Tanya Jawab Fiqih

Apakah Setiap Jimak Siang Hari di Bulan Ramadhan Wajib Kafarat Uzhma?

Ilustrasi sepasang suami istri (Foto: freepik)

Ilustrasi sepasang suami istri (Foto: freepik)

Assalamu’alaikum wr. wb.
Tim Redaksi Kemenag yang saya hormati. Izinkan saya bertanya tentang kafarat uzhma. Sebelumnya saya sampaikan. Pada suatu hari, saya harus menjenguk nenek saya yang sedang sakit di Surabaya. Akhirnya, saya dan istri saya berangkat dari Jakarta.

Sejak di perjalanan, saya bersama istri sudah mengambil rukhshah untuk tidak berpuasa. Setiba di rumah nenek dan menemui yang sakit, saya pun beristirahat. Maklum, kami masih dalam suasana bulan madu, hasrat untuk bergaul suami-istri pun masih menggebu. Maka terjadilah apa yang tak sepatutnya dilakukan oleh suami-istri yang sedang berpuasa di bulan Ramadhan, yakni berhubungan badan.

Pertanyaanya, apakah saya bersama istri saya harus melaksanakan kafarat uzhma, sementara saya dalam kondisi musafir atau perjalanan jauh?

Demikian pertanyaan saya. Atas perhatian dan jawabannya, saya sampaikan terima kasih. Wassalamu’alaikum wr. wb.
(Agus Susilo, Jakarta)

=====

Jawaban
Saudara Agus yang budiman. Terima kasih atas pertanyaannya. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan perlindungan-Nya kepada kita semua.

Memang benar orang yang sengaja merusak puasanya di bulan Ramadhan dengan senggama, wajib menjalankan kafarat ‘uzhma, dengan urutan kafarat sebagai berikut.

Pertama, ia memerdekakan hamba sahaya perempuan yang beriman. Kedua, jika tidak mampu, ia berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Ketiga, jika tidak mampu, ia memberi makanan kepada 60 orang miskin, masing-masing sebanyak satu mud atau kurang lebih sepertiga liter. Kafarat tersebut berdasarkan hadis sahih berikut ini:


أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أَتَى رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَلَكْتُ، وَقَعْتُ عَلَى أَهْلِي فِي رَمَضَانَ، قَالَ: أَعْتِقْ رَقَبَةً قَالَ: لَيْسَ لِي، قَالَ: فَصُمْ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ: لاَ أَسْتَطِيعُ، قَالَ: فَأَطْعِمْ سِتِّينَ مِسْكِينًا

Artinya: Abu Hurairah meriwayatkan, ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. lantas berkata, “Celakalah aku! Aku mencampuri istriku (siang hari) di bulan Ramadhan. Beliau bersabda, “Merdekakanlah seorang hamba sahaya perempuan.” Dijawab oleh laki-laki itu, “Aku tidak mampu.” Beliau kembali bersabda, “Berpuasalah selama dua bulan berturut-turut.” Dijawab lagi oleh laki-laki itu, “Aku tak mampu.” Beliau kembali bersabda, “Berikanlah makanan kepada enam puluh orang miskin,” (HR. al-Bukhari).

Untuk menjawab pertanyaan Saudara Penanya, tentu kita harus melihat ketentuan yang telah disimpulkan para ulama fikih. Antara lain yang telah disimpulkan oleh Syekh Salim bin Sumair al-Hadhrami, salah satu ulama Syafi’i, dalam kitabnya Matan Safinatun Najah, sebagaimana petikan berikut:


يجب مع القضاء للصوم الكفارة العظمى والتعزير على من أفسد صومه في رمضان يوما كاملا بجماع تام آثم به للصوم

Artinya, “Selain qadha, juga wajib kafarah ‘uzhma disertai ta‘zir bagi orang yang merusak puasanya di bulan Ramadhan sehari penuh dengan senggama yang sesungguhnya dan dengan senggama itu pelakunya berdosa karena puasanya.” (Lihat: Syekh Salim bin Sumair, Safinatun Najah, Terbitan Darul Ihya, cetakan pertama, tanpa tahun, halaman 112).

Hanya saja ketentuan di atas masih terbilang umum. Karenanya, kita perlu merujuk kembali ketentuan yang lebih detail. Sehingga senggama seperti apa yang mengakibatkan pelakunya harus kafarat?

Dalam Kasyifah al-Saja, Syekh Nawawi al-Bantani merinci sebelas persyaratan jatuhnya kafarah ‘uzhma. (Lihat: Syekh Nawawi al-Bantani, Kasyifatisy-Syaja, Terbitan Darul Ihya, cetakan pertama, tanpa tahun, halaman 112).

Berikut adalah sebelas persyaratan dimaksud disertai penjelasan secukupnya dari kitab Asnal-Mathalib fi Syarh Raudhit-Thalib karya Syekh Zakariya ibn Muhammad ibn Zakariya al-Anshari. Agar lebih jelas bagi Saudara Penanya, maka akan kami sajikan seluruhnya. (Lihat: Syekh Zakariya ibn Muhammad ibn Zakariya al-Anshari, Asnal-Mathalib fi Syarhi Raudhit-Thalib, juz I, cetakan Darul Kitab al-Islami, halaman 425).

