Opini

Apa Sih Ruginya Beriman kepada Allah?

Prof. Dr. Ahmad Zainul Hamdi (Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam)

Prof. Dr. Ahmad Zainul Hamdi (Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam)

Dalam tulisan ini, saya ingin membicarakan tentang untung ruginya beriman kepada Allah. Lho, kok beriman kepada Allah pakai kalkulasi seperti itu sih, seperti kita tidak Ikhlas beriman kepada-Nya.

***

Bagi mereka yang imannya sudah sangat kokoh, tulisan ini tidak perlu dibaca. Tapi bagi mereka yang masih mencari-cari alasan mengapa harus beriman kepada Allah, atau “sekedar” ingin mengokohkan iman yang sudah ada, tulisan ini mungkin ada manfaatnya.

Harus diakui bahwa tidak semua orang yang mengaku beragama, bahkan orang yang dengan lantang mengucapkan “Aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah” (أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ) tidak pernah sekali-dua kali didera keraguan akan imannya. Atau, setidaknya membutuhkan pengokohan akan keimanannya terhadap Allah.

Apakah Allah tersinggung? Tidak sama sekali. Allah itu fair banget. Sebagaimana bisa dilihat dalam kisah dialog Nabi Ibrahim dengan Allah.

وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهٖمُ رَبِّ اَرِنِيْ كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتٰىۗ قَالَ اَوَلَمْ تُؤْمِنْۗ قَالَ بَلٰى وَلٰكِنْ لِّيَطْمَىِٕنَّ قَلْبِيْۗ

Artinya: "Dan ketika Ibrahim berkata, “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan yang sudah mati.” Allah bertanya, “Belum percayakah engkau?” Ibrahim menjawab, “Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang.” (al-Baqarah:260)

Ini dialog keren sekali antara Nabi Ibrahim dengan Allah. Terasa nyaman dan akrab sekali hubungan antara hamba dengan sang Khaliq, bahkan dalam persoalan iman.

Dari sepenggal kisah Nabi Ibrahim itu menunjukkan bahwa orang yang sudah sangat beriman pun sesekali memerlukan pengokohan iman.

Mari kembali ke pertanyaan awal, bolehkah kita melakukan kalkulasi atas iman? Inilah yang akan kita bahas di sini.

***

Di dalam Al-Qur’an, Allah terus-menerus mengabarkan diri-Nya kepada manusia. Terasa sekali bahwa Dia, yang tidak bisa dilihat dan disentuh secara fisik oleh manusia, menghadirkan diri-Nya untuk dikenali. Jika keberadaan alam dan manusia itu sendiri belum bisa membuat manusia mengenali Penciptanya, Allah langsung memberitahu manusia melalui wahyu verbal lewat para rasul tentang siapa Dia.

Allah tidak ragu memberitahu manusia bahwa:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ وَالَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Artinya: “Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (al-Baqarah:21).

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمٰتِ وَالنُّوْرَ

Artinya: “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, dan menjadikan kegelapan-kegelapan dan cahaya.” (al-Ma’idah:1).

وَلِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ وَاِلَى اللّٰهِ تُرْجَعُ الْاُمُوْرُࣖ

Artinya: “Milik Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan hanya kepada Allah segala urusan dikembalikan.” (Ali Imran:109).

Ayat-ayat senada bertebaran di seluruh surah dalam al-Qur’an dengan redaksi yang beragam. Setelah mengabarkan akan keberadaan diri-Nya, Allah kemudian memerintahkan agar manusia menyembah hanya kepada-Nya, dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun. Hanya Dia-lah satu-satunya Tuhan.

وَاعْبُدُوا اللّٰهَ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا وَّبِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْجَارِ ذِى الْقُرْبٰى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْۢبِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ وَمَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُوْرًاۙ

Artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, serta hamba sahaya yang kamu miliki. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri.” (al-Nisa’:36).

Orang-orang inilah yang dijanjikan Allah mendapatkan kebahagiaan abadi kelak di akhirat. Allah menggambarkan balasan bagi orang-orang yang meng-Esa-kan-Nya dan menyembah-Nya serta melakukan berbagai kebaikan di dunia dengan surga yang di dalamnya segala kenikmatan dan keabadian yang diimpikan manusia disediakan.

يُبَشِّرُهُمْ رَبُّهُمْ بِرَحْمَةٍ مِّنْهُ وَرِضْوَانٍ وَّجَنّٰتٍ لَّهُمْ فِيْهَا نَعِيْمٌ مُّقِيْمٌۙ ۝٢١ خٰلِدِيْنَ فِيْهَآ اَبَدًاۗ اِنَّ اللّٰهَ عِنْدَهٗٓ اَجْرٌ عَظِيْمٌ ۝٢٢

Artinya: “(Allah) Tuhan mereka memberi kabar gembira kepada mereka (orang-orang beriman) dengan rahmat dari-Nya, keridaan, dan surga-surga. Bagi mereka kesenangan yang kekal di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya selamanya. Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang sangat agung.” (al-Taubah:21-22).

Inilah alur narasi yang terus-menerus disuarakan oleh Allah. Dia adalah Pencipta Tunggal alam semesta. Manusia diminta untuk menyembah-Nya sebagai Allah yang Tunggal. Kalau manusia taat kepada-Nya, mereka akan dibalas dengan kenikmatan abadi akhirat. Sebaliknya, jika manusia tidak mengakui-Nya, tidak menyembah-Nya, atau menyekutukan-Nya, serta tidak menaati perintah-perintah-Nya, maka balasannya adalah kehinaan dan kepedihan abadi di akhirat.

Sampai di sini, pertanyaan pada kita adalah “mau percaya atau tidak?”. Pertanyaan sederhana inilah yang telah melukis sejarah agama dari sejak mula kehidupan manusia hingga kini. Ribuan buku teologi ditulis untuk menjelaskan dan membela Tuhan. Di sisi lain, tak kalah banyaknya buku ditulis untuk menolak dalil keberadaan Tuhan. Ribuan perdebatan, konflik, bahkan perang terjadi yang kalau dirunut ke belakang bersumber dari pertanyaan sederhana itu.

***

Dalil-dalil keberadaan Tuhan telah banyak ditulis oleh para teolog dan filosof. Setidaknya ada tiga dalil yang biasa digunakan untuk menjelaskan bahwa Allah itu betul-betul ada, yaitu dalil ontologis, kosmologis, dan teleologis.

Dalil ontologis berangkat dari fitrah ketuhanan dalam diri manusia. Manusia memiliki kapasitas dalam dirinya untuk mengenali adanya kemahasempurnaan dan kemahabenaran. Di saat yang sama, manusia dihadapkan pada segala keterbatasan di alam semesta. Dari sinilah, manusia pada akhirnya menyimpulkan adanya Zat yang Maha Sempurna dan Maha Agung, yang disebut Tuhan.

Dalil kosmologis adalah dalil yang paling umum digunakan oleh para teolog. Hukum sebab-akibat menjadi landasan bagi dalil ini. Bahwa, setiap akibat membutuhkan sebab. Akibat hanyalah hasil tindakan dari sebuah sebab.

Dalil kosmologis ini beranjak dari keberadaan alam semesta. Keberadaan alam semesta ini sendiri serta berbagai sifat kebaruan yang melekat pada dirinya membutuhkan adanya Zat yang menciptakan. Tidak logis bahwa alam ini muncul dengan sendiri. Alam ini hanyalah akibat yang memerlukan sebab yang memunculkan atau menciptakannya.

Dengan logika ini, alam semesta hanyalah mumkan al-wujud atau wujud yang keberadaanya hanya bersifat mungkin. Karena keberadaannya hanya bersifat mungkin, maka ketika dia ada, pasti ada penyebab yang mewujudkan. Zat yang mewujudkan alam semesta ini keberadaanya diberi status sebagai wajib al-wujud, atau wujud yang wajib adanya. Wajib al-wujud inilah yang disebut Tuhan.

Dalil teleologis sebetulnya dibangun di atas logika yang sama dengan dalil kosmologis. Alam semesta tertata sangat rapi dan sempurna. Membayangkan bahwa sistem semesta berkembang dalam kekacauan sungguh tidak bisa diterima oleh akal sehat. Lihatlah sekeliling kita. Bumi, tumbuhan, hewan, gunung, lautan, oksigen, berbagai mineral, dsb., semua tertata dalam keseimbangan yang sempurna. Semua ini terjadi bukan dalam kekacauan-buta, tapi memiliki tujuan.

Dengan mempertimbangkan tata semesta itu sendiri, rasio manusia akan mudah menyimpulkan bahwa ini semua pasti diwujudkan oleh Zat yang Maha Cerdas dan Sempurna. Zat yang Maha Cerdas dan Maha Sempurna itulah yang disebut Tuhan.

Allah sendiri juga menggunakan dalil-dalil ini dalam menjelaskan diri-Nya. Eits, jangan salah paham! Saya tidak menyatakan bahwa keberadaan Allah tergantung pada logika atau cara berpikir manusia. Allah hanya menggunakan cara berpikir manusia untuk menunjukkan dirinya agar manusia dengan perangkat rasionya bisa mengenali-Nya.

Misalnya, dalil ontologis bisa kita temukan pada ayat berikut ini:

وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَاۛ اَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَۙ

Artinya: “(Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari tulang punggung anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksiannya terhadap diri mereka, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Hal ini dilakukan) agar pada hari kiamat kamu (tidak) mengatakan, “Sesungguhnya kami lengah terhadap hal ini.” (al-A’raf:172).

Sedang dalil kosmologis dan teleologis bisa ditemukan pada ayat-ayat berikut ini:

اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِيْ تَجْرِيْ فِى الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ مِنَ السَّمَاۤءِ مِنْ مَّاۤءٍ فَاَحْيَا بِهِ الْاَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيْهَا مِنْ كُلِّ دَاۤبَّةٍۖ وَّتَصْرِيْفِ الرِّيٰحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ ۝١٦٤

Artinya: “Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengannya Dia menghidupkan bumi setelah mati (kering), dan Dia menebarkan di dalamnya semua jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang mengerti.” (al-Baqarah 164).

وَهُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءًۚ فَاَخْرَجْنَا بِهٖ نَبَاتَ كُلِّ شَيْءٍ فَاَخْرَجْنَا مِنْهُ خَضِرًا نُّخْرِجُ مِنْهُ حَبًّا مُّتَرَاكِبًاۚ وَمِنَ النَّخْلِ مِنْ طَلْعِهَا قِنْوَانٌ دَانِيَةٌ وَّجَنّٰتٍ مِّنْ اَعْنَابٍ وَّالزَّيْتُوْنَ وَالرُّمَّانَ مُشْتَبِهًا وَّغَيْرَ مُتَشَابِهٍۗ اُنْظُرُوْٓا اِلٰى ثَمَرِهٖٓ اِذَٓا اَثْمَرَ وَيَنْعِهٖۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكُمْ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ ۝٩٩

Artinya: “Dialah yang menurunkan air dari langit lalu dengannya Kami menumbuhkan segala macam tumbuhan. Maka, darinya Kami mengeluarkan tanaman yang menghijau. Darinya Kami mengeluarkan butir yang bertumpuk (banyak). Dari mayang kurma (mengurai) tangkai-tangkai yang menjuntai. (Kami menumbuhkan) kebun-kebun anggur. (Kami menumbuhkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya pada waktu berbuah dan menjadi masak. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang beriman." (al-An’am:99)

Masalahnya adalah dalil-dalil keberadaan Tuhan yang berbasis hukum kausalitas (kosmologis dan teleologis) juga memiliki pesaing yang tidak kalah kuatnya. Kelompok yang menentang keberadaan Tuhan juga memiliki pendukung yang kuat. Al-Qur’an berulang-ulang menceritakan tentang kaum yang mengingkari-Nya sekalipun sudah berkali-kali dijelaskan dengan logika kosmologis dan/atau teleologis itu.

Orang seperti Richard Dawkins, misalnya, berpandangan bahwa keyakinan kepada Tuhan adalah sebuah khayalan atau delusi. Iman adalah adalah keyakinan yang salah, yang terus-menerus diperkuat dengan bukti-bukti kontradiktif. Bagi orang seperti Bertrand Russel, mengakui dalil teleologis sama seperti mengatakan bahwa kelinci memiliki ekor berwarna putih agar memudahkan pemburu untuk menembaknya.

Padahal, menurut Russel, warna ekor kelinci adalah kejadian random alam semesta. Yang membuat kelinci mudah untuk ditembak dengan mendeteksi warna ekornya bukan karena demikianlah kehendak sang Pencipta, tapi itu adalah cara manusia menyesuaikan dengan alam. Jadi, alam tidak diciptakan tercipta secara teratur dan bertujuan oleh sang Designer Agung dan Cerdas, tapi manusialah yang membuat alam semesta menjadi teratur sehingga seakan-akan memiliki tujuan penciptaan. Padahal tidak, menurut orang seperti Dawkins dan Russel.

Jika posisi dalil saling mengunci seperti ini, lalu harus bagaimana? Di sinilah logika kalkulasi dalam hal keimanan kepada Tuhan bisa kita ajukan.

