerasan."

Terkait dengan perbuatan jahat atau kesalahan yang dilakukan orang lain, Buddha bersabda, “Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah dikerjakan atau yang belum dikerjakan oleh orang lain, tetapi perhatikanlah apa yang telah dikerjakan, apa yang belum dikerjakan oleh diri sendiri”.

Terkait dengan kerukunan, dalam sutta yang berbeda yakni Saraniyadhamma Sutta, sang Buddha menyampaikan cara untuk tercapainya kerukunan. Terdapat enam cara, yakni: (1) metta kaya kamma yang berarti menebarkan cinta kasih melalui perbuatan badan jasmani; (2) metta vaci kamma yang berarti menebarkan cinta kasih melalui ucapan; (3) metta mano kamma yang berarti menebarkan cinta kasih melalui pikiran; (4) sadharanaboghi yang berarti selalu berbagi pada sesame; (5) silasama nata yang berarti menjalankan kehidupan bermoral; dan (6) ditthisamannata yang berarti memiliki pedoman pandangan benar yang sama.

Salah satu tradisi lokal Indonesia yang dapat dicontoh dalam menciptakan kerukunan yaitu memuja Tahon dan Balit di tempat Pepujan Baru Murmas dan Buani Lombok Utara. Tradisi ini memuat nilai-nilai yang sangat lekat dengan gotong royong, persatuan dan kesatuan, musyawarah, pengendalian sosial, serta kearifan lokal.

Pelaksanaan upacara tradisi ini, tidak memandang agama, karena dihadiri oleh umat Buddha dan masyarakat berkeyakinan lain. Tradisi Suro yang masih dipertahankan oleh masyarakat Jawa juga salah satu contoh budaya yang tetap menjunjung tinggi sikap saling menghormati dan toleran.

Peristiwa yang terjadi pada Asadha memberikan contoh kepada umat manusia khususnya umat Buddha bahwa ajaran kebenaran (Dhamma) telah diajarkan dengan penuh welas asih dan kasih sayang. Sikap sopan, hormat, dan ketenangan Pancavagiya Bhikkhu sebagai murid Buddha, telah ditunjukkan. Sikap tersebut dapat menjadi teladan bagi umat Buddha dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Kerukunan, persatuan dan kesatuan telah ditekankan sejak zaman Sang Buddha, untuk dapat dijaga dan dijunjung tinggi. Akibat dari pertentangan dan permusuhan juga telah ditunjukkan, maka sebagai seseorang yang mengenal dhamma, harus mengembangkan sikap saling menghormati antarsesama.

Widya Dharmma Palla, S.Pd. (Penyuluh Agama Buddha Kanwil Kemenag NTT)


Fotografer: Istimewa

Buddha Lainnya Lihat Semua

Mimbar Agama Lainnya Lihat Semua