Daerah

Maryon Daniamaputra Pattinaja: Menghidupkan Ekomusikologi, Merawat Bumi

Maryon Daniamaputra Pattinaja, S.Si (Theol), M.Sn., Ph.D. Saat membawakan orasi ilmiah: Quo Vadis Ecomusicology: A New Paradigm In The Intersection Of Music, Nature, And Culture Of Atoni Pah Meto Society pada Wisuda IAKN Kupang, 21 Maret 2024

Maryon Daniamaputra Pattinaja, S.Si (Theol), M.Sn., Ph.D. Saat membawakan orasi ilmiah: Quo Vadis Ecomusicology: A New Paradigm In The Intersection Of Music, Nature, And Culture Of Atoni Pah Meto Society pada Wisuda IAKN Kupang, 21 Maret 2024

“E... Usi' Apakaet/ Ama' Neno amnau to/Uis Amnanut Paon Leu Honis o/Hai minebtom eim/Moko manum kolon haokin oh/Hemi fuat amno'al neu ba hit A'naet/Hai susal hai manukat paha snaen/Neu Amnanut amnau to...” – Ya Tuhan Pencipta, kami datang merendahkan diri, bersama ayam dan burung peliharaan, menyerahkan diri kepada Yang Mahabesar, susah sengsara kami di padang pasir, pada-Mu Yang Mahatinggi penyayang umat.

Nyanyian Usi’Apakaet yang dibawakan PS Prodi Musik Gereja dalam orasi ilmiah wisuda Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Kupang, 21 Maret 2024 mampu menyayat hati hadirin yang memadati Grand Mutiara Timor, Kupang. Soundscape aula yang semula gaduh oleh antrophoni antara orang dan akustik ruangan, seakan terhenti ketika nada lagu itu mencapai oktaf tertinggi.

Musik memang memiliki keajaiban untuk memukau dan menyatukan orang-orang. Irama dan reffrain lagu itu seperti magnet yang mampu menyatukan energi positif di tengah kebisingan. Tapi nyanyian berbentuk prosa liris gubahan John Taus ini ditampilkan sang orator lebih karena weltanchauung, filsafat hidup yang terkandung dalam lagu tersebut.

“E ...Usi .. / Manse ma'taen le'uf / Nhoi na meot nain le sa sa / Pena ane ka napuen / Loli laku tka na nes / Es neno i / Mimtis maen mim no'oen oh. E Usi', Uis Amnanut amnau to / Thanik tan kai Usi oh ... (Oh Tuhan, matahari telah mengeringkan segalanya, jagung padi tak berbulir, umbi-umbian tak berisi kami datang berserah diri bersama ayam dan burung, Kami datang berkumpul dan bersehati... O Tuhan, Tuhan Mahatinggi penyayang umat/ Dinginkan/ Segarkanlah kami oh Tuhan.)

123 Lebih dari sebuah nyanyian, Usi’Apakaet merupakan ratapan manusia di tengah padang atas bencana kekeringan yang sedang menimpa. Sekaligus menggambarkan ketakberdayaan manusia yang menghempaskannya ke hadapan Yang Mahamutlak. Larik terakhir nyanyian tersebut, bagaikan parafrase pengalaman Charil Anwar, sang binatang jalang, dalam sajak doa. “Tuhanku/di pintuMu aku mengetuk/aku tak bisa berpaling”. Di latar belakang dengan nada yang lebih lembut, kita seperti mendengar William Blake yang bersajak, “Hold infinity in the palm of your hand/ and eternity in hour.”

***

Lingkungan alam memang menjadi isu penting saat ini. Organisasi internasional yang menangani masalah lingkungan, World Wide Fund for Nature, sejak awal dasawarsa 2000, telah memperkirakan bahwa sekitar 400 spesies primata terancam punah dalam 40 tahun mendatang karena perubahan lingkungan yang drastis. Semua itu sudah dan sedang kita alami akhir-akhir ini.

Degradasi lingkungan terjadi di mana-mana. Ibu pertiwi seperti sedang sakerat. Dan kita bagaikan pengemis yang mulai berang, menatap sia-sia ke langit yang kosong dan sepi. “Kulihat ibu pertiwi/ Sedang bersusah hati/ Air matanya berlinang/ Emas intannya terkenang/ Hutan, gunung, sawah, lautan/ Simpanan kekayaan. Kini ibu sedang lara/ Merintih dan berdoa.....” Lalu? Que sera, sera sajalah?

Di tengah problematika degradasi budaya maupun tantangan krisis ekologis yang dihadapi, Maryon Daniamaputra Pattinaja, memunculkan ekomusikologi sebagai paradigma baru untuk mengeksplorasi hubungan integratif dan timbal balik antara musik, budaya, dan lingkungan alam dalam konteks krisis lingkungan, melalui orasi ilmiahnya “Quo Vadis Ecomusicology: A New Paradigm In The Intersection Of Music, Nature, and Culture of Atoni Pah Meto Society”.

Doctor of Philosohy in Music Theology di Seoul Jangsin University, Korea Selatan tersebut menguraikan ekomosikologi pada konteks nyanyian-nyanyian kerja masyarakat Atoni Pah Meto di pulau Timor Bagian Barat. Nyanyian-nyanyian kerja masyarakat Atoni Pah Meto, tidak hanya sekedar ekspresi aktivitas pertanian atau bentuk komunikasi bunyi semata, tetapi lebih dari pada itu, ia mencerminkan filosofi hidup, nilai-nilai budaya, dan hubungan manusia dengan alam. Nyanyian kerja mendeskripsikan ikatan yang kuat antara individu, komunitas, dan lingkungannya.

Menurut pria Ambon manese yang fasih berbahasa Dawan ini, ada 9 (Sembilan) dimensi ekomusikologis yang terkandung dalam nyanyian-nyanyian kerja pada praktik pertanian tradisional masyarakat Atoni Pah Meto. Pertama the doctrinal or philosophical dimension (dimensi doktrinal atau filosofis) yang berkaitan dengan keyakinan penting yang diungkapkan dalam bentuk keagamaan dan berinteraksi secara dialektis dengan ritual atau dimensi pengalaman.

Kedua the mythical or narrative dimention (dimensi mitos atau naratif). Dalam nyanyian, unsur mitologi tidak disajikan sebagai fakta, tetapi dinarasikan sebagai petuah. Mitologi yang merupakan memori kolektif masyarakat dinarasikan dalam nyanyian sebagai pewarisan dari generasi ke generasi. Ketiga, the experiental dimension (dimensi pengalaman). Dimensi ini berkorelasi dengan sistem pengetahuan lokal (indigenious knowledge) yang terkait dengan berbagai aspek seperti kosmologi, flora, fauna, benda, kegiatan, dan peristiwa masa lalu.

Keempat the social dimension (dimensi sosial). Dimensi sosial budaya Atoni Pah Meto mencerminkan struktur kehidupan bersama yang kuat, dengan nilai-nilai seperti gotong royong dan kekeluargaan yang erat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan bermasyarakat. Kelima, the ethical dimension (dimensi etika) yang bertujuan mengatur perilaku manusia dalam berinteraksi dengan orang lain, dunia spiritual, dunia fisik, dan bagaimana perilaku itu diatur.

Keenam, the ritual or practical dimension (dimensi ritual atau praktis). Ritual dipahami sebagai perilaku yang tabuh sekaligus tindakan internalisasi batin.

Ketujuh, the material or artistic dimension (dimensi material atau artistik). Simbolis dalam nyanyian digunakan untuk mengkomunikasikan nilai-nilai melalui ekspresi artistik seperti arsitektur, seni, pakaian, dan tempat-tempat yang terkait dengan praktik-praktik budaya.

Kedelapan the ecological dimension (dimensi ekologis) yang menjelaskan bagaimana alam dan lingkungan secara tidak langsung mendorong atau menstimulasi para petani untuk menunjukan etos kerja yang tinggi serta spirit kerja sama dan solidaritas demi kesejahteraan hidup. Kesembilan the musical dimensions (dimensi musikal). Nyanyian-nyanyian kerja dalam masyarakat Atoni Pah Meto, umumnya memiliki bentuk melodi pentatonik, heksatonik dan diatonik; Frasa lebih repetitif, iteratif dan stropik; sangat mengutaman puisi logogenic yang mengungkapkan kesinambungan budaya dan hubungan yang seimbang antara manusia, budaya, dan alam.

Kesembilan unsur ini saling kait dan sulam menyulam dalam nyanyian-nyanyian kerja. Bagi masyarakat Atoni Pah Meto, nyanyian kerja bukan sekadar tradisi, melainkan juga benteng ekologi yang merawat hubungan sosial, hubungan degan Tuhan dan alam. Nyanyian itu diwariskan agar harmonisasi alam terpelihara.

Maka sesungguhnya dalam nyanyian kerja, masyarakat Atoni Pah Meto, secara esensial mengungkapkan filsafat hidup (Weltanschauung) sekaligus juga pandangan hidup (Lebensanschauung) mereka yang menyeluruh: mindset, worldview, juga emosi-emosi mereka dalam relasi mereka dengan Tuhan, alam, dan sesama sebagai satu kesatuan hidup yang tidak terpisahkan.

Langit di luar, langit di dalam bersatu dalam nyanyian. Pengungkapan syukur kepada Yang Mahatinggi serentak juga menggeliatkan dimensi sosial, ekologi dan mitis. Dalam nyanyian masyarakat mengungkapkan kekaguman kepada Yang Ilahi sebagai Deus Magna Majestate, Yang Akbar, Yang Agung, Yang tremendum. Tetapi sekaligus juga sebuah fascinans yang memancarkan daya pukau penuh bhakti. “Ya Tuhan dan Allah kami betapa mulia namaMu di bentangan jagat.”

***

Dalam perspektif ini, Rektor IAKN Kupang, Dr. Harun Y. Natonis, memberi apresiasi dan berharap Daniamaputra Pattinaja sebagai Ketua Jurusan Musik Gereja dan Peribadatan Kristen pada Fakultas Musik IAKN Kupang untuk menghidupkan ekomusikologi menjadi ekosistem musik di IAKN Kupang. Melalui penelitian dan pengembangan terhadap nyanyian-nyanian kerja dalam praktik pertanian tradisional para dosen dan mahasiswa setidaknya telah turut melestarikan warisan budaya dan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat NTT.

Beberapa nilai kontribusi dari nyanyian-nyanyian kerja dalam budaya pertanian tradisional dapat dikontekstualisasi menjadi musik gereja Kristen di NTT dan Nusantara. Implementasi dalam bentuk hymne kontekstual dapat memperkaya pengalaman rohani dan memperkuat identitas budaya asli masyarakat Timor dalam kebhinekaan budaya nusantara untuk pembangunan berkelanjutan.

Menumbuhkan ekomusikologi sebagai ekosistem musik bukan sebuah perkara yang mudah, dibutuhkan keberanian, dedikasi dan daya cipta. Tetapi bukan tidak mungkin. Pemilihan tema musik sebagai orasi ilmiah -untuk pertama kalinya dalam sejarah sejak kampus berdiri berdiri pada 28 September 2012- menunjukkan keprihatian sekaligus keberpihakan Institut Agama krsten Kupang untuk megembangkan musik tradisi sebagai “trade merek” IAKN Kupang ke depan.

***

Masyarakat Atoni Pah Meto barangkali tak banyak mengenal apa itu ekomusikologi. Sebagai masyarakat agraris nyanyian-nyanyian kerja berasal dari filsafat dan pandangan hidup mereka dalam kebersatuannya dengan alam, sesama dan Tuhan. Hujan turun dengan ritmenya, desiran angin, deburan ombak dan angin pantai, adalah nyanyian kehidupan. Mereka hanya luluh dalam alam dan bersyair.

Ratusan tahun nyanyian-nyaian mereka berkumandang di langit-langit semesta. Diwariskan dari generasi ke generasi. Dengan syair itu mereka saling mengingatkan untuk menjaga lingkungan hidup mereka. Nyanyian mereka tumbuh dan besemi bersama hutan belukar, gaharu dan cendana. Lewat nyanyian dan syair-syair adat masyarakat Atoni Pah Meto telah melestarikan alam sejak lama.