  1. Kewajiban kafarah ‘uzhma dijatuhkan kepada orang yang sengaja menyenggama melalui kemaluan atau anus. Sedangkan kepada orang yang disenggama tidak dijatuhkan, baik laki-laki maupun perempuan. Hal itu seperti yang dikemukakan dalam Asnal-Mathalib:


لَا كَفَّارَةَ عَلَيْهَا لِأَنَّهُ لَمْ يُؤْمَرْ بِهَا فِي الْخَبَرِ إلَّا الرَّجُلُ الْمَوَاقِعُ

Artinya: “Tidak kafarat bagi wanita yang disenggama, sebab ia tidak diperintah melakukannya, kecuali laki-laki yang menyenggamanya, berdasarkan hadis.”

  1. Kafarat ini tidak dijatuhkan kecuali kepada orang yang merusak puasanya dengan senggama, dilakukannya secara sengaja, menyadari sedang berpuasa, tahu keharamannya, kendati dirinya tidak tahu kewajiban kafarat itu. Sehingga, jika ia merusak puasanya terlebih dahulu dengan yang lain, seperti makanan, kemudian bersenggama, maka tidak ada kafarat baginya.
  2. Yang dirusak adalah ibadah puasa. Selain ibadah puasa, seperti ibadah shalat atau itikaf, tidak ada kewajiban kafarat.
  3. Yang dirusak adalah puasa diri sendiri. Berbeda halnya jika yang dirusak adalah puasa orang lain, seperti seorang musafir atau orang sakit merusak puasa istrinya. ​​​​​
  4. Senggama dilakukan di bulan Ramadhan, walaupun masuknya bulan Ramadhan karena hasil pengamatan diri sendiri terhadap hilal atau karena informasi orang yang dipercaya.
  5. Kafarat dijatuhkan karena aktivitas senggama meskipun aktivitasnya berupa anal seks, baik dengan manusia, dengan mayat, maupun dengan hewan, walaupun tak sampai keluar sperma. Berbeda halnya dengan aktivitas seksual yang lain, seperti onani, masturbasi, dan oral seks walaupun hingga keluar sperma. Maka beberapa aktivitas seksual terakhir ini tidak mewajibkan kafarat. Tetapi jika sampai keluar sperma, puasanya batal dan wajib qadha. ​​​​​​​
  6. Sang pelaku berdosa karena membatalkan puasanya dengan senggama. Berbeda halnya jika sang pelaku masih anak-anak (belum taklif), atau orang yang musafir dan orang sakit, lalu keduanya bersenggama karena merasa memiliki keringanan (rukhshah). ​​​​​​​​​​​​​​
  7. Dosa senggama pelaku hanya karena puasa.


(وَقَوْلُنَا لِأَجْلِ الصَّوْمِ احْتِرَازًا مِنْ مُسَافِرٍ) أَوْ مَرِيضٍ (زَنَى) أَوْ جَامَعَ حَلِيلَتَهُ بِغَيْرِ نِيَّةِ التَّرَخُّصِ فَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ (فَإِنَّهُ أَثِمَ لِأَجْلِ الزِّنَا) أَوْ لِأَجْلِ الصَّوْمِ مَعَ عَدَمِ نِيَّةِ التَّرَخُّصِ

Artinya, “Maksud pernyataan kami ‘karena puasa’ adalah mengeluarkan orang yang bepergian jauh atau orang sakit lalu berzina atau mencampuri istrinya tanpa niat mengambil rukhshah, maka tidak ada kafarat baginya. Sebab, ia berdosa karena zina atau karena puasa disertai tidak berniat mengambil rukhshah.”

  1. Yang dirusak haruslah puasa sehari penuh dan pelakunya dikategorikan sebagai orang yang wajib berpuasa dalam sisa hari setelah senggamanya. Sehingga, orang yang pada suatu hari bersenggama tanpa ada alasan kemudian mengalami tunagrahita atau meninggal dunia pada sisa hari tersebut, berarti ia tidak dianggap merusak sehari penuh. ​​​​​​​​​​​
  2. Waktu yang dipakai pelaku bersenggama tidak samar dan tidak diragukan. Berbeda halnya jika ia mengira waktu masih malam, waktu sudah masuk malam, atau meragukan salah satunya, namun ternyata waktu sudah siang atau masih siang. Begitu pula karena lupa, lantas mengira puasanya sudah batal, lalu bersenggama secara sengaja. Maka tidak ada kafarat.​​​​​​​
  3. Senggama yakin dilakukan di bulan Ramadhan. Berbeda halnya jika pelaku tidak yakin dirinya sudah memasuki bulan Ramadhan, kemudian ia berpuasa dengan hasil ijtihadnya dan membatalkan puasanya dengan senggama, namun ijtihadnya ternyata salah, maka tidak ada kewajiban kafarat baginya.

Saudara Penanya yang budiman, dari paparan di atas, kiranya pertanyaan Saudara terjawab bahwa orang yang sedang bepergian jauh atau orang yang mengambil rukhshah lainnya tidak dikenakan kafarat. Wallahu a’lam. Demikian jawaban kami. Semoga dapat dipahami. Terima kasih.


Editor: Muhammad Zunus

Tanya Jawab Fiqih Lainnya Lihat Semua

Artikel Lainnya Lihat Semua

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Koordinat
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Nol
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Kumpul
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Temu
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Jenuh