Buddha

Jadikan Hatimu Seluas Samudra

Jadikan Hatimu Seluas Samudera

Jadikan Hatimu Seluas Samudera

Dūraṅgamaṃ ekacaraṃ,
asarīraṃ guhāsayaṃ
Ye cittaṃ saṃyamissanti,
mokkhanti mārabandhanā.

Pikiran itu selalu mengembara jauh
Tidak memiliki wujud, dan terletak di dalam gua (hati)
Mereka yang dapat menaklukkanya
Akan bebas dari jeratan mara
(Dhammapada Bab III: Citta Vagga, 37)

Hubungan antarmanusia terkadang rumit, sering kali membawa kebahagiaan, hubungan baik seperti saling membantu, saling mendukung. Namun tak jarang, jalinan itu membawa kesedihan karena adanya permasalahan, amarah, salah paham, perbedaan pendapat, maupun sikap ego, hal ini yang membuat sebuah hubungan menjadi renggang. Namun kembali lagi pada kepentingan diri sendiri, apa manfaatnya menyimpan amarah kepada orang lain, jika sifat itu akan membuat seseorang lebih menderita, artinya menjadi beban pikiran. Rasa benci, amarah, dan dendam hanya akan melukai diri sendiri.

Dalam pandangan Agama Buddha, manusia hanya terdiri dari lima gugusan pembentuk dan lima kemelekatan yang menjadi sumber penderitaan yang disebut Panca Khanda, yang terdiri dari:

1.Badan Jasmani
Tubuh dari ujung rambut sampai ujung kaki selalu menjadi sumber penyakit, semua menimbulkan kotoran;

2.Perasaan
Melihat sesuatu yang kita suka timbul perasaan suka; begitu mendengar sesuatu yang kurang baik timbul perasaan khawatir atau takut, begitu dijanjikan sesuatu yang bagus timbul perasaan senang tetapi begitu kenyataan tidak sesuai dengan yang dijanjikan perasaan berubah menjadi menderita;

3.Pikiran
Pikiran selalu berubah-ubah. Melihat obyek yang jelek langsung timbul pikiran jelek. Melihat yang bagus timbul pikiran yang bagus;

4.Batin
Ketika pikiran bagus muncul kemudian timbul nafsu keinginan saya ingin punya, saya ingin memiliki;

5.Kesadaran
Inilah yang akan dibahas lebih mendalam pada kesempatan ini. Bagaimana kita menimbulkan kesadaran dalam hidup kita, dalam menghadapi fenomena kehidupan.

Setiap orang tentunya tidak mau mengalami sebuah penderitaan, atau bahkan ingin menghindari kesedihan. Ketika seseorang mampu berpikir positif dalam menghadapi suatu kenyataan atau peristiwa, ia akan merasakan kebahagiaan terhadap apapun kenyataan yang sedang ia alami. Sebaliknya, ketika seseorang berpikir negatif, ia akan merasakan penderitaan pada saat menghadapi suatu kenyataan. Dengan demikian, telah jelas bahwa suatu kejadian yang dirasa membahagiakan seseorang mungkin saja menjadi sesuatu keadaan yang menyedihkan bagi orang lain. Semua perbedaan tersebut timbul karena sudut pandang yang tidak sama dalam menghadapi serta menyikapi suatu kenyataan hidup yang sebenarnya netral tersebut.

Hati seluas samudra adalah ungkapan yang lebih menggambarkan bagaimana sebuah hati dapat menerima apa saja yang dijatuhkan ke dalamnya. Artinya kita sebagai manusia melihat sebuah fenomena kehidupan ini sebagaimana mestinya. Apapun yang terjadi pada diri kita yang semua itu adalah kondisi-kondisi duniawi yang memang semestinya kita rasakan atau alami sebagai makhluk dunia.

Kita sebagai umat Buddha harus menerima semua itu dengan hati dan pikiran yang tenang. Untuk menghadapinya sebuah kondisi duniawi maka kerap kali kita renungkan hukum kamma (hukum sebab dan akibat) bahwasanya kebahagiaan dan penderitaan disebabkan oleh diri sendiri, Renungkan hukum anicca (ketidakkekalan) bahwasanya apapun yang berkondisi bersifat tidak kekal, senantiasa berubah, dan tidak dapat dipertahankan, renungkan pula bahwa pada hakekatnya hidup adalah dukkha (penderitaan) Melihat bahwa hidup adalah penderitaan bukan merupakan sikap pesimis. Ini adalah cara memandang fenomena sesuai dengan realitas.

Hendaknya kita sebagai umat Buddha dapat menyadari dan mau menerima kondisi-kondisi kehidupan duniawi ini. Jangan gelisah, dan jangan cemas. Praktikkanlah Buddha Dhamma dalam kehidupan kita sehari-hari. Kesuksesan dari kehidupan ini bukanlah berapa banyak benda dan materi yang dapat dihasilkan, tetapi berapa banyak orang yang telah kita bantu, berapa banyak orang yang telah berkembang karena kita, dan berapa banyak yang tergerak hatinya oleh kita.

Sabbe Satta Bhavantu Sukhitata
Sadhu Sadhu Sadhu

Penulis: Rudy Pratama, S.Ag (Penyuluh Agama Buddha Kab. Tarakan, Provinsi Kalimantan Utara)


Fotografer: Hilman Fauzi

Buddha Lainnya Lihat Semua

Mimbar Agama Lainnya Lihat Semua