Kini cendana telah punah, hutan-hutan banyak yang berganti rupa dengan tiang-tiang beton. Anak-anak telah pergi ke kota. Herankah kita bahwa pada saat pohon-pohon tak lagi berbunga dan berbuah, pada saat sabana dan stepe tak lagi menjadi lanskap mereka, nyanyian-nyanyian rakyatpun tak lagi diciptakan? Galaukah para tetua masyarakat Atoni Pah Meto, melihat anaknya lebih menyukai musik-musik berbasis AI dengan genre yang beagama mulai dari R & B, Hip-Hop, Top musik Pop, serta genre-genre budaya populer seperti K-Pop, J-Pop, Regional Meksiko, Bollywood, musik Spanyol Kontemporer menggantikan musik-musik tradisional?

Hidup adalah river of no return – mengalir hilir tanpa arah kembali. Tidak ada seorangpun yang menyarankan kita untuk kembali ke masa agraris atau jaman batu. Masa lalu tidak pantas diproyeksikan dan dihadirkan kembali secara utuh di masa depan. Ia hanya sebagai titik tolak dan sumber inspirasi.

Di sinilah peran ekomusikologi, karena ekomusikologi bukan hanya tentang musik bernuansa ekologi, tetapi juga tentang bagaimana musik berinteraksi dengan lingkungan hidupnya yang terus berubah. Kalau Daniamaputra Pattinaja menyebut ekomusikologi sebagai a new paradigm in the interseksion of music, nature and culture, barangkali tidak berlebihan untuk mengatakan: Berbicara tentang ekomusikologi sebetulnya melakukan pembalikan satu cara berpikir.

Jika selama ini kita berbicara mengenai nyanyian kerja masyarakat Atoni Pah Meto, praktis lebih mendasarkan apa yang kita terima sebagai warisan dari para leluhur dan itu tak ada hubungan dengan ekomusikologi. Meskipun syair lagu mereka tentang manusia dan lingkungan hidupnya. Maka dalam mewujudkan ekomusikologi sebagai a new pradigm sudah musti diandaikan terlebih dahulu bahwa kita sendirilah yang sanggup mengarahkan, mengembangkan dan menciptakan kembali secara baru, menyumbangkan nilai-nilai dan tingkah laku baru yang barangkali sangat boleh jadi tidak dibayangkan sebelumnya.

Nyanyian kerja sebagai warisan cenderung bersifat normatif maka ekomusikologi sebagai strategi haruslah bersifat kreatif. Sebagai agen artinya melakukan penciptaan warisan baru dalam kebudayaan di mana kita hidup dengan menggunakan sumber insprasi dari tradisi. Jika IAKN mau menjadikan ekomusikologi sebagai “trade mark” fakultas musik, sebetulnya pada mula pertama berarti menegaskan diri sebagai agen bukan hanya sebagai penerima dan penerus warisan. Artinya IAKN harus bisa - meminjam istilah yang keren dari Ignas Kleden - “membangun tradisi tanpa sikap tradisional”.

***

Kehidupan rupanya terlalu besar hanya untuk dijadikan obyek penelitian dan terlalu agung untuk tidak dirayakan. Kalau seorang dosen musik melahirkan discourse, maka seorang komponis menghadirkan sebuah perayaan. Kekuatan musik dan nyanyian ada pada lukisan pikiran dan perasaan. Analisis dapat menajamkan akal, ilmu dapat mengatur pengetahuan, tetapi musik dan nyanyian diciptakan untuk mempertahankan harapan. A thing of beauty is joy for ever.

Dalam nada-nada pentatonik, heksatonik dan diatonik dengan frasa yang reptitif, nyanyian-nyanyian kerja masyarakat Atoni Pah Meto seakan mengingatkan manusia secara terus-menerus akan bahaya menggantikan harapan masa depan dengan kebanggaan masa kini. Dengan kata lain mereka hanya ingin menumbuhkan sebuah etos yang bernama pengharapan dalam nyanyian-nyanyian mereka. Karena the poetry of it helps men to bear the prose of life.

Maka on care of our common human mari menghidupkan ekomusikologi. (*)

JB Kleden


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Daerah Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua