Opini

Ramadan dan Lecutan Sadar Halal

Ilustrasi: Mega Halimah

Ilustrasi: Mega Halimah

Ramadan dan halal adalah dua hal yang secara literal berbeda, namun keduanya memiliki pertalian hubungan yang sangat erat. Hubungan interelasi nilai yang menjadikan keduanya dekat secara mengakar.

Setidaknya terdapat sejumlah hal yang melatarbelakangi eratnya interelasi antara Ramadan dan halal. Pertama, Ramadan bagi umat Islam adalah karunia Allah Ta'ala yang begitu berharga. Ramadan adalah bulan suci yang penuh keutamaan, keberkahan, dan ampunan. Ramadan adalah bulan mulia yang penuh dengan seruan untuk melakukan kebaikan dan untuk menjauhi segala keburukan. Ramadan adalah bulan istimewa di mana pahala amal kebaikan dilipatgandakan dan ampunan dicurahkan.

Ramadan juga merupakan titik waktu terbaik bagi peningkatan keimanan dan ketakwaan, madrasah sempurna dalam menata diri lebih baik untuk membentuk pribadi bertakwa. Ibadah puasa Ramadan sendiri tujuannya adalah agar dengannya seorang hamba mencapai derajat takwa, sebagaimana Firman Allah Ta'ala dalam Surat Al Baqarah: 183.

Begitu banyak keutamaan di bulan Ramadan yang dengan itu kita berlomba-lomba untuk menjalankan apa-apa yang menjadi perintah-Nya sekaligus menjauhi segala larangan-Nya. Spirit Ramadan dengan kuatnya menggerakkan kita untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas amal ibadah. Ramadan sarat dengan nasehat agar kita menjadi umat beragama yang rendah hati, berakhlakul karimah, senantiasa menjaga persaudaraan dan memupuk rasa kasih sayang, tasamuh dalam kemajemukan, saling memuliakan sesama, serta memiliki kepekaan dan kepedulian kepada yang lain.

Pendeknya hadirnya Ramadan seperti air sejuk yang menyirami tumbuh suburnya nilai ruhiyah dalam semua dimensi kehidupan, dari spiritual hingga sosial. Hikmah ini begitu terasa ketika Ramadan hadir bersamaan dengan masih berjangkitnya pandemi. Bahkan sudah dua Ramadan ini kita jalani dalam situasi pandemi Covid-19.

Selanjutnya, tempaan istimewa selama bulan suci Ramadan tersebut menghadirkan banyak implikasi penting bagi kehidupan. Di antaranya, terbentuknya pola kehidupan yang berorientasi ibadah. Dengan kata lain, Ramadan membentuk pola ketaatan yang bernilai ibadah. Termasuk ketaatan dalam bermuamalah. Seperti muamalah dalam melakukan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dengan yang halal, baik halal dari sisi dzatnya maupun halal dari cara pemerolehannya.

Makan dan minum misalnya, pada dasarnya bukanlah aktivitas ibadah khusus. Kita diberi kebebasan untuk dapat makan minum apa saja. Namun ketika kita menjaga ketaatan untuk selalu mengonsumsi makanan dan minuman yang halal semata-mata karena mengharapkan ridha Allah Ta'ala, maka aktivitas ini bernilai ibadah. Terlebih, aktivitas makan minum tersebut juga akan berpahala ketika diniatkan agar tubuh memperoleh energi sehingga dengan itu menjadi kuat untuk menjalankan ibadah, seperti salat, atau untuk bekerja mencari nafkah, menuntut ilmu, mengajar, merawat orang tua, mendidik anak-anak, membantu sesama, dan lain sebagainya.

Begitu penting dan mendasarnya halal, Imam al-Ghazali menggambarkan halal dan implikasinya dengan penjelasan yang begitu menggetarkan hati. Menyimak dan memahaminya akan melecutkan kesadaran kita akan pentingnya selalu mengonsumsi produk halal dalam kehidupan sehari-hari kita.

Diilustrasikan oleh Imam al-Ghazali, memakan harta yang halal itu adalah baik, dan juga menghasilkan yang baik pula. Seseorang yang selalu membiasakan memakan harta yang halal akan menambah cahaya dan sinar keimanan pada hati. Juga akan menimbulkan kegentaran dan kekhusyukan terhadap kebesaran Allah Ta'ala, menggiatkan seluruh anggota badan untuk beribadah dan taat, mengurangkan kecenderungan hati pada dunia serta menambah ingatan terhadap hari kiamat. Dengan demikian akan diterimalah amal ibadah serta doa-doa kita. Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW, "Pilihlah makanan yang halal, niscaya doamu akan dikabulkan."

Pemahaman bahwa halal adalah baik dan mengonsumsi produk halal adalah jalan untuk mendapat keridaan Allah SWT ini akan membangun 'sadar halal' dalam diri seseorang. Hal itu kemudian secara alami menumbuhkan kecintaan kepada produk halal yang memengaruhi tingkah lakunya. Ketika halal dijadikan sebagai nilai yang menjadi parameter dalam kehidupan sehari-hari, maka terbentuklah kecenderungan seseorang untuk selalu selektif memilih yang halal saat menentukan produk yang akan dikonsumsinya.

Dengan kecenderungan ini, ia akan terbiasa untuk mengidentifikasi apakah sebuah produk itu halal dan baik untuk dikonsumsinya, ataukah haram, atau syubhat, samar-samar. Dalam kondisi ini, cinta kepada produk halal bukanlah sebuah jargon, tapi sebuah nilai prinsip. Halal adalah life-style, gaya hidup yang terus hidup secara bertalian dengan segala aktivitas berkehidupannya.


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Sugito

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ahmad Zainul Hamdi, Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kemenag RI
Kenangan dan Kemenangan