Hikmah

Pentingnya "Cangkem Elek" dalam Beragama

Thobib Al Asyhar (Dosen SKSG Universitas Indonesia, Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan/GTK Madrasah Ditjen Pendis)

Thobib Al Asyhar (Dosen SKSG Universitas Indonesia, Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan/GTK Madrasah Ditjen Pendis)

Dalam beberapa hari terakhir, saya menyimak ulang video Youtube Gus Baha yang membahas tentang "cangkem elek" dalam beragama. "Cangkem elek" merupakan istilah Jawa yang berarti "mulut pedes". Penggunaan istilah Gus Baha ini sebenarnya merupakan respon atas sikap beragama kaum literal yang mengandung logika (critical) yang perlu diajukan untuk menghentikan keusilan mereka.

Dalam ceramahnya, Gus Baha menceritakan kejadian di Jakarta. Ada seorang yang konon berpaham keagamaan literal mempersoalkan dalil tentang "salaman" dan "wiridan" jamaah di masjid setelah salat. Mereka mempertanyakan tuntunan dari Rasulullah tentang amaliyah tersebut. Menurut Gus Baha tentu kita kesulitan mencari hadis Nabi tentang hal itu. Kalau toh ada itu dipastikan hadisnya dhaif atau maudlu'.

Lalu kepada mereka yang usil tersebut diajukan pertanyaan dengan "cangkem elek". Pertanyaannya gini: setelah salat boleh apa tidak kita langsung main HP? Atau ke toilet untuk buang hajat? Jawaban mereka "boleh". Lho kalau boleh main HP dan buang hajat ke toilet, kenapa setelah salat tidak boleh "salaman" atau "wiridan" yang nota bene zikir (ingat) kepada Allah? Berarti habis salat tidak boleh ingat kepada Allah? Dengan pertanyaan "cangkem elek" seperti itu baru mereka diam seribu bahasa.

Ada lagi yang usil mempersoalkan tentang dalil-dalil ziarah kubur. Mereka sering mengolok-olok, kok kuburan didatangi, minta-minta kok sama orang mati, dan seterusnya. Mereka menuduh sebagai perbuatan syirik, khurafat, dan tahayyul. Intinya, amaliah-amaliah yang secara literal tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan hadis nabi dikategorikan sebagai perilaku bid'ah, dan setiap bid'ah itu dlalaalah (sesat).

Sikap keberagamaan yang "usil" dan "menyerang" amaliah orang lain seperti itu perlu direspon dengan "cangkem elek". Orang-orang ziarah ke makam itu bukan meminta-minta kepada mayyit. Mereka datang ke makam untuk membaca kalimat thayyibah, ayat-ayat Al-Qur’an, dan mendoakan kepada orang yang sudah meninggal sebagai cara untuk mengingat akan datangnya kematian. Demikian juga orang tahlilan itu yang dibaca ayat Al-Qur’an dan doa-doa kebaikan untuk si mayyit. Bukan main gaple atau remi.

Jika cara beragama kita hanya mencela amaliah orang lain, lalu apa yang bisa diamalkan dari sunnah Nabi agar kita menjaga silaturrahim, menjaga lisan agar orang lain tidak tersinggung, dan larangan untuk merasa paling benar sendiri? Janganlah mudah kita menuduh sesat dan bid'ah kepada orang lain yang sebenarnya kita tidak memahami hakikat amaliah itu.

Bukankah orang yang membaca kalimat thayyibah yang awalnya kafir secara otomatis menjadi mukmin? Kenapa begitu mudah menuduh orang lain yang "berbeda" amaliyah sebagai kelompok sesat dan pengamal khurafat? Apakah membaca tahlil (laa ilaaha illallah) dan ayat-ayat Al-Qur’an disebut khurafat? Bukankah membaca kalimat-kalimat mulia dapat dilakukan kapan pun sebagai ungkapan iman dan ketaatan kita kepada Allah.

Dalam Al-Qur’an, menghadapi komentar orang usil dalam beragama yang disebabkan karena tidak memiliki pemahaman utuh sebenarnya tidak perlu direspon. Imam Syafii bernah bilang: "Aku mampu berhujah dengan 10 orang yang berilmu, tetapi aku pasti kalah dengan seorang yang jahil, karena orang yang jahil itu tidak pernah paham landasan ilmu." Karenanya, beliau berpesan: "Apabila orang bodoh mengajak berdebat denganmu, maka sikap yang terbaik adalah diam, tidak menanggapi."

Namun, di era media sosial dan tradisi viral seperti saat ini, tetap perlu "counter narasi" sebagai upaya untuk membangun tradisi berpikir dalam beragama agar lebih bisa menerima perbedaan. Meskipun dalam kondisi tertentu, berdiam itu penting agar kita tidak terjebak dalam framing media. Akan tetapi, dalam hal-hal lain menggunakan "cangkem elek" sebagai cara untuk menyadarkan tetap diperlukan agar kita tidak dalam posisi "seakan-akan" salah. Wallahu a'lam.

Thobib Al Asyhar (Dosen SKSG Universitas Indonesia, Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan/GTK Madrasah Ditjen Pendis)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Hikmah Lainnya Lihat Semua

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Koordinat
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Nol
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Kumpul
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Temu
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Jenuh

Artikel Lainnya Lihat Semua