Hindu

Pentingnya Yadnya dan Rasa Syukur Terlahir Sebagai Manusia

Ida Bagus Putu Tilem Singarsa, S.S (Rohaniwan Hindu)

Ida Bagus Putu Tilem Singarsa, S.S (Rohaniwan Hindu)

Om Swastyastu. Umat sedharma yang berbahagia. Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling sempurna dikarenakan memiliki Tri Pramana, yakni: Bayu (tenaga/nafas), Sabda (kemampuan mengeluarkan suara/berbicara), dan Idep (kemampuan berpikir). Sudah selayaknya kita sebagai manusia mensyukuri anugerah tersebut. Dengan kemampuan berpikir, manusia dapat menjalani kehidupan dengan lebih baik.

Dalam kitab Sarasamuccaya disebutkan: “Apan iking dadi wwang, uttama juga ya, nimittaning mangkana, wenang ya tumulunge awaknya sangkeng sangsara makasadhanang subhakarma, hinganing kottamaning dadi wwang ika”. Artinya: kelahiran kembali sebagai manusia dikatakan yang paling utama, sebabnya demikian, karena hanya manusialah yang dapat menolong dirinya sendiri dari kesengsaraan dengan jalan berbuat baik, demikianlah keutamaan menjadi manusia itu.

Dalam sarasamuccaya juga diterangkan bahwa kelahiran menjadi manusia sangatlah sulit untuk dicapai dan keberlangsungannyapun sangat singkat “Tan bina kadi kedapning kilat” tak ubahnya seperti cahaya kilat. Maka dari itu hendaknya kita selalu mengusahakan menebar benih kebaikan disekitar agar dapat terlepas dari kesengsaraan. Sengsara yang dimaksud ialah putaran reinkarnasi atau dalam keyakinan kita sebagai umat Hindu disebut dengan istilah Punarbhawa.

Dalam keseharian kehidupan bermasyarakat, kita menjumpai berbagai macam karakter manusia dalam menjalani kehidupannya. Ada yang terlihat selalu bahagia, senang, riang gembira dan ada pula yang sedih, putus asa, dan pesimis terhadap kondisinya yang selalu.

Pada hakikatnya segala yang terlahir ke dunia akan mengalami semua hal tersebut sesuai karma phala atau hasil perbuatannya, seperti yang tertuang pada kutipan tembang pupuh sinom berikut ini:

“Titiang jadma suniantara, nista lacur manumadi, mlarapan suka legawa, catur bekel titiang pasti, suka duka lara pati, nika wantah titiang pikul”. Kita semua berasal dari alam sunia atau kekosongan, dalam keadaan yang nista terlahir ke dunia ini, dengan sikap legowo dan kepasrahan, membawa empat bekal dalam kehidupan ini, yakni suka duka lara pati, kesenangan, kesedihan, kesakitan, dan kematian, itulah yang senantiasa dipikul oleh manusia.

Dengan menyadari hal tersebut sudah barang tentu kita dapat lebih berpasrah diri dan bersyukur atas kehidupan yang telah diberikan oleh Sang Pencipta. Dalam kehidupan beragama Hindu tentu tak luput dari konsep Yadnya yang berkaitan erat dengan rasa syukur.

Yadnya merupakan korban suci yang tulus ikhlas sebagai wujud rasa terima kasih umat Hindu ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa atas segala karuniaNya. Sebab tanpa isi jagat raya manusia tak akan mampu bertahan hidup. Seperti halnya kebutuhan akan air, manusia juga membutuhkan kehadiran tanaman dan binatang untuk menunjang kehidupannya. Maka dari itu, pada pelaksanaannya, Yadnya menggunakan sarana-sarana yang terdiri dari tumbuhan dan binatang.

Dengan beryadnya manusia diharapkan dapat meningkatkan hubungan spiritualitas dengan Sang Pencipta agar tercapainya kehidupan yang harmonis antar sesama dan juga lingkungannya. Ketika menggelar upacara Yadnya ada beberapa pantangan yang mesti diperhatikan dan ditaati seperti tidak boleh berpikiran buruk (marah), berkata kasar atau asal-asalan dan juga tidak boleh mengasihani harta benda yang dimiliki untuk digunakan sebagai sarana Yadnya.

Dalam budaya Bali, terdapat istilah “Geng Yasa Geng Goda” yang berarti semakin besar yasa/usaha/yadnya yang digelar semakin besar pula godaan yang datang untuk menghancurkannya. Laksana pohon yang tumbuh semakin besar, maka semakin keras angin yang menerjang. Maka dari itu, hendaknya kita selalu bersikap waspada terhadap segala kemungkinan godaan yang bisa saja terjadi pada saat Yadnya berlangsung.

Hal yang tak kalah pentingnya pula kita patut siaga dengan kedatangan “musuh” yang kian mendekat seiring perubahan zaman. Dalam agama Hindu kita mengenal konsep Catur Yuga yang terdiri dari Kerta, Treta, Dwapara, Kali. Ketika zaman telah memasuki Kali Yuga, di mana semuanya amburadul tidak karuan mana baik mana buruk, sebab Kali dapat berarti sungsang atau terbalik. Yang baik dianggap buruk, yang buruk dianggap baik.

Dalam kakawin Ramayana disebutkan “Ragadi musuh maparӧ, ri hati ya tonggwanya tan madoh ri hawak”. Artinya, musuh terbesar sangatlah dekat keberadaannya, yakni berada di dalam hati tak jauh dari badan. Berdasarkan kutipan kakawin tersebut dapat disimpulkan bahwa musuh terbesar manusia adalah keinginan atau hawa nafsunya sendiri. Ketika manusia dikuasai oleh keinginannya yang liar, maka akan terjadi bencana yang dapat merugikan dirinya sendiri maupun orang di sekitarnya.

Sebagai contoh, ketika seseorang melihat orang lain memiliki sesuatu yang tak dimilikinya, maka timbul niat untuk merampasnya. Ketika melihat tetangganya membeli mobil baru, dia lalu ingin memilikinya juga atas dasar gengsi walaupun harus berhutang seumur hidup.

Lantas bagaimana caranya untuk menghadapi permasalahan tersebut? Tiada lain adalah dengan selalu mengucap syukur atas segala yang telah dimiliki, namun tetap berusaha untuk meraih masa depan yang lebih baik tentunya di jalur Dharma. Sebab ketika seseorang menjalani kehidupannya dengan bersyukur maka segalanya akan terasa lebih ringan, namun bila seseorang tak dapat bersyukur, selalu merasa kurang, serakah dan haus kekuasaan, maka segala yang dimilikinya seakan tiada berarti walaupun ia seorang yang berada.

Umat sedharma yang berbahagia, demikian Mimbar Hindu pekan ini. Semoga dapat memberikan perspektif yang lebih luas dalam mengarungi arus kehidupan yang semakin kompleks. Om Shanti Shanti Shanti Om

Ida Bagus Putu Tilem Singarsa, S.S (Rohaniwan Hindu)


Fotografer: Istimewa

Hindu Lainnya Lihat Semua

I Gusti Agung Istri Purwati, S.Sos, M.Fil.H (Penyuluh Agama Hindu Kankemenag Badung, Bali)
Mengatasi Stres

Mimbar Agama Lainnya Lihat Semua