Nasional

Tadarus Litapdimas: Perlu Pandangan Gender yang Adil dalam Memahami KHI

Tadarus Litapdimas 2021

Tadarus Litapdimas 2021

Jakarta (Kemenaga) --- Pengurus Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dan Rahima Jakarta Nur Rofiah mengatakan bahwa untuk memahami Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga diperlukan pandangan gender yang adil. Hal ini disampaikan Nur Rofiah saat menjadi pembahas pada webinar Tadarus Litapdimas seri kedua tahun 2021.

Webinar yang digelar Rabu (21/4/2021) ini mengangkat tema 'Catatan Moderasi Beragama RA Kartini: Pendidikan Islam, Gender dan Anti Kekerasan Seksual'. Tadarus kedua ini dilakukan dengan blended learning, yaitu bersamaan gelaran Workshop Penguatan Akademik dan Gerakan Advokasi PSGA (Pusat Studi Gender dan Anak) pada Masa Pandemi di Semarang, 20-22 April 2021. Workshop dihadiri seluruh kepala PSGA PTKI seluruh Indonesia secara luring.

Menurut Nur Rofiah, antara laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam hal apapun, kecuali takdir kemanusiaan. "Laki-laki dan perempuan sama-sama manusia, tapi takdir kemanusiaannya saja yang berbeda. Ini karena perbedaan alat reproduksi yang dimiliki, dan sistem reproduksi sehingga membuat pengalaman biologis antara laki-laki dan perempuan beda sekali," katanya.

Perbedaan pengalaman biologis inilah yang kerapkali membuat perempuan dinistakan atau dianggap hina. Sebagaimana stigma buruk yang melekatkan perempuan dengan kutukan karena kisah Hawa diusir dari surga.

"Perempuan yang menstruasi dianggap bagian dari kutukan. Bahkan ini dianggap karena kesalahan Hawa sewaktu menggoda Adam di surga. Cara pandang negatif ini membuat perempuan dinistakan kemanusiaannya selama berabad-abad. Di Arab, ada penguburan bayi perempuan secara hidup-hidup, ada istri yang membakar diri hidup-hidup di India," terangnya.

Terkait konsep nusyuz yang diatur dalam KHI, Nur Rofiah membenarkan adanya penafsiran yang mendefinisikan sebagai pembangkangan yang dilakukan istri. Namun, jika menelaah KHI, ia menyatakan definisi serupa juga berlaku bagi suami. "Seharusnya dimaknai sebagai upaya pembangkangan suami dan istri dalam rangka mewujudkan komitmen perkawinan itu," tandasnya.

Webinar ini menghadirkan dua narasumber, yaitu: Dekan Fakultas Syariah IAIN Kudus Jawa Tengah, Any Ismayawati, dan Wakil Dekan FEBI UIN Sumatera Utara, Mustapa Khamal Rokan. Any Ismayawati memaparkan hasil risetnya, "The Completion of Domestic Violence Cases (KDRT) Based on Islamic Values and Local Wisdom". Ia menemukan masih banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM di lingkungan keluarga, bahkan seringkali pelanggaran itu dilakukan oleh orang-orang terdekat.

"Seringkali dikatakan cultural problem, padahal ini merupakan tindakan kriminal," kata Any mengulas hasil risetnya.

Any mengkritisi keberadaan UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang tidak mampu menekan tingginya angka KDRT terutama di masa pandemi. Ibarat puncak gunung es, kasus KDRT sangat banyak yang tidak dilaporkan.

Berdasarkan pengalamannya menangani kasus KDRT, Any menyayangkan sebagian besar korban justru tidak mau pelaku ditahan atau diberikan sanksi agar jera.

Senada dengan Any, Mustapa Khamal Rokan juga menyebut kasus perceraian banyak terjadi di kalangan pasangan berusia 35 tahun ke bawah. Tingginya tingkat perceraian juga dipicu oleh pengaruh konten media digital.

"Penggunaan medsos ini bisa berdampak pada hubungan rumah tangga. Misalnya mengurangi perhatian suami terhadap istri, atau sebaliknya dan masalah lainnya," kata Mustapa Khamal saat membahas hasil penelitiannya berjudul "The Reconstruction of Concept of Nuyuz Wife in The Digital Era".

Mustapa menggarisbawahi bahwa nusyuz (pembangkangan) tidak hanya berlaku bagi perempuan saja. Sebagian ulama klasik menyebut perilaku pembangkangan suami terhadap istrinya juga masuk dalam kategori nusyuz. Namun ia menyayangkan aturan nusyuz yang dilakukan suami belum dijelaskan secara rinci dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).

"Tidak ditemukan suami melakukan nusyuz dalam KHI kita. Sebab kecenderungan nusyuz diperuntukkan bagi perempuan, meskipun sebenarnya ulama dalam kitab klasik mengakui nusyuz juga diperuntukkan bagi suami," kata Mustapa.

Ia pun mengkritisi KHI masih membutuhkan upaya rekonstruksi lebih jauh untuk mendefisinikan konsep nusyuz pada laki-laki, sehingga kedudukan perempuan dan laki-laki menjadi seimbang.

Analis Kebijakan Ahli Madya pada Subdirektorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Suwendi, dalam pengantar Tadarus mengungkapkan webinar kali ini didedikasikan atas perjuangan RA Kartini yang sejatinya patut diteruskan oleh bangsa Indonesia. Dalam kesempata ini, para Kepala PSGA PTKI se-Indonesia yang mengikuti workshop berkesempatan ziarah ke makam Kartini di Rembang, sekaligus pembacaan Deklarasi Rembang. Dalam deklarasi tersebut ditegaskan pentingnya adil gender untuk memperjuangkan hak perempuan dan anak. (ME)


Editor: Moh Khoeron

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua