Wawancara

Mengurai Urgensi Pendidikan Nilai

Sesditjen Pendidikan Islam Rohmat Mulyana Sapdi

Sesditjen Pendidikan Islam Rohmat Mulyana Sapdi

Prof. Dr. Rohmat Mulyana Sapdi, M.Pd dikukuhkan menjadi guru besar bidang pendidikan Islam di pengujung Desember 2023. Pidato pengukuhannya yang berjudul Urgensi Nilai dalam Pendidikan Islam menuai banyak pujian dari berbagai kalangan. Tak ayal, hal tersebut karena perhatian yang konstan dan dan kedalaman perspektif yang dimilikinya.

Banyak buku dan karya ilmiah yang sudah diwujudkan selama pengabdiannya selaku Sekretaris Ditjen Pendidikan Islam dan dosen tetap di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Filosofi Pendidikan Islam (2003) dan Mengartikulasikan Pendidikan Nilai (2013) adalah beberapa di antaranya.

Penerima Fullbright Visiting Scholar di Columbia University tahun 2006, dengan karya tulis Incorporating Social Issues Toward Islamic Education in a Multicultural World, ini bercerita tentang pendidikan nilai dan berbagai hal terkait dengannya. Pedidikan nilai, dalam ekplorasi pendidikan Islam, baginya, adalah berupa titik singgung antara aqliyah dan naqliyah, antara yang objektif dan subjektif.

Dalam ranah sejarah keilmuan, dua kutub ini dikenal sebagai kelompok fides quaren intellectus, yakni ilmu yang berkembangan untuk memperkuat kesadaran agama yang berpusat pada hati dan intellectus quaren fides, yaitu ilmu yang berkembang secara ilmiah yang berbasis pada kecerdasan otak dan bukti empirik.

Dalam sebuah pembicaraan hangat di ruang kerjanya, Kamis (4/1/2024), Prof. Dr. Rohmat Mulyana Sapdi, M.Pd mengungkap berbagai hal seputar urgensi pendidikan nilai ini. Wawancara dipandu dan ditulis oleh Saiful Maarif (Asesor SDM Aparatur Kemenag/Kasubtim Bina Akademik pada PTU Direktorat PAI).

Apa yang melatari penulisan buku pendidikan nilai?

Saya sebenarnya secara umum mempelajari teori-teori pendidikan, tapi juga memiliki kepedulian terhadap pendidikan agama. Agama itu sendiri bermuatan nilai, norma, dan etika. Ini sebenarnya yang menjadi tantangan buat saya secara pribadi. Pendidikan adalah sebuah rekayasa pembelajaran yang memiliki makna dan mampu memiliki kesadaran pemahaman nilai-nilai kehidupan yang mulia dan utama.

Itu sebenarnya salah satu dasarnya dan ketika kita berbicara tentang pendidikan agama, seringkali guru terjebak pada pandangan-pandangan dogmatik. Ini yang mendorong keyakinan-keyakinan yang mutlak karena berasal dari agama. Tapi ketika menghubungkan kondisi demikian dengan realitas, seringkali terputus. Ibaratnya, orang boleh saleh, dekat dengan Tuhan, tapi secara sosial, nilai-nilai kemanusaiannya belum berkembang secara maksimal.

Dalam buku saya yang tulis tahun 2003, Filosofi Pendidikan Nilai, saya menjadikan buku beserta perangkat pengetahuan di dalamnya sebagai landasan filosofis tentang pendidikan nilai. Saya mengembangkan aksiologi tentang nilai yang menjadi dasar, menjadi makna sesungguhnya, bahwa dalam pendidikan itu tujuan akhirnya adalah pembelajaran nilai. Kalau nilai dimiliki, hal ini akan mewujud pada karakter.

Kita boleh bicara tentang karakter, karakter ini sisi luar dari perilaku. Kepribadian yang sudah dinilai itu adalah karakter. Evaluated personality ini adalah karakter. Akhlak itu juga adalah domain karakter. Di belakang itu ada nilai, dan saya fokus pada perkara nilai ini. Saya berpandangan, ketika kita mampu mengurai nilai secara mendalam dan anak itu punya sensivitas nilai, maka akan muncul sensivitas berpikir atau diawali dengan kemampuan untuk berpikir kritis, maka anak itu akan lebih matang dalam melakukan sesuatu.

Menganut agama bukan hanya dogmatik, tapi lahir dari sebuah kesadaran. Misalnya, seorang anak melakukan salat, kemudian anak melakukan salat semata karena suruhan tersebut. Saya melihat, anak tersebut berbuat tidak lebih baik ketimbang anak melakukan salat setelah dia bertanya secara detil kepada orang tuanya mengapa ia melakukan salat dan apa bedanya antara orang yang salat dan tidak salat.

Orang tuanya menjelaskan, berdasar pertanyaan yang diajukan oleh anak tersebut. Ini kan sebenarnya ada proses membuka cakrawala berfikir kritis anak sehingga dia punya kesadaran, consciuosnessnya, benar-benar berasal dari proses berpikir kritisnya. Ini sama halnya menyambungkan antara yang ultimate meaning dengan dengan yang sifatnya deskriptif. Ruang eksplorasi ini sebenarnya ruang yang besar untuk mengembangkan kekritisan peserta didik sehingga dia mampu menemukan nilai dengan sendirinya.

Tahun 2003 sudah mulai menulis tentang landasan filosofis pendidikan nilai, sepuluh tahun kemudian dilanjutkan menulis tentang tema yang selaras. Bisa disampaikan proses kreatif dalam tahapan tersebut?

Dalam kurun itu, saya membuat dua buku yang khusus bicara tentang pendidikan nilai. Setelah saya membuat landasan filosofis, saya membuat rancangan model yang secara teknis disebut NILAI. Ini tahapan yang memiliki makna. Dalam kehidupan itu sangat kaya dengan kepentingan nilai. Dalam kondisi perang misalnya, ini penuh dengan nilai, baik dari sisi yang ingin menang maupun yang kalah.

Pendidikan dan nilai ini kan rasanya dua entitas yang berbeda satu sama lain. Bagaimana kita mendapatkan definisi yang memperkuat satu sama lain?

Sebenarnya ini tidak bisa dipisahkan. Pendidikan adalah upaya merekayasa perilaku dengan sengaja supaya anak mencapai kecerdasannya. Kecerdasan, kemandirian, dan naluri estetika adalah dasar dari pendidikan nilai itu sendiri. Saya membacanya mulai dari Titus. Pendidikan nilai itu dalam perspektif Barat, tanpa menyebut nilai teologik, adalah logic, ethic, dan estetic.

Kalau saya melihatnya ada empat, dengan ditambah teologic itu. Pendidikan itu pada dasarnya adalah menanamkan empat nilai itu. Kalau kita berbicara tentang (ke)mandiri(an), itu terkait erat dengan hati, hati itu terkait dengan norma. Dalam kaitan tersebut, kita tahu bahwa pendidikan agama memiliki banyak problem karena sulit diukur.

Harus ada pendekatan yang terskemakan dengan baik. Saya, dengan model pembelajaran nilai itu, masuk dari hanya setitik kecil, dari ikhtiar pendidikan yang ada, untuk memperluas critical thinking pada anak.

Buku dan landasan filosofis tentang pendidikan nilai ini disusun jauh hari sebelum kurikulum merdeka. Bagaimana Bapak melihat dan memproyeksi bahwa critical thinking menjadi bagian penting dari kecakapan Abad 21 dan Kurikulum Merdeka?

Saya sudah menduga jauh hari bahwa critical thinking ini akan menjadi aspek penting. Saya diingatkan oleh kakak saya akan aspek strategis buku saya. Kemendikbud membeli buku saya untuk dijadikan landasan filosofis dalam menyusun pendidikan karakter. Basisnya ada di buku saya.

Dalam apa yang kita kenali sebagai HOTS, high order thinking skills, saat ini, saya ikut memberi landasan filosofisnya. Gagasan saya tentang critical thinking pada anak ini kemudian saya nyatakan dalam tiga pandangan saya, yakni epistemologi, critical thinking, dan pemodelan.

Dalam pandangan Bapak, apa sebenarnya critical thinking itu?

Critical thinking memiliki beberapa indikatornya. Ada proses verifikasi, inferensi, dan klarifikasi. Tiga hal ini menjadi indikator untuk mengukur sejauhmana critical thinking pada anak. Saya memakainya untuk mengukur seberapa kritis anak dalam disertasi saya.

Dalam buku Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, disebutkan begitu banyak contoh NILAI dan impelementasinya. Namun demikian, tidak disebutkan adanya diferensiasi fase pendidikan di dalamnya. Bagaimana penjelasan terhadap hal ini?

Saya sudah sebutkan di salah satu bagian buku bahwa buku ini lebih tepat untuk siswa SMA keatas. Kalau SMP belum siap menerima. Saya meriset sejauhmana kompatibilitasnya dengan sistem pendidikan kita dan saya menemukan bahwa di level SMA ke ataslah pendidikan nilai ini mendapat signifikansinya.

Mengapa Bapak memilih PAI, bukan pada jenis pendidikan lainnya?

Pendidikan nilai bisa diterapkan di semua mata pelajaran. Bisa di sains, psikologi, dan sebagainya. Saya memilih PAI karena itu concern saya sewaktu saya S2 dan S3 di Universitas Pendidikan Islam (UPI). Yang namanya agama itu meyangkut seluruh aspek kehidupan, bukan hanya dalil-dalil agama.

Sewaktu S3, saya konsentrasi di pendidikan nilai dan saya banyak meneliti dan membaca karya terkait. Dalam diskursus Hasan Langgulung, keseimbangan dua sisi ini dipahami sebagai keseimbangan antara ujung tungkul bawah, yakni prinsip, teori, dalil agama yang dapat dipahami melalui nalar, undertype of iceberg¸ dengan ujung tungkul atas, uppertype of iceberg, yaitu kesadaran akan nilai-nilai dalam realitas kehidupan sosial yang bersifat holistik. Langgulung melihat bahwa pembaharuan (tajdid) dalam pemikiran Islam telah menjadi tuntutan yang tak pernah henti, tetapi penyadaran nilai dalam konteks kehidupan sosial yang sebenarnya masih belum diberdayakan secara optimal.

Dalam konstruksi itu, agama masih menjadi titik dimana dirinya belum bisa memecahkan masalah-masalah yang ada dalam kontruksi masyarakat. Sejalan dengan pemikiran ini, Hanzell-Thomas, seorang pemikir pendidikan Islam, dalam tulisannya yang bertajuk Excellence in Islamic Education, mengatakan bahwa ia mengakui sisi unggul konsep pendidikan Islam sebagai usaha membangun pribadi yang sempurna, namun secara jujur pula ia menyatakan bahwa pendidikan Islam acapkali mencerminkan “a process of sheer rote-learning, repetition and memorization divorced from understanding and meaning”, yakni hanya suatu proses belajar hafalan, pengulangan, ingatan yang terpisah dari pemahaman dan makna. Karena itu, ia menyarankan perlunya metodologi pembelajaran yang mempromosikan pendidikan Islam sebagai proses aktif melalui keterampilan berpikir kritis dan kreatif, diskusi, belajar kolaboratif, penelaahan, bertanya, pengayaan pengalaman pribadi, refleksi dan kontemplasi.

Bagaimana NILAI (Narasi peristiwa, literasi norma, afiksasi pengetahuan, dan impelementasi) bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana contohnya?

Ini kisah seorang Ustadz muda dan berbakat diundang pada acara pesta kenduri di sebuah pedesaan terpencil. Ia diminta tuan rumah untuk memberikan tausiyah pada malam pesta pernikahan anaknya yang pertama. Pak Ustadz bersedia hadir untuk memberikan ceramah kepada warga sekitar desa itu yang menurut berita mereka demikian antusias menunggu kedatangannya. Pak Ustadz sengaja berangkat sore hari dengan alasan perjalanan ke lokasi memerlukan waktu 6 jam. Ia berangkat lebih awal agar tidak terlambat. Dengan ditemani keponakannya, ia mengendarai sendiri mobil kesayangganya itu.

Namun di luar dugaannya, jalan sepanjang tiga puluh kilometer sebelum mencapai lokasi pengajian rusak berat. Batu-batuan, kubangan air, dan lekukan jalan yang tak beraturan harus ia lalui dengan ekstrahati-hati. Sayap mobil tua itu sesekali membentur badan jalan yang melekuk-lekuk dan ia beberapa kali harus turun dari mobil untuk mencari tahu apakah jalan yang akan dilewati membahyakan atau tidak. Pak Ustadz pun akhirnya tiba di lokasi setelah terlambat 1 jam dari jadwal yang telah ditentukan. Karena datang terlambat, Pak Ustadz hanya sempat istirahat sebentar untuk minum kopi agar tidak muncul rasa kantuk. Saat berceramah di atas panggung, penampilan Pak Ustadz memang memukau para hadirin. Rasa Lelah selama perjalanan terkalahkan oleh semangatnya yang berapi-api untuk memberikan pencerahan jiwa umat Islam di desa itu.

Jamaah pun merasa puas dengan kehadiran Pak Ustadz. Mereka pulang membawa ilmu yang jarang mereka dapatkan dari ajengan sekitar desa. Menjelang pulang, Tuan ruman mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas kehadiran Pak Ustadz pada acara kenduri anaknya itu. Ketika Pak Ustadz bersalaman untuk berpamitan, Tuan rumah menyelipkan sebuah amplop sambil berkata: “Maaf isi amplop ini tidak besar karena saya tidak bermaksud mengurangi rasa ikhlas Pak Ustadz dalam mengamalkan ilmu agama.” Pak Ustadz pun menjawab “Tidak apa-apa ini tugas saya sebagai Ustadz.”

Seperti biasanya, ia tidak punya target jumlah bayaran pada setiap pengajian. Tetapi kali ini, hati kecilnya sempat berhi ung lantaran perjalanan yang dilalui cukup jauh dan melelahkan. Selain itu tuan rumah tampaknya orang terpandang di desanya. Perjalanan pulang pun ia lalui pada malam hari hingga dini hari. Namun naas, ia tidak sampai ke rumah bersama mobilnya. Mobil Corolla tua itu mogok dan harus diderek keesokan harinya. Mesinnya sulit dihidupkan dan bagian sayap mobil penyok-penyok akibat benturan dengan badan jalan. Pagi hari PakUstadz diberitahu petugas bengkel bahwa mobilnya harus turun mesin dengan biaya sekitar Rp.3 juta. Pak Ustadz ingat di saku jasnya masih ada amplop hasil ceramah tadi malam yang belum dibuka. Ia bergegas mencari amplop itu dengan segera membukanya. Betapa herannya hati pak Ustadz ketika amplop itu dibuka ternyata isinya hanya Rp. 350.000.

“Inikah arti sebuah keikhlasan?” pikir Pak Ustadz sambal merenungi masa depan profesinya. Intinya, ikhlas tidak segampang yang dikatakan. Dari contoh ini anak bisa didorong untuk menggali lebih jauh untuk mengetahui ustadz tersebut ikhlas atau tidak. Ada aspek berpikir dan rasa yang bisa ditampilkan. Guru perlu kecerdasan untuk membolak balikkan kenyataan.

Dari penggalian informasi ini ditampilkan secara berulang sehingga muncul identifikasi nilai. Dari sini kemudian bergeser ke literasi norma yang mengantarkan siapapun pada peristilahan mukhlasin dan sebagainya. Kemudian afiksasi pengalaman, pengayaan pengalaman. Yang terakhir adalah internalisasi, yakni alat ukur. Saya membuat banyak contoh dalam buku saya mengenai alat ukur ini. internalisasi nilai itu relevan dengan keikhlasan, demokrasi, penghargaan lingkungan, dan sebagainya.

Apa obsesi Bapak ke depannya terkait pendidikan nilai ini?

Apa yang saya ungkapkan tadi sebenarnya tidak cukup "wah" untuk kondisi sekarang dengan adanya kurikulum merdeka yang banyak mendorong tentang critical thinking dan sebagainya. Kondisi ini berbeda dengan kondisi dahulu.

Saya menulis tentu berkonsultasi dengan sekitar, dengan sejawat dan para kyai. Saya khawatir, sejauh yang saya tulis, saya bisa dibilang "ke luar jalur" karena rasionalitas yang saya dengungkan. Alhamdulillah sejauh ini saya tidak melanggar batas itu. Nilai itu ada kalau disadari dan ada dalam tindakan. Nilai adalah rujukan untuk bertindak. Kalau saya mengatakan harapan, sebenarnya ini sudah seperti gayung bersambut.

Hanya saja, critical thinking ini harus ada batas. Jangan sampai murtad gara-gara critical thinking. Kalau dengan pendidikan nilai ini seorang anak menyalahkan nilai yang ultimate, lebih bisa menimbang sesuatu ketimbang kebenaran itu, ini yang harus diingatkan. Meskipun ruangnya masih besar, ada batas-batas yang harus dipatuhi bersama.


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Wawancara Lainnya Lihat Semua

Keislaman Lainnya Lihat Semua