Kolom

Kenapa Mesti Hari Kartini?

Saipullah Sanusi (Dosen Fakultas Syariah UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten)

Saipullah Sanusi (Dosen Fakultas Syariah UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten)

"Hari" adalah sebuah unit waktu yang diperlukan bumi untuk berotasi pada porosnya sendiri. Di situ letak tugas sentral naturalnya. Hanya saja, "hari" bisa menyulap dirinya menjadi sesuatu yang sangat penting, manakala ia mencatat sebuah memorial atau sejarah tertentu yang sangat urgen untuk dikenang dan dijadikan sketsa pembelajaran.

Berkapasitas sebagai bos eksekutif, yang memiliki kewenangan untuk menekan sebuah keputusan, presiden pertama kita, Soekarno (akrab dengan panggilan Bung Karno), menetapkan, bahwa RA. Kartini sebagai Pahlawan Nasional dengan surat keputusannya No. 108 tanggal 02 Mei 1964. Dan bersamaan dengan itu pula, tanggal kelahirannya, 21 April, dijadikan "Hari Kartini".

Sudah saklek alias "haqqul yaqin", bahwa Ibu Kartini adalah seorang pahlawan wanita yang amat sangat banyak serta besar jasanya terhadap negara dan bangsa Indonesia, khususnya kaum Hawa. Tapi tunggu dulu, bahwa dia bukan satu-satunya pejuang dan pahlawan kaum Hawa. Mengingat masih banyak deretan kaum Hawa lain yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai "Pahlawan Nasional", atas dasar pertimbangan jasa-jasa mereka.

Tidak kurang ada 16 pahlawan kaum hawa (di luar Kartini). Mereka adalah (1) Martha Christina Tiahahu dari Maluku, (2) Cut Nyak Meutia dari Aceh, (3) Cut Nyak Dien dari Aceh, (4) Dewi Sartika dari Jawa Barat, (5) Rohana Kuddus dari Padang, Sumatra Barat, (6) Maria Walanda Maramis dari Minahasa, Sulawesi Utara, (7) Siti Manggopoh dari Manggopoh, Agam, Sumatra Barat, (8) HR. Rasuna Said dari Maninjau, Agam, Sumatra Barat, (9) Fatmawati Soekarno dari Bengkulu, (10) Nyi Ageng Serang dari Purwodadi, Jawa Tengah, (11) Opu Daeng Risadju dari Sulawesi Selatan, (12) Laksamana Malahayati dari Aceh, (13) Sultanah Safiatuddin Syah dari Aceh, (14) Nyai Ahmad Dahlan dari Yogyakarta, (15) Ratu Nahrasiyah dari Kerajaan Samudera Pasai, dan (16) Siti Hartinah dari Surakarta, Jawa Tengah.

Kenapa mesti Hari Kartini, tidak yang lain? Sebagai seorang presiden di satu pihak dan seorang intelektual yang piawai di pihak lain, dipastikan, bahwa Bung Karno memiliki parameter tersendiri yang logis dan kuat. Hanya saja memang, secara konkret, tidak diurai olehnya.

Namun atas dasar analisis empirik versi sementara pihak, paling tidak ada enam karakter yang lekat pada pribadi seorang Kartini, yaitu: (1) Cerdas dan Berwawasan Luas, (2) Memiliki Tekad yang Bulat dan Pantang Menyerah, (3) Patuh dan Menghormati Orang Tua, (4) Berani dan Optimis, (5) Sederhana dan Rendah Hati dan (6) Berjiwa Sosial dan Penuh Kasih. (Gramedia.com)

Apa yang paparkan di atas, basis tolok ukurnya lebih berat ke timbangan normatif. Pasalnya, para pahlawan kaum Hawa, semuanya dipastikan memiliki hal serupa. Sebab, tidak mungkin mereka menyandang gelar "Pahlawan Nasional", tanpa memiliki karakter tersebut.

Lantas, apa kelebihan paling spesial yang dimiliki Kartini, (kebetulan) tidak dimiliki mereka (para pahlawan kaum Hawa lainnya)? Tentu banyak sekali. Kalau disebut karena dia sebagai pelopor "emansipasi wanita", pada tataran aktualisasi di lapangan semua pahlawan kaum Hawa sesungguhnya adalah pelaku yang sama (pelopor "emansipasi wanita" walau dengan cara yang berbeda-beda). Jadi bicara "emansipasi wanita" sangat universal adanya.

Boleh jadi, satu dari sekian maziyah yang dimiliki Kartini, sementara ia tidak dimiliki oleh deretan para pahlawan kaum Hawa di atas, bahwa betapa seorang yang dijustifikasi oleh kaum imperialis sebagai inlander yang dianggap tidak memiliki kelebihan apapun, ternyata Kartini mampu membelah atmosfer dunia akademis. Wujudnya, dia mampu mengekspresikan segala kegundahan dirinya karena tindakan imperialis lewat surat-surat yang ditulis tangan dalam bahasa Belanda, yang dikirimkan kepada sahabat penanya yang ada di Belanda yang notabene mereka adalah sosok orang-orang bergengsi.

Terungkap dalam tulisannya yang disampaikan kepada Stella tertanggal 25 Mei 1899, "Renungan tentang dan untuk Bangsanya (1979) yang diterjemahkan Sulastin Sutrisno: "Saya ingin sekali berkenalan dengan seorang 'gadis modern', yang berani, yang mandiri, yang menarik hati saya sepenuhnya. Yang menempuh jalan hidupnya dengan langkah cepat, tegap, riang, dan gembira, penuh semangat dan keceriaan."

Berdasarkan data yang dihimpun Kompaspedia, menjelang akhir hayat Kartini (1904), tidak kurang dari 246 surat yang dia tulis. Setelah dianalisis ada sebanyak 155 surat-surat Kartini yang ditulisnya untuk teman-temannya di Negeri Belanda, yang berisi tentang pemikiran-pemikirannya mengenai pendidikan wanita. Surat-surat itu kemudian dikumpulkan oleh Mr. J. H. Abendanon dan diterbitkan pada tahun 1911 dengan judul "Door Duisternis tot Licht" (Habis Gelap Terbitlah Terang). Buku tersebut menjadi "best seller" yang mengalami beberapa kali cetak ulang.

Ternyata, fenomena Kartina tidak sekedar identik dengan khas baju "kebayanya" yang biasanya dikenakan oleh sementara kaum Hawa setiap memperingati Hari Kartini (tanggal 21 April). Tetapi lebih dari yang sesungguhnya, dia adalah pelontar gagasan yang berbasis akademis. Dia melompat dari jendela kebodohan dan keterbelengguan menuju dunia baru yang progresif.

Gebrakan pemikiran akademis Kartini mulai direspon oleh pemerintah kolonial. Belum genap satu tahun setelah kumpulan surat Kartini diterbitkan pada 1911, perhatian atas pendidikan formal perempuan Jawa mulai meningkat. Ratu Belanda menunjuk Abendanon untuk mengurusi pendidikan perempuan pribumi Hindia Belanda.

Awal 1912, terbentuklah komite perumusan model pendidikan perempuan Jawa. Komite ini digerakkan oleh orang-orang yang dekat dengan pemikiran Kartini. Komite mengadakan rapat pertama pada 1 Februari 1912 di Den Haag dan membentuk Yayasan Kartini. Sumber dana yayasan berasal dari penjualan buku Kartini.

Kartini benar-benar mendapat tempat istimewa di ruang apresiasi para elite Belanda. Sebagai wujud penghargaan atas jasa gagasan dan pemikiran Kartini, mereka membikin "Kartini Award" dan namanya diabadikan di salah satu kota di Belanda, yaitu di Utrech.

Sungguh, tidak hanya menjadi suri teladan bagi kaum Hawa, juga bagi kaum Adam. Tidak hanya untuk kelas Indonesia, tapi juga untuk konteks kelas dunia. Tegasnya, Kartini sudah "go internasional", yang sungguh langka bisa hadir pada zamannya saat itu. Wallahu A'lam bi al-Shawab.

Saipullah Sanusi (Dosen Fakultas Syariah UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Kolom Lainnya Lihat Semua

Lainnya Lihat Semua