***

Allah sendiri sekalipun sangat sering menggunakan dalil kosmologis dan teleologis untuk menjelaskan keberadaan diri-Nya kepada manusia, tapi Allah juga menerima logika kalkulasi dalam beriman kepada-Nya. Di dalam surah al-Nisa, ayat 31, Allah bertanya kepada mereka yang tidak memercayai-Nya:

وَمَاذَا عَلَيْهِمْ لَوْ اٰمَنُوْا بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ … ألأىة…

Artinya: “Apa ruginya bagi mereka seandainya mereka beriman kepada Allah dan hari akhir...?” (al-Nisa’:39)

Di ayat ini, seakan-akan Allah bertanya kepada orang yang tidak memercayainya seperti ini: “Kalau kamu tidak mengakui bahwa keberadaan semesta ini adalah bukti atas keberadaan-Ku, toh kamu juga tidak bisa membuktikan ketiadaan-Ku. Jika kamu tidak memercayai adanya hari akhir, toh kamu juga tidak bisa membuktikan sebaliknya. Kalau seperti itu, apa toh ruginya kamu memercayai-Ku dan memercayai adanya hari akhir?"

Di dalam Tafsir Ibn Katsir, ayat di atas dijelaskan sebagai berikut:

أى شىء يكرثهم لوسلكؤا الطرىق الحميدة عدلوا عن الرىاء إلى الإخلاص والاىمان بالله ورجاء موعوده فى دار الاخرة لمن أحسن عملا

(Terjemah bebasnya seperti ini: Apa saja toh yang akan membuat mereka merasa keberatan atau terbebani atau membahayakan andai mereka mengikuti jalan hidup yang baik, yaitu mengganti riya’ [beramal semata-mata agar dipuji orang lain] dengan Ikhlas dan iman karena mengharap janji-janji-Nya di akhirat bagi siapa saja yang memperbaiki amalnya?)

Logika kalkulatif akan keberadaan Tuhan ini bukan sesuatu yang asing dalam perbincangan filsafat ketuhanan. Filsafat pragmatism, misalnya, membicarakan Tuhan, agama, dan berbagai ajaran keagamaan dengan menitikberatkan pada konsekuensinya.

Salah satu solusi yang diajukan oleh sebagian kalangan filosof terhadap perdebatan tanpa ujung di dunia filsafat tentang keberadaan Tuhan adalah dengan cara menyodorkan logika kalkulasi untung-rugi antara memercayai atau tidak memercayai keberadaan Allah.

Jika Tuhan memang ada dan seluruh janji pembalasan di akhirat memang ada, maka beruntunglah orang yang memercayai-Nya, dan rugilah orang yang mengingkarinya. Jika Tuhan memang tidak ada dan seluruh janji pembalasan di akhirat hanyalah sebuah dongeng belaka, maka baik orang yang memercayai-Nya maupun yang tidak memercayai-Nya tidak mendapat kerugian apa pun.

Dengan cara berpikir ini, maka beriman kepada Allah tidak akan memberi kemungkinkan kerugian, tapi yang pasti adalah memberi kemungkinan kebahagiaan. Sedang mengingkari Allah tidak memberi keuntungan apapun, tapi yang pasti adalah memiliki kemungkinan untuk mendapatkan kerugian.

Jika logika ini dianggap sepenuhnya filosofis, maka perlu diketahui bahwa logika yang sama pernah digunakan oleh Sayyidina Ali ibn Abi Thalib Ketika ditanya oleh seorang yang tidak memercayai keberadaan Allah dan akhirat. Orang tersebut menanyakan kepada Sayyidina Ali, apa gunanya beriman dan taat kepada Allah. Jangan-jangan besok setelah manusia mati tidak ada apa-apa. Tidak ada akhirat, tidak ada hari pembalasan, tidak ada surga dan neraka. Kalau itu yang terjadi, betapa ruginya kamu?

Terhadap pertanyaan orang tersebut, Sayyidina Ali menjawab:

ان كان ما تقول حقا فقد تخلصت وتخلصنا، وان كان ما اقول حقا تخلصنا واهلكت

(Arti bebasnya demikian: "Jika apa yang kamu katakan benar, kamu selamat dan kami semua juga selamat. Tapi jika yang aku katakan benar, kami akan selamat, sedang kamu akan hancur.”)

Dengan jawaban ini, Sayyidina Ali seakan hendak membenarkan firman Allah di surah al-Nisa’:39 (وَمَاذَا عَلَيْهِمْ لَوْ اٰمَنُوْا بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِر) bahwa tidak ada kerugian sedikit pun bagi mereka yang memercayai Allah dan hari akhir. Justru sebaliknya, mereka yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhirlah yang akan merugi.

Jika kita tidak dirugikan sedikit pun dengan beriman kepada Allah dan hari akhir, lalu mengapa kita masih didera keraguan? Renungkanlah![]

Prof. Dr. Ahmad Zainul Hamdi (Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam)

Tulisan ini sebelumnya terbit di arina.id dengan judul yang sama


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua