Opini

Upaya Memasyarakatkan Al-Qur’an melalui MTQ

Dr. H.A. JURAIDI, MA (Dosen Ilmu Tafsir UIN Jakarta, DPK pada Institut PTIQ Jakarta, mantan Sekretaris Umum LPTQ Nasional)

Dr. H.A. JURAIDI, MA (Dosen Ilmu Tafsir UIN Jakarta, DPK pada Institut PTIQ Jakarta, mantan Sekretaris Umum LPTQ Nasional)

Al-Qur’an adalah perkataan yang mengandung mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang ditulis dalam mushaf, disampaikan secara mutawatir dan dianggap sebagai ibadah membacanya. (Subhi Shaleh, Mabahits fi ‘Ulumul-Qur’an, hal: 21).

Definisi ini memberikan pengertian tentang Al-Qur’an secara spesifik, dan membedakannya dengan kitab atau buku dan bahan bacaan lainnya. Al-Qur’an dijamin akan tetap terjaga kemurniannya sebagaimana firman Allah di dalam Surat Al-Hijr: 9, yang artinya: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.

Akan tetapi, jaminan Allah tersebut tidak menyebutkan tempatnya, di mana Al-Qur’an itu Allah pelihara, apakah di Indonesia termasuk yang dijaga? Tidak disebutkan dan tidak ada jaminan. Di samping itu, redaksi yang Allah gunakan adalah “Nahnu = Kami” (Dhamir Mutakallim Ma’alghair – kata ganti diri bersama yang lain), bukan “Ana = Aku” (Dhamir Mutakalim Wahdah – kata ganti diri sendiri).

Pengertian Kami dalam ayat ini menurut M. Quraih Shihab: Allah melibatkan makhluk-Nya. Dalam hal menurunkan Al-Qur’an, Allah melibatkan Malaikat Jibril. Dalam hal memelihara Al-Qur’an, Allah menghendaki keterlibatan kaum muslimin. (M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Volume 7, hal 95). Oleh karena itu, dalam hal menjaga kemurnian Al-Qur’an, harus ada upaya yang kita lakukan. Jika tidak, bisa jadi Al-Qur’an hanya tinggal namanya saja, atau tulisannya saja, namun tidak ada lagi yang bisa membacanya dan menggali isi kandungannya untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Rasulullah pernah mensinyalir hal tersebut sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi yang artinya: “Akan datang suatu masa, Al-Qur’an hanya tinggal rasam (tulisannya) saja”. (Sunan Al-Baihaqi, Juz 3 hal.317). Semoga hal tersebut tidak terjadi pada masa kita, dan generasi keturunan kita.

Kesadaran untuk ikut serta menjaga kemurnian Al-Qur’an inilah yang dimiliki para ulama Al-Qur’an pendahulu kita. Sehingga, banyak upaya yang mereka lakukan agar generasi muda Islam mencintai Al-Qur’an, mempelajari, dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu metodanya adalah melalui pelaksanaan MTQ (Musabaqah Tilawatil-Qur’an).

MTQ telah ada di Indonesia sejak tahun 1940-an, ditandai dengan lahirnya Jami'iyyatul Qurro wal Huffadz (JQH) yang didirikan oleh Nahdlatul Ulama, ormas terbesar di Indonesia. Menurut versi yang lain, MTQ pertama kali dilaksanakan di Desa Pondok Bungur, Asahan Sumatera Utara pada 12 Februari 1946 bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul Awal 1385 H sebagaimana ditulis oleh Nahar Alang Abd. Gani, alumni Universitas AlAzhar Mesir, dalam buku hasil penelitiannya yang diterbitkan Yayasan MTQ tahun 1989 dengan berjudul “Peristiwa dan Sejarah Kelahiran MTQ Pertama”. Untuk mengenang peristiwa MTQ tahun 1946 itu diabadikan dalam bentuk nama Masjid di Kampung Pondok Bungur, Asahan. Sebelum memasuki teras masjid, jamaah disambut gerbang gapura yang bertuliskan Masjid MTQ 1946.

Sebelum diangkat menjadi event nasional secara resmi oleh Pemerintah, lomba membaca Al-Qur’an sudah dipelopori oleh masyarakat di beberapa daerah. Hal ini sebagaimana yang dicatat Majalah Pesantren Nomor 1 Tahun 1991. Masjid Syuhada Yogyakarta misalnya, pernah mengadakan lomba antar peserta kursus tilawah Al-Qur’an tahun 1954. Di Pontianak Kalimantan Barat juga pernah diadakan lomba membaca Al-Qur’an pada tahun 1953 dengan istilah “sayembara membaca Al-Qur’an. (Majalah Pesantren Nomor 1 Tahun 1991). Dalam perkembangan selanjutnya, nama yang diugnakan diganti dengan musabaqah tilawatil-Qur’an yang mengacu kepada ayat Al-Qur’an “Fastabiqul-Khairat”. (QS. Al-Baqarah/2: 148).

Lembaga pemerintah yang termasuk pelopor pelaksanaan MTQ adalah RRI (Radio Republik Indonesia) dengan menggunakan istilah PTQ (Pekan Tilawatil-Qur’an). PTQ secara rutin dilaksanakan pada setiap Bulan Suci Ramadhan sejak tahun 1960. Sampai sekarang, RRI tidak pernah absen dalam menyelenggarakannya.

Mulai tahun 2021 pelaksanaan PTQ ke-51 di Palembang penyelenggaraannya bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama RI. (Perjanjian Kerjasama antara Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia dengan Direktorat Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, Nomor: 008/PKSDIR.LPU/04/2021 dan Nomor 1 Tahun 2021). Kerjasama tersebut semakin meningkatkan kualitas pelaksanaan PTQ, terutama dari aspek kepesertaan, perkembangan jenis lomba, dan perhakimannya. Pada bulan Ramadhan tahun 2022 PTQ Tingkat Nasional ke-52 dilaksanakan di Takengon, Provinsi Aceh.

Bukan hanya di Indonesia, Malaysia yang merdeka tahun 1957 mengungkapkan rasa syukur atas kemerdekaannya dengan menyelenggarakan MTQ Antar Bangsa, dengan mengundang negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, termasuk Indonesia. Pada tahun 1960 Menteri Agama mengirim delegasi untuk mengikuti MTQ Antar Bangsa yang ke-3 di Kuala Lumpur Malaysia. Dalam event bergengsi tersebut Indonesia diwakili oleh qari Tb. Manshur Makmun, dan Ubaidillah Assiry, keduanya terpilih sebagai johan / juara II dan juara III. (LPTQ DKI Jakarta, Kiprah LPTQ DKI Jakarta Mewujudkan Insan Qur’ani, t.t., hal. 17).

Dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 15 Tahun 2019 pada Ketentuan Umum menjelaskan tentang pengertian, Musabaqah TilawatilQur’an disingkat MTQ adalah perlombaan seni baca, hafalan, tafsir, syarah, seni kaligrafi, penulisan karya ilmiyah Al-Qur’an, dan hafalan Al-Hadis. Sedangkan Seleksi Tilawatil-Qur’an disingkat STQ adalah perlombaan yang melombakan sebagian cabang MTQ.

Secara substansi MTQ bukanlah sekedar lomba membaca Al-Qur’an dengan lagu yang indah dan suara yang merdu, atau sekedar untuk mencari qari-qariah dan hafiz-hafizah terbaik untuk dikirim mengikuti MTQ Internasional. Bukan hanya itu, MTQ adalah suatu upaya konkrit umat Islam untuk menggali nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam Al-Qur'an supaya dijadikan sebagai pedoman hidup. Hal ini bisa kita lihat dari cabang-cabang perlombaan dari MTQ ke MTQ semakin dikembangkan mulai dari membaca dengan tajwid dan lagu, membaca dengan qiraat sab’ah, menghafal, memahami, menulis indah (khat/kaligrafi), mensyarahkan, menafsirkan, dan menulis secara ilmiyah.

Melalui MTQ, diharapkan akan lahir kecintaan generasi muda terhadap Al-Qur’an, termotivasi untuk mempelajari, membaca indah, dan qiraat sab’ah, mengahafal, memahami, mensyarah, menafsirkan, menggali isi kandungannya, menulis indah, dan menulis makalah ilmiyah, untuk diamalkan dalam kehidupan, lalu kemudian disosialisasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Musabaqah Tilawatil-Qur’an (MTQ) merupakan metode sekaligus media dakwah yang sangat efektif dalam memasyarakatkan Al-Qur’an di Indonesia. Pada periode awal kehadiran MTQ, masyarakat begitu antusias menyambutnya, setiap event MTQ selalu ramai dihadiri karena masyarakat merasa mendapatkan sesuatu yang bermakna, dan ada kepuasan batin dihibur dengan lantunan ayat-ayat Al-Qur’an karena bersamaan dengan itu Allah menurunkan rahmatNya bagi orang yang mendengarkan bacaan Al-Qur’an (QS. Al-A’raaf: 204).

MTQ juga mampu menjadi katalisator kerukunan hidup antar dan intern umat beragama, misalnya pada MTQ Tingkat Nasional X tahun 1977 di Manado yang menjadi panitia bukan hanya dari kalangan muslim, tapi justru banyak dari kalangan non muslim. Dan mereka bangga melakukan hal itu. Sehingga semakin tercipta keharmonisan dalam masyarakat.

Kejayaan MTQ perlu dipertahankan. Bahkan, the power of MTQ perlu terus ditingkatkan dengan melibatkan semua pihak untuk bersama-sama meningkatkan kualitas penyelenggaraan MTQ. Sehingga, musabaqah ini tidak hanya dipandang sebagai ajang kompetisi dan kontestasi semata tapi lebih dari itu dapat mengkapitalisasi sumber daya manusia yang mampu menyulut gairah dan ghirah umat untuk mempelajari, memahami dan mengamalkan isi kandungan Al-Qur’an dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dr. H.A. JURAIDI, MA (Dosen Ilmu Tafsir UIN Jakarta, DPK pada Institut PTIQ Jakarta, mantan Sekretaris Umum LPTQ Nasional)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat