Opini

Syibhul Iddah Sebagai Ijtihad Kemanusiaan Kementerian Agama

Mesraini (Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Mesraini (Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Kementerian Agama melalui Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam telah mengeluarkan surat edaran Nomor P-005/DJ.III/Hk.00.7/10/2021 tanggal 29 Oktober 2021 tentang Pernikahan dalam Masa Iddah Isteri. Surat edaran yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Kamaruddin Amin, ini, hemat penulis, merupakan “ijitihad” Kementerian Agama yang patut diapresiasi oleh masyarakat luas. Pasalnya, surat edaran ini memiliki makna yang sangat strategis baik dalam konteks menangani atas maraknya praktek poligami terselubung, kekosongan hukum terhadap pernikahan baru bagi suami dalam masa iddah isteri, maupun semangat kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam pernikahan sebagai bagian dari manivestasi ijtihad kemanusiaan yang lebih baik.

Surat edaran ini lahir atas hasil diskusi antara Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama dengan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung yang menilai bahwa surat edaran Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Nomor D.IV/Ed/17/1979 tanggal 10 Februari 1979 tentang Masalah Poligami dalam Iddah ini tidak berjalan efektif sehingga perlu adanya peninjauan ulang dan surat edaran yang telah berusia 44 (empat puluh) tahun ini dinyatakan sudah tidak berlaku lagi. Surat edaran ini ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi seluruh Indonesia agar menjadi bagian penting khususnya dalam proses pencatatan pernikahan bekas suami dalam masa iddah isteri, terutama di layanan KUA (Kantor Urusan Agama).

Sekurangnya terdapat 5 (lima) point penting dalam surat edaran ini. Pertama, pencatatan pernikahan bagi laki-laki dan perempuan yang berstatus duda/janda cerai hidup hanya dapat dilakukan apabila yang bersangkutan telah resmi bercerai yang dibuktikan dengan akta cerai dari pengadilan agama yang telah dinyatakan inkrah. Kedua, ketentuan masa idah istri akibat perceraian merupakan kesempatan bagi kedua belah pihak, suami dan istri, untuk dapat berpikir ulang untuk membangun kembali rumah tangga yang terpisah karena perceraian.

Ketiga, laki-laki bekas suami dapat melakukan pernikahan dengan perempuan lain apabila telah selesai masa idah bekas isterinya. Keempat, apabila laki-laki bekas suami menikahi perempuan lain dalam masa idah, sedangkan ia masih memiliki kesempatan merujuk bekas isterinya, maka hal tersebut dapat berpotensi terjadinya poligami terselubung. Kelima, dalam hal bekas suami telah menikahi perempuan lain dalam masa idah bekas istrinya itu, ia hanya dapat merujuk bekas istrinya setelah mendapat izin poligami dari pengadilan.

Kelima kandungan dari surat edaran ini menunjukkan “ijtihad” hukum yang sangat progresif. Isu pencatatan dalam persoalan nikah yang hingga hari ini secara fiqhiyah masih belum ditempatkan sebagai bagian dari rukun nikah atau putusnya pernikahan, melalui surat edaran ini ditegaskan betapa pencatatan nikah dan akta cerai merupakan tolak ukur sahnya kondisi hubungan sekaligus batas berakhirnya relasi sebagai suami isteri. Terlebih dalam konteks masyarakat modern, pencatatan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari karakteristik modernitas dan pola transaksi sosial, termasuk dalam pernikahan. Untuk itu, Kementerian Agama telah melakukan “ijtihad institusional” yang patut diberikan apresiasi oleh berbagai pihak. Oleh karenanya, terutama MUI (Majelis Ulama Indonesia) sebaiknya segera melakukan musyawarah untuk menentukan fatwa atas posisi pencatatan ini sebagai syarat sahnya pernikahan dan sekaligus akta cerai sebagai sahnya perceraian.

Selain itu, surat edaran yang ditandatangani oleh Kamaruddin Amin ini merupakan solusi atas tiadaya rumusan hukum terhadap pernikahan baru bagi suami dalam masa iddah isteri. Sebagaimana disebutkan dalam surat edaran ini, bekas suami yang akan melakukan pernikahan baru dengan perempuan lain maka diwajibkan baginya untuk menunggu hingga masa iddah bekas isterinya berakhir ini merupakan—lagi-lagi—wujud ijtihad Kementerian Agama yang sangat tepat. Pasalnya, apabila laki-laki bekas suami menikahi perempuan lain dalam masa idah, sedangkan ia masih memiliki kesempatan merujuk bekas isterinya, maka hal tersebut dapat berpotensi terjadinya poligami terselubung. Dalam konteks ini, suami diperlakukan sebagai syibhul iddah (menyerupai iddah), untuk tidak dikatakan memiliki masa iddah sebagaimana iddah bagi mantan isterinya.

Secara fiqhiyah, memang diakui, isu syibhul iddah ini sesungguhnya bukanlah hal baru dalam dunia fiqh munakahat. Ulama fiqh yang pertama kali membahas hal ini adalah Wahbah al-Zuhaili. Dalam kitabnya al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, dikatakan bahwa adanya syibhul iddah itu disebabkan oleh karena adanya mani' syar’i (penghalang secara syar’i), yakni diperbolehkannya rujuk kepada mantan isterinya selama masa iddah dalam talak raj’i. Bagi yang satu mahram dengan isterinya, seperti saudara perempuan isterinya, maka laki-laki itu tidak boleh menikahi saudara perempuan isterinya itu sampai masa iddah isteri yang diceraikan itu selesai. Sebab adanya larangan memadu isteri dengan saudara perempuannya. Demikian juga, jika seorang laki-laki memiliki empat istri, menceraikan salah satu isterinya dan ingin menikahi istri kelima, maka dia harus menunggu sampai masa iddah isteri yang diceraikan itu berakhir. Untuk itu, fatwa sebagaimana yang diungkap oleh Wahbah al-Zuhaili ini patut ditempatkan sebagai solusi hukum atas pernikahan baru bagi suami dalam masa iddah isteri.

Atas dasar berbagai nilai-nilai konstruktif dari surat edaran tersebut, hemat penulis, ini merupakan upaya strategis dalam meneguhkan semangat menjaga martabat kemanusiaan sekaligus meneguhkan kesetaraan relasi laki-laki dan perempuan dalam memikul tanggung jawab pasca perceraian. Iddah bagi perempuan dan syibhul iddah bagi laki-laki menjadi jembatan terbaik untuk memastikan tidak adanya tindakan pernikahan baru yang justeru menjadi malapetaka bagi kedua belah pihak. Masa menunggu hingga berakhirnya iddah yang dijalankan oleh kedua belah pihak, dalam aspek ini, merupakan keseimbangan pemenuhan tanggung jawab yang seimbang bagi keduanya sebagai wujud komitmen meninggikan derajat kemanusiaan.

Sekali lagi, kita patut mengapresiasi atas lahirnya surat edaran ini. Langkah berikutnya, bagaimana meningkatkan kekuatan hukum ini, dari surat edaran menjadi regulasi yang lebih tinggi posisinya, tentu kita dorong bersama. Wallahu ‘alam.

Mesraini (Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua