Opini

Kerukunan Umat dan Optimisme Indonesia Emas

Staf Khusus Menteri Agama Wibowo Prasetyo

Staf Khusus Menteri Agama Wibowo Prasetyo

Tahun 2023 telah berakhir. Kini, suka cita dan setumpuk harapan baru menyeruak di tiap benak individu anak bangsa. Di 2024, meski dinamika dan tantangan zaman mungkin akan lebih kompleks, namun ukiran kehidupan diharapkan bakal lebih indah dari sebelumnya.Optimisme, impian dan target-target kehidupan itu bukanlah hal yang berlebihan.

Sebab tiap pergantian tahun sejatinya adalah babak baru yang meniscayakan harapan akan rute kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Sebagai bagian dari perjalanan panjang sebuah bangsa, segala torehan pada 2023 tentu patut menjadi pijakan yang tak sekadar dijadikan kenangan semata.

Pada 2023, bangsa ini telah mencatatkan banyak catatan cukup melegakan.Di antara sederet capaian yang patut dibanggakan itu adalah harmonisnya kehidupan beragama di Indonesia.

Tanpa menafikan beberapa kejadian yang muncul setahun terakhir, harus diakui bahwa secara umum tidak ada konflik atau ketegangan bernuansa agama yang cukup serius di 2023.

Di tahun politik seperti saat ini, umat dari seluruh penganut agama bisa saling menjaga, menghormati, dan tak berupaya memancing ketegangan antara satu dengan yang lain. Kedewasaan umat dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku patut disyukuri karena ini bukti sebuah kemajuan dalam kehidupan terutama dalam praktik berdemokrasi di Indonesia.

Salah satu tolok ukur untuk menegaskan bahwa kehidupan beragama ini kian membaik adalah terpotret dari meningkatnya indeks kerukunan umat beragama (KUB) di Indonesia pada 2023.

Indeks berbasis survei yang dilakukan Badan Litbang dan Diklat Kemenag menunjukkan bahwa ada kenaikan signifikan KUB pada 2023 dibanding 2022. Pada 2022, indeks KUB tercatat 73,09, sedang pada 2023 naik mencapai 76,02. Bahkan sejak 2020, tren indeks KUB terus melonjak. Pada 2020 indeks KUB tercatat 67,46, kemudian naik pada 2021 menjadi 72,39.

Capaian positif ini tentu bukan atas kerja keras dan kiprah dari satu atau dua orang semata.Kerukunan beragama sejatinya kerja bersama dan telah lama dipraktikkan para pendahulu bangsa sehingga mampu terjaga baik hingga sekarang.

Lebih dari itu, melalui Program Penguatan Moderasi Beragama yang diorkestrasi oleh Kementerian Agama, praktik kerukunan beragama itu pun kian kokoh.

Program Moderasi Beragama yang telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 ini juga terbukti sangat efektif untuk membentengi anasir-anasir sebagian orang atau kelompok yang berupaya mengoyak persatuan bangsa dalam beberapa tahun terakhir.

Era Digital

Lebih-lebih di era teknologi informasi atau era digital saat ini yang antara lain ditandai dengan maraknya penggunaan media sosial, sejatinya potensi kerawanan kehidupan beragama itu tetap saja besar.

Bahkan jika ditelisik lebih dalam, kerawanan bisa berdampak sangat masif. Penggunaan media sosial secara serampangan menjadi pemicunya.

Mirisnya, mayoritas pengguna aktif media sosial di Indonesia saat ini adalah anak-anak muda yang umumnya diklasifikasikan generasi milenial (1980-1996) dan Z (1997-2012).

Sementara merujuk banyak survei, mayoritas generasi muda masih lemah dalam literasi digitalnya. Mereka tidak kuat dalam proses verifikasi atas kebenaran informasi.

Praktis, berbagai informasi yang masuk baik teks, foto, video, infografis maupun berbagai postingan lain ditelan mentah-mentah. Beruntung seiring gerakan literasi digital nasional termasuk dalam sektor keagamaan, berjalan cukup efektif.

Ruang-ruang digital kini banyak diisi konten-konten keagamaan yang bernuansa positif, menyejukkan, dan inspiratif.Begitu membeludaknya konten-konten positif ini membuat generasi muda mendapat banyak opsi atas informasi.

Secara simultan, program penguatan moderasi beragama juga terus digencarkan di berbagai kalangan.Termasuk menyasar kaum muda, baik yang diselenggarakan secara formal maupun informal.

Muara atas semua ikhtiar besar ini, meminjam istilah praktisi media sosial, Shafiq Pontoh. Generasi muda Indonesia saat ini akhirnya sudah bertransformasi menjadi ‘search generation’ atau generasi yang memiliki keterampilan dalam menyerap atas informasi.

Ini membuat generasi milenial atau Z tidak lagi mudah didoktrin terkait isu-isu agama yang jauh dari nilai-nilai moderatisme dan humanisme. Tak hanya di kalangan generasi muda, praktik baik kerukunan hidup beragama ini juga kian meluas menjangkar di berbagai daerah.

Umat secara tidak langsung pun memiliki pondasi yang semakin kokoh yang tentu bermanfaat besar dalam menghadapi guncangan atau potensi kerawanan.

Begitu banyaknya dampak positif dari program moderasi beragama ini tak mengherankan jika kemudian Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang sesuai Perpres No 58 Tahun 2023 ditunjuk sebagai ketua sekretariat bersama mendapat pengakuan dan apresisasi dari berbagai kalangan seperti media dan lembaga.

Modal Besar Bangsa

Terjaganya kerukunan umat beragama di Indonesia adalah sebuah nilai yang sangat berharga. Di tengah kebinekaan yang ada di Indonesia, kerukunan menjadi kunci mutlak untuk mewujudkan bangsa yang semakin maju dan memiliki peradaban tinggi di masa mendatang.

Dengan kerukunan maka otomatis stabilitas nasional juga terjaga. Sebaliknya, jika bangsa ini rapuh, maka tenaga dan pikiran warga bangsa akan terkuras habis untuk menguatkan barisan, bukan fokus maju ke depan.

Indonesia ini telah memiliki visi besar berjangka panjang, yakni terciptanya negara yang maju, berdaulat, sejahtera, dan berkeadilan.

Visi besar ini dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 yang disebut dengan Indonesia Emas.

Upaya mewujudkan Indonesia Emas pada masa 100 tahun setelah Kemerdekaan Republik Indonesia itu bukanlah hal yang mustahil. Indonesia memiliki banyak modal besar, baik dari sisi sumber daya manusia maupun sumber daya alam.

Pada 2030-an, Indonesia diperkirakan akan mengalami bonus demografi. Sebanyak 68,3 persen dari total populasi penduduknya adalah berusia produktif. Ini tentu menjadi peluang besar karena bonus demografi adalah fase yang sangat langka dialami sebuah bangsa.

Di sisi lain, bonus demografi ini bukanlah final. Justru jika tak dikelola dengan baik, peluang besar yang dimiliki Indonesia ini bisa menjadi sebuah ancaman atau bencana. Sebab, banyaknya penduduk produktif membutuhkan pengelolaan yang mumpuni dari sisi penguatan karakter, keterampilan, ketahanan dan lain sebagainya.

Praktis, sejatinya bonus demografi pada saat yang sama juga menghadirkan tantangan tak ringan. Kerukunan umat yang sudah terbina selama ini menjadi modal besar. Hal ini beralasan karena karakter untuk hidup damai, berdampingan, dan berkolaborasi menjadi sendi utama dalam mewujudkan Indonesia Emas.

Indonesia maju pada 2045 mendatang adalah fase masyarakat yang sangat pluralis sekaligus dinamis. Dengan asumsi ini, maka cara pandang yang sempit atau sektarian tentu tak sesuai dengan kebutuhan zaman.

Indonesia Emas juga menuntut hadirnya generasi bangsa yang terampil sekaligus tahan banting. Dengan dasar ini, maka sudah seharusnya sumber daya manusia dipersiapkan sedini mungkin agar benar-benar tercipta penduduk yang berkualitas bukan sekadar besar dari sisi kuantitas.

Tahun 2024 adalah momentum politik bangsa untuk mengukur sejauhmana para calon pemimpin memandang Indonesia di masa depan. Program khusus menghadapi bonus demografi ini adalah sebuah lompatan besar bagi para calon pemimpin bangsa.

Namun demikian, untuk menuju Indonesia Emas penerapan atas nilai-nilai kehidupan beragama yang mengedepankan ketakwaan kepada Tuhan sangatlah relevan dalam rangka membentuk karakter pemimpin bangsa yang berkualitas tersebut.

Generasi milenial dan Z adalah kunci Indonesia ke depan. Saatnya mereka tak asal diberi sanjungan atau impian. Sebaliknya mereka harus diberi bekal yang matang demi mewujudkan Indonesia yang maju, berdaulat, dan berkesinambungan sebagaimana visi dan harapan dari Indonesia Emas 2045 mendatang.

Wibowo Prasetyo (Staf Khusus Menteri Agama Bidang Media dan Komunikasi Publik)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Tags:

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua