Wawancara

Implementasi Nilai Moderasi Beragama dengan Keluwesan Strategi Komunikasi

Kakanwil Kemenag Sulsel Khaeroni

Kakanwil Kemenag Sulsel Khaeroni

Makassar (Kemenag) --- Upaya mewujudkan moderasi beragama terhubung dengan relasi pesan yang ingin disampaikan dan penerima pesan tersebut. Hal demikian lazim dikenal sebagai konsekuensi interaksi dan komunikasi program dan kebijakan.

Melalui berbagai langkah yang telah ditempuh, Kantor Kementerian Agama Sulawesi Selatan telah menunjukkan bahwa sosialisasi moderasi beragama dapat dan perlu ditempuh dengan beragam pendekatan, salah satunya adalah dengan menjalin silaturahim dengan berbagai pihak dan fleksibilitas strategi komunikasi. Efektivitas pendekatan ini terlihat dari berbagai praktik baik moderasi beragama yang dijalankan pada berbagai lapisan masyarakat hingga lembaga Pendidikan. Testimoni para ketua lembaga keagamaan Provinsi Sulawesi Selatan pun memperkuat hal ini.

Dalam kesempatan berkunjung ke Kantor Kementerian Agama provinsi Sulawesi Selatan, Kamis (11/5/2023), tim media Direktorat PAI Ditjen Pendidikan Islam melakukan wawancara dengan Kepala Kantor Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Selatan, Drs. Khaeroni, M.Si. Konteks wawancara adalah strategi implementasi moderasi beragama dan peran Pendidikan Agama Islam di Sulawesi Selatan.

Wawancara dipandu dan ditulis oleh Saiful Maarif (Asesor SDM Aparatur Kemenag pada Subdit PAUD TK Direktorat PAI Ditjen Pendidikan Islam).

Dalam beberapa kesempatan, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas sering menyatakan perlunya penguatan moderasi beragama secara kelembagaan maupun bagi SDM Kemenag dan publik. Terkait arahan tersebut, apa yang sudah dilakukan Kanwil Kemenag Provinsi Sulsel?

Semenjak moderasi beragama menjadi program prioritas Kemenag, kita selalu menyertakan moderasi beragama dalam setiap langkah dan kebijakan yang kita tempuh. Namun demikian, hal tersebut terasa tidak cukup. Dalam pengalaman kami, tetap dibutuhkan kegiatan yang bersifat masif dan diikuti publik luas. Event besar ini diperlukan untuk memberi penyadaran dan sosialisasi kepada masyarakat. Itulah yang menjadi latar mengapa kami mengadakan Pekan Merdeka Toleransi Beragama pada tahun 2022, yang di antaranya berisi Workshop Moderasi Beragama yang dihadiri tokoh dan peserta lintas-iman. Selain itu, ada juga Kemah Moderasi Beragama yang diikuti para pelajar uang juga berasal dari latar agama yang berbeda.

Napas lintas agama juga mewarnai kegiatan lain yang kami sajikan sewaktu Pekan Moderasi Beragama tersebut, yakni Panggung Seni Budaya dan Karnaval Lintas Iman. Secara umum kegiatan semacam ini kami adakan dengan tujuan untuk memberi penyadaran kepada masyarakat bahwa moderasi beragama merupakan upaya yang perlu dibangun bersama dengan berbagai praktik baik, budaya dan kebijakan yang dapat dijalankan.

Tahun ini, dimulai dari Hari Amal Bhakti (HAB) dan berbagai kebijakan yang sudah, sedang, dan akan kami jalankan, kita akan perluas daya jangkau dan kolaborasi yang ada. Langkah ini kami tempuh dengan menggandeng berbagai institusi pemerintah daerah, mulai dari Kesbangpol, TNI-Polri, dinas pendidikan, berbagai kantor wilayah, dan organisasi mitra. Dalam semua event tersebut, kami selalu menyertakan moderasi beragama dan toleransi sebagai elemen penting di dalamnya, meski kami tidak selalu mengemas tema moderasi beragama secara formal.

Apa dasar dan manfaat pendekatan tidak selalu formal dalam sosialisasi moderasi beragama tersebut?

Begini, seringkali kita harus menggunakan beragam strategi untuk mencapai tujuan yang kita harapkan, termasuk dalam sosialisasi moderasi beragama ini. Sebuah kebijakan, apapun itu, tentu saja memerlukan interaksi dan komunikasi dengan para pihak yang terlibat di dalamnya.

Dalam upaya interaksi dan komunikasi tersebut, kita perlu menghindari kebosanan pada masyarakat. Kebosanan ini bisa saja terjadi karena mereka jenuh dengan pesan dan pendekatan formal yang kita berikan. Oleh karenanya, kita perlu sesuaikan kebijakan dengan melihat karakteristik publik yang kita layani. Menghindari formalitas menjadi penting agar kita bisa masuk pada semua lapisan masyarakat dan beragam situasi yang berkembang. Tentu saja semua itu kita laksanakan tanpa meninggalkan atau malah menghilangkan substansi dasar dan tujuan yang ingin kita capai dengan program yang kita jalankan.

Tahun ini kita agendakan Kemah Bersama Siswa dan Kepala Sekolah Lintas Agama. Selain itu, kita juga rencanakan Pentas Budaya Lintas Agama secara besar-besaran. Nantinya, dalam event ini akan dibuka seluasnya kesempatan para penampil seni budaya lintas agama untuk menyajikan seni budaya sesuai agama masing-masing.

Kami juga dorong kompetisi para siswa lintas-iman. Pada beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan, kami lantik dan tetapkan secara resmi siswa lintas agama sebagai duta moderasi beragama. Saya targetkan seluruh kabupaten/kota di Sulsel memiliki duta moderasi beragama pada sekolah dan madrasah yang ada di bawah koordinasi mereka dan kita akan terus dampingi dan pantau aktivitas mereka.

Saat ini, masih dalam rangkaian Hari Pendidikan Nasional, kami mengadakan Bulan Merdeka Belajar. Pada rangkaian kegiatan di dalamnya, kami masukkan substansi moderasi beragama dalam beragam praktik baik yang diadakan tanpa menyebutnya secara spesifik sebagai, katakanlah, gerakan moderasi beragama. Saya merasa, dengan pendekatan dan fleksibiltas seperti ini, kita berhasil merangkul dan mengajak semua pihak, bahkan yang mungkin dalam pandangan luas dikenal sebagai pihak yang cukup bersuara keras terhadap toleransi beragama selama ini.

Dalam relasi penguatan moderasi beragama pada sekolah, bagaimana Bapak melihat peran dan tantangan yang dihadapi PAI?

Saya kira peran PAI, dalam upaya penguatan moderasi beragama, sangat penting dan strategis sebagaimana terlihat dalam pelbagai kebijakan yang kami jalankan. Dalam kaitan tersebut dan konteks yang lebih luas, saya melihat kita memiliki tantangan yang tidak mudah. Dari sisi anggaran, PAI, dan saya kira pendidikan Islam secara umum, memiliki tantangan kurang dan terbatasnya anggaran, sementara beban dan tanggung jawab kita tidak berkurang, malah bertambah. Hal ini tentu berakibat banyak.

Hal lainnya, tentang pengangkatan guru agama. Terkait hal ini, saya sepakat dan sangat mendukung ide Menteri Agama agar pengangkatan guru agama itu sepenuhnya berada di kita. Selama ini, pengangkatan guru agama juga dilakukan oleh Pemda, padahal urusan agama ada di kita. Bagaimana kemudian kita dapat memastikan kualitas rekrutmen guru agama sementara tugas dan kewenangan tersebut tidak sepenuhnya berada di Kemenag?

Dalam kunjungan yang kami lakukan ke berbagai lembaga Pendidikan, mulai dari TK hingga SMA, kami mendapati banyak praktik baik yang dijalankan lembaga-lembaga tersebut. Di beberapa TK kami bahkan mendapat informasi bahwa penanaman nilai toleransi telah ditempuh dengan mengajarkan pada peserta didik untuk saling menerima perbedaan dan bekerja sama dalam kegiatan yang melibatkan peserta didik lintas-iman. Kami meyakini, fenomena seperti ini tidak datang tiba-tiba, melainkan adalah bagian dari kebijakan yang bersifat koordinatif. Bagaimana jajaran Kanwil Kemenag Provinsi Sulsel mengembangkan program dan kebijakan ini?

Kami melihat, toleransi dan moderasi beragama itu meniscayakan kerja sama dan ketulusan yang perlu terus dipupuk. Selain prinsip fleksibilitas tadi, ini landasan kedua yang kami kembangkan dalam konteks moderasi beragama. Terkait pelaksanaan dan praktik baik di lembaga Pendidikan TK, misalnya, saya sampaikan bahwa momen memberi penyadaran pada siswa sejak dini itu sangat penting. Apa yang dicerna anak dari dini akan membentuk pengetahuan dan watak mereka hingga dewasa. Jika yang ditanamkan adalah nalar toleran dan moderat, maka nalar itu memiliki kemungkinan besar untuk terus terjaga dan berkembang hingga mereka dewasa.

Pada titik ini, harapan kita bersama mengenai terwujudnya generasi moderat, sebagaimana yang selalu digaungkan oleh Gus Menteri Yaqut Cholil Qoumas, mendapat titik berangkat yang menggembirakan pada diri anak-anak tersebut.

Landasan ketiga yang menjadi bagian dari kebijakan kami adalah perlunya sikap terbuka dan komunikatif dalam mengembangkan dan menguatkan moderasi beragama. Dalam berbagai kesempatan, saya selalu mengimbau kepada jajaran kemenag kabupaten/kota di Sulawesi Selatan hingga kepada kepala madrasah dan kepala sekolah untuk mau membuka diri dalam bentuk saling berkunjung, beranjangsana, dan berkomunikasi bagi siswa lintas iman.

Kunjungan dan komunikasi lintas iman itu pada dasarnya adalah upaya konstruktif untuk memberikan wadah kepada anak agar mereka mengalami perbedaan secara langsung dan mengelola perbedaan itu dalam alam sadar dan bawah sadar mereka. Nantinya, saya yakin hal demikian akan membentuk watak dan karakter toleran dengan sendirinya.

Landasan keempat adalah upaya kita membangun persepsi positif pada anak mengenai perbedaan iman itu sendiri. Hal ini penting sebagai wujud dari tulus tidaknya anak mencerna apa yang mereka pahami. Saat berkunjung ke gereja, misalnya, saya tanya kepada anak-anak muslim mengenai kesan kunjungan mereka. Jawaban mereka adalah "megah". Jawaban yang sama juga saya dapati dari siswa non-muslim saat mereka melihat masjid, dan seterusnya pada siswa beragama lainnya.

Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak ada jawaban yang bersifat "takut"; takut imannya, takut terpengaruh, dan sebagainya. Ini adalah salah satu ukuran sikap moderat, bahwa kita tidak mengedepankan rasa takut saat melihat capaian dan ekspresi iman umat agama lain. Saya sampai bertanya, selain kesan megah tersebut, bolehkah kita salat atau beribadah di rumah ibadah lain? Anak-anak itu menjawab boleh dan mau saja jika kondisinya darurat. Saya kira ini gambaran-gambaran positif mengenai praktik baik toleransi dan moderasi beragama yang dijalankan pada diri siswa.

Kami juga menemukan GPAI di Sulsel (Bapak Muhammad Warham, Ketua MGMP PAI SMP Provinsi Sulsel) yang sangat kreatif dalam mengembangkan konsep pembelajaran moderasi beragama pada siswa. GPAI tersebut, atas inisiatif sendiri, membuat pembelajaran moderasi beragama berbasis virtual reality (VR). Jika ditarik lebih luas, kreasi inovatif GPAI ini sangat terhubung dengan setidaknya dua program prioritas Menteri Agama sendiri, yakni moderasi beragama dan transformasi digital. Bagaimana Bapak melihat hal ini?

Saat ini, teknologi informasi berkembang sangat pesat, hal demikian sangat terkait dengan ajaran kita sendiri. Dalam Al-Quran terdapat lebih dari 6.600 ayat, 750 ayat di antaranya berbicara tentang konteks sains dan teknologi. Kita bisa memaknai secara beragam saat terjadi proses isra mi'raj, di mana Nabi dalam waktu sekejap bisa bertemu dengan Allah di Sidratul Muntaha. Saat ini, dalam waktu sekian detik saja kita saling berkomunikasi dengan orang di seluruh penjuru dunia. Bagi saya, di samping makna spiritualnya, ayat ini mengajarkan perlunya kita juga menyadari perkembangan teknologi.

Terakhir, apa harapan Bapak mengenai peran PAI dalam penguatan moderasi beragama di Sulawesi Selatan?

Saya berharap kita dapat makin menyatukan langkah dalam derap penguatan moderasi beragama. Saya akan undang para GPAI kreatif untuk turut mendiseminasi moderasi beragama dalam berbagai praktik baik, termasuk pemanfaatan teknologi di di dalamnya. Kita akan memberi ruang seluasnya bagi para GPAI untuk berkreasi secara positif dalam konteks moderasi beragama.


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Wawancara Lainnya Lihat Semua

Keislaman Lainnya Lihat Semua