Tanya Jawab Fiqih

Perkara yang Tak Halal, Bagaimana Tipsnya Agar Saya Bisa Menghindari?

Ilustrasi (Foto: Gor Davtyan/Unsplash.com)

Ilustrasi (Foto: Gor Davtyan/Unsplash.com)

Assalamu‘alaikum wr. wb.
Tim Redaksi Kemenag yang saya hormati. Mencari nafkah atau makanan yang benar-benar halal bukanlah perkara mudah. Terlebih di zaman sekarang di mana praktik riba, manipulasi, dan penipuan sudah kian merebak.

Pertanyaan saya, bagaimana tips agar kita terhindar dari hasil usaha atau makanan yang tidak halal? Lantas apa saja bahaya makanan yang tak halal kita konsumsi? Demikian pertanyaan saya. Sebelumnya, saya haturkan terima kasih. Wassalamu’alaikum wr. wb. (Purwanto, Jakarta Barat)

========

Jawaban
Penanya yang budiman. Terima kasih atas pertanyaannya. Semoga kita senantiasa terpelihara dari perkara-perkara haram, baik berupa ucapan, perbuatan, pakaian, maupun berupa makanan. Sebab, besar sekali bahayanya bagi seorang muslim.

Sebelumnya kami jelaskan bahwa khusus untuk kategori makanan, maka perkara haram ada yang bersifat dzati dan ada yang bersifat aridhi. Makanan yang haram secara dzati adalah makanan yang sudah tetapkan syariat perihal keharamannya. Sedangkan, makanan haram bersifat aridhi adalah makanan yang haram karena cara memperolehnya, seperti yang diperoleh dari usaha menipu, mencuri, dan sebagainya.

Salah satu tips untuk menghindari perkara haram adalah mengetahui bahayanya dan selalu berhati-hati agar tidak terjerumus kepadanya. Sebab, banyak orang yang lalai atas perkara haram antara lain karena tidak mengetahui bahayanya, lemahnya keimanan, besarnya godaan, kuatnya desakan, lupa akan siksa di akhirat, dan sebagainya.

Para ulama telah merinci sedikitnya ada empat bahaya yang ditimbulkan dari penggunaan perkara yang tak halal.

Pertama, energi tubuh yang lahir dari perkara yang tidak halal cenderung mendorong kepada kemaksiatan. Sahabat Sahl ra. mengatakan:


من أكل الحرام عصت جوارحه شاء أم أبى

“Siapa saja yang makan makanan yang haram, maka bermaksiatlah anggota tubuhnya, mau tidak mau.” (Lihat: al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Jilid 2, hal. 91).

Pantas Rasulullah saw. menyatakan, “Tidaklah yang baik itu mendatangkan sesuatu kecuali yang baik pula.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Secara tidak langsung, hadits ini mengatakan, “Tidaklah yang buruk itu mendatangkan sesuatu kecuali yang buruk.”

Kedua, terhalangnya doa dan tertolaknya amal-amalan. Hal itu berdasarkan pesan Rasulullah saw. kepada sahabat Sa‘d ra.

“Wahai Sa‘d, perbaikilah makananmu, niscaya doamu mustajab. Demi Dzat yang menggenggam jiwa Muhammad, sesungguhnya seorang hamba yang memasukkan satu suap makanan yang haram ke dalam perutnya, maka tidak diterima amalnya selama empat puluh hari.” (Lihat: Sulaiman ibn Ahmad, al-Mu‘jam al-Ausath, Jilid 6, hal. 310).

Berdasarkan hadis ini, para ulama sepakat mensyaratkan diterimanya suatu amal ditopang dengan sesuatu yang halal. Hal ini dikuatkan oleh hadits tentang sedekah, dimana sedekah tidak akan diterima kecuali yang berasal dari usaha bersih dan halal.

إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَا يَقْبَلُ صَلَاةً بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةً مِنْ غُلُولٍ

Artinya, “Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu shalat tanpa bersuci dan tidak menerima sebuah sedekah yang berasal dari ghulul (hasil curang).” (HR. Abu Dawud).

Ketiga, sulitnya menerima ilmu Allah. Ketahuilah ilmu itu adalah cahaya, sedangkan cahaya tidak akan diberikan kepada ahli maksiat. Itu pula yang pernah dikeluhkan oleh Imam asy-Syafi‘i kepada gurunya Imam Waki‘, sebagaimana yang populer dalam sebuah syairnya:

شكوت إلى وكيع سوء حفظي * فأرشدني إلى ترك المعاصي
وقال اعلم بأن العلم نور * ونور الله لا يؤتاه عاصي

Aku mengeluhkan buruknya hapalanku kepada Imam Waki‘

Beliau menyarankan kepadaku untuk meninggalkan maksiat

Dan beliau berkata, ketahuilah ilmu ialah cahaya

​​​​​​​Sedangkan cahaya Allah tak diberikan kepada ahli maksiat

Walau asy-Syafi‘i tidak menyebutkan sulitnya menerima ilmu akibat makan makanan yang tak halal, tetapi dapat dipahami bahwa melakukan sesuatu yang tak halal itu termasuk perbuatan maksiat. (Lihat: Muhammad ibn Khalifah, Thalibul ‘Ilmi bainal Amanah wat-Tahammul, [Kuwait: Gharas]: 2002, Jilid 1, hal. 18).

Selain itu, makan makanan tak halal, kemaksiatan, dan perbuatan dosa secara umum juga berdampak pada malasnya beribadah, sebagaimana yang pernah dirasakan oleh Imam Sufyan as-Tsauri, “Aku terhalang menunaikan qiyamullail selama lima bulan karena satu dosa yang telah aku perbuat.” (Lihat: Abu Nu‘aim, Hilyatul Auliya, [Beirut: Darl KItab], 1974, Jilid 7, hal. 17I).

Keempat, ancaman keras di akhirat. Bentuk ancamannya apalagi jika bukan siksa neraka. Ancaman ini jelas disampaikan Al-Quran, salah satunya dalam ayat berikut:

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka),” (Q.S. an-Nisa’ [4]: 10).


Demikian pula dalam hadis, seperti yang disabdakan Rasulullah saw.


كُلُّ لَحْمٍ وَدَمٍ نَبَتَا مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِمَا

Artinya, “Setiap daging dan darah yang tumbuh dari perkara haram, maka neraka lebih utama terhadap keduanya,” (HR. ath-Thabrani).


Maka marilah kita berusaha semaksimal mungkin menghindari perkara yang haram. Bahkan tidak hanya yang haram, yang syubhat atau yang tidak jelas kehalalannya pun mesti dihindari. Mengapa harus dihindari? Karena perkara syubhat merupakan pintu masuk kepada yang haram.

Demikian pesan Rasulullah saw., “Siapa saja yang jatuh kepada yang syubhat, maka ia akan terjatuh kepada yang haram.” (HR. Muslim).

Makanya sahabat Abu Bakar ra. sangat hati-hati dalam menghindari yang syubhat.

Dikisahkan, pada suatu hari, ia dibawakan makanan oleh pelayannya. Beliau pun menyantapnya. Lantas ditanya oleh si pelayan, “Apakah engkau tahu makanan itu? Beliau balik bertanya,

“Memangnya itu makanan dari mana? Dijawab oleh si pelayan, “Pada zaman Jahiliah aku biasa meramal untuk seseorang. Aku sendiri tak mumpuni soal ramalan, sehingga aku sering mengelabuinya. Saat itu pun orang tersebut datang dan menemuiku serta memberikan makanan itu kepadaku. Dan makanan itu pula yang aku bawakan kepadamu sekarang.”

Mendengar demikian, Abu Bakar langsung memasukkan jarinya ke mulut, dan memuntahkan semua yang sudah masuk ke dalam perutnya. (HR. Al-Bukhari).

Dari empat poin di atas, dapat dipahami bahwa betapa bahayanya makanan atau perkara yang tak halal bagi kita, seperti beratnya beramal, tertolaknya ibadah, terhalangnya doa, terhalangnya cahaya Allah, bahkan terancam siksa di akhirat.

Maka untuk menghindarinya, tingkatkan pengetahuan akan bahaya perkara yang tak halal, serta tingkatkan pula pengamalannya. Perbanyak mendekatkan diri kepada Allah. Namun kita tidak akan bisa mendekat diri kepada Allah selama diri kita masih kotor dan berlumur perkara yang tak halal. Hindarilah usaha-usaha yang jelas tidak dibenarkan oleh Allah. Bersikap wara’-lah dalam arti teliti akan sumber perkara atau makanan yang kita konsumsi. Jika dipastikan berasal dari sumber yang tidak baik atau tidak jelas, maka tinggalkanlah. Wallahu a’lam.

Demikianlah jawaban singkat kami mengenai tips dan bahaya perkara yang tidak halal. Semoga kita semua dapat menjauhinya.



Editor: Muhammad Zunus

Tanya Jawab Fiqih Lainnya Lihat Semua

Artikel Lainnya Lihat Semua

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Koordinat
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Nol
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Kumpul
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Temu
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Jenuh