Hikmah

Menjadi Pribadi yang Mudah Bersyukur

Thobib Al Asyhar (Dosen SKSG Universitas Indonesia, Kasubdit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat DIKTIS)

Thobib Al Asyhar (Dosen SKSG Universitas Indonesia, Kasubdit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat DIKTIS)

Pernahkah anda menemukan orang yang setiap hari mengeluh? Kalau saya pernah. Dia mengeluhkan semua hal. Mulai dari pendapatannya tidak mencukupi, anaknya nunggak SPP sekolah, motornya rusak, istrinya bawel, rumahnya bocor, anaknya nakal, atasannya tidak menyenangkan, temennya "nyebelin", dan seterusnya. Hampir tidak ada cerita yang keluar dari mulutnya kecuali keluhan. Tiada hari tanpa mengeluh.

Sebagai manusia, pasti memiliki kekurangan dan masalah. Siapapun. Kalau tidak mau punya masalah, jangan pernah jadi manusia. Karena manusia diciptakan oleh Allah sepaket dengan masalahnya. Namun, masalah yang kita miliki tidak perlu "disambati" atau dikeluhkan setiap saat. Meskipun sifat dasar manusia berkeluh kesah seperti disebut dalam Al-Quran: "Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh lagi kikir." (QS: Al Maarij: 19).

Orang yang sering mengeluh pastilah mereka yang tidak mengerti indahnya bersyukur. Setidaknya kurang tahu caranya untuk berterima kasih atas anugerah yang Allah berikan kepadanya, meskipun kecil. Seberat apapun masalah yang menimpa kita harus dihadapi. Bukan dihindari. Apalagi dijadikan alibi untuk terus meratapi atas semua kekurangannya. Bukankah manusia tidak ada yang sempurna?

Lalu bagaimana caranya agar kita bisa menjadi pribadi yang mudah bersyukur? Sebelum membaca ulasan di bawah ini, mari sejenak merenungi, apakah kita termasuk kategori orang yang mudah bersyukur? Jika belum atau kurang bersyukur, marilah kita cermati beberapa tips di bawah ini.

Pertama, perlu disadari bahwa kita sejak awal hidup di dunia ini tidak memiliki apa-apa (nothing). Lahir dari rahim ibu dalam keadaan "telanjang", tidak memiliki apapun, kecuali hanya harapan pada orang terdekat, yaitu kedua orang tua yang merawat kita hingga mampu membaca artikel ini. Lalu, saat kita telah menjadi dan memiliki ini dan itu (something), maka jangan pernah melupakan kondisi awal saat kita diciptakan.

Satu contoh, sekarang kita memiliki pekerjaan tetap, dengan pendapatan relatif cukup menurut ukuran kita. Namun setiap hari masih "merasa" kurang dan penuh masalah. Bukankah sudah memiliki pekerjaan jauh lebih beruntung dari mereka yang jobless? Katakanlah masih belum memiliki pekerjaan tetap namun badan sehat, bukankah masih jauh lebih baik dari mereka yang terbaring sakit? Tidakkah kita mensyukuri atas apa yang Allah anugerahkan kepada kita?

Jika pendapatan kita tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari, bisakah kita membedakan antara kebutuhan dan keinginan? Harus dipahami, pendapatan dan rejeki itu jelas berbeda. Rejeki yang di antaranya didapatkan dari pendapatan hanyalah angka-angka yang sering membuat kita terbuai. Bukankah badan kita sehat, keluarga yang utuh, tetangga yang baik, anak-anak yang saleh, dan lain-lain adalah rejeki yan sangat pantas untuk disyukuri?

Kedua, apa yang kita miliki mutlak titipan Allah. Kekayaan berupa harta, tahta, dan atribut sosial lainnya adalah titipan Allah. Kepemilikan apapun di dunia, ditinjau dari ilmu hakikat, bersifat nisbi. Artinya, semuanya adalah milik Allah yang suatu saat Allah bisa ambil kapan saja, sekehendak Allah inginkan. Tak terkecuali makhluk bernyawa yang ada di sekitar kita. Istri yang cantik nan saleh, suami yang ganteng dan sukses, anak-anak yang pintar dan baik, semuanya adalah "milik" Allah.

Ada kalimat bijak yang patut direnungkan. "Milikilah kekayaan hanya sebatas di tangan, jangan sampai meresap ke dalam hati". Apa maknanya? Harta yang kita miliki hakikatnya milik Allah. Jika suatu saat nanti diambil oleh Allah melalui berbagai cara, maka kita bisa ikhlas menerimanya. Sementara kalau kekayaan sudah tertancap kuat dalam hati, ketika hilang atau rusak, akan membuat jiwa kita terpuruk, menyesali, dan menangisi dengan kesedihan tak terkira.

Ketiga, jangan pernah memandang bahwa menjadi bahagia itu harus memenuhi sekian syarat, seperti punya mobil dulu, punya jabatan dulu, punya uang sekian, dan lain-lain. Untuk mencapai bahagia harusnya simpel. Misalnya, bisa makan setiap hari saja sudah bahagia. Meski duit tidak banyak, bisa ketemu anak dan istri untuk bercengkerama juga bahagia. Demikian juga bisa berbagi kepada sesama meski kecil juga bisa membuat kita bahagia. Mari berbahagia dengan mudah dan murah, tanpa menunggu sekian syarat terpenuhi.

Jika kita mensyaratkan bahagia harus terpenuhinya jumlah harta dan pencapaian tertentu, betapa beban hidup ini menjadi berat. Dari sinilah kita menjadi sulit bersyukur. Anugerah Allah yang tak nampak namun sangat kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari seharusnya membuat kita mudah berbahagia.

Di bulan suci Ramadan yang sarat berkah ini, mari tumbuhkan sikap diri yang mudah bersyukur. Banyak cara ungkapkan syukur, seperti bersedekah, rajin beribadah, tetap berpikir positif, respek kepada orang laih, menjaga makanan dan minuman halal, menjaga silaturrahim, hingga rajin memyebut ungkapan sederhana: "alhamdulillah" di setiap waktu. Wallahu a'lam.

Thobib Al Asyhar (Dosen SKSG Universitas Indonesia, Kasubdit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat DIKTIS)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Hikmah Lainnya Lihat Semua

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Koordinat
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Nol
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Kumpul
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Temu
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Jenuh

Artikel Lainnya Lihat Semua