Opini

Peringatan Hari Konstitusi, Membangun Mental Konstitusional

Sesditjen Bimas Islam M Fuad Nasar

Sesditjen Bimas Islam M Fuad Nasar

Peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus dan Peringatan Hari Konstitusi tanggal 18 Agustus berkaitan dengan mata rantai peristiwa penting yang menentukan arah perjalanan sejarah Indonesia sebagai sebuah bangsa di muka bumi. Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan diperingati sejak tahun 1946, sedangkan Hari Konstitusi yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 18 Tahun 2008, diperingati sejak tahun 2008.

Proklamasi dan Konstitusi tidak dapat dipisahkan dalam sejarah terbentuknya negara kita. Sehari setelah kemerdekaan diproklamirkan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta (kini Jalan Proklamasi), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melaksanakan sidang untuk menetapkan hasil kerja Panitia Perancang Undang-Undang Dasar.

Sidang PPKI pada hari Sabtu 18 Agustus 1945 dalam bulan suci Ramadan berlangsung dari pukul 10.00 WIB (karena tertunda) dan berakhir siang menjelang asar. Sidang bersejarah itu dipimpin oleh Ketua Sidang Ir. Soekarno. Sidang PPKI mengagendakan tiga acara pokok yaitu:

Pertama, pengesahan Pembukaan Undang-Undang Dasar. Kedua, pembicaraan tentang Susunan Pemerintahan dan Pengesahan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar. Dan, ketiga, pengangkatan Presiden & Wakil Presiden dan Pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Momentum pengesahan Undang-Undang Dasar 1945 memiliki makna fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam Pembukaan UUD 1945 tersurat rumusan tujuan mendirikan negara dan dasar negara Pancasila sebagai gentlement agreement di antara segenap elemen bangsa.

Tujuan mendirikan negara dan pemerintahan ialah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Selanjutnya di dalam pasal-pasal batang tubuh UUD 1945 terangkum bentuk negara dan kedaulatan, susunan dan kekuasaan pemerintahan, keuangan, kekuasaan kahakiman, warga negara, dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dan kebebasan beragama, kesejahteraan sosial, pertahanan negara, pendidikan, bendera dan bahasa, perubahan undang-undang dasar, dan substansi lain yang dianggap penting sehingga diatur di dalam konstitusi yang lahir di tengah situasi darurat dan Bung Karno menyebutnya bersifat sementara.

Sejarah mencatat perdebatan cukup banyak mewarnai sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dinamika pembahasan usulan dasar negara dan rancangan Undang-Undang Dasar memberi pelajaran kepada generasi penerus tentang kearifan mengatasi perbedaan pendapat dan mencapai konsensus. Hal paling mengesankan dalam sidang BPUPKI dan PPKI yang patut dicatat ialah tidak ada garis pemisah di antara para pemimpin dan tokoh bangsa di masa itu, sekalipun berbeda latar belakang suku, agama, pandangan ideologis, organisasi pergerakan dan perkumpulan politik masing-masing.

Kesepakatan dan konsensus tentang dasar negara tercapai setelah melalui rangkaian diskusi, pertukaran pikiran dan gagasan para pendiri bangsa (founding fathers) yang hadir dalam sidang BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Cosakai) dan PPKI (Dokuritsu Zyunbi Inkai). Kalau kita baca kembali narasi para pendiri bangsa, antara lain dalam Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, tidak ada yang memperhadapkan antara ayat-ayat konstitusi ciptaan manusia dengan ayat-ayat kitab suci yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa.

Pertumbuhan rumusan dasar negara bermula dari usulan lima prinsip dasar yaitu Pancasila 1 Juni 1945 (Pidato Ir. Soekarno), rumusan Pancasila yang disepakati pada 22 Juni 1945 (Piagam Jakarta) dan rumusan final Pancasila yang disahkan pada 18 Agustus 1945. Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan jalan tengah, titik temu dan “common platform” yang menjembatani aspirasi golongan Islam yang menghendaki Indonesia merdeka berdasarkan Islam dan aspirasi golongan kebangsaan yang menghendaki pemisahan agama dari kehidupan bernegara.

Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 menerima Piagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD 1945 dengan perubahan tujuh kata sila pertama yaitu: "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Perubahan tersebut atas persetujuan tokoh Islam anggota tambahan PPKI yang dilobi oleh Bung Hatta tanggal 18 Agustus 1945 pagi hari, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo dan Teuku M. Hasan. Perubahan kalimat sila pertama Pancasila adalah sesuai saran Bung Hatta ialah demi kelangsungan persatuan bangsa yang saat itu menghadapi ancaman disintegrasi dari sebagian penduduk Indonesia di wilayah Indonesia Timur yang dikuasai Kaigun (Angkatan Laut Jepang).

Bung Hatta, dalam buku Memoir-nya, menyebut bahwa pencoretan tujuh kata pada Piagam Jakarta sebagai “toleransi pemimpin-pemimpin Islam”. H. Alamsjah Ratu Perwiranegara, Menteri Agama periode 1978 – 1983 lebih jauh lagi menegaskan, “Pancasila adalah pengorbanan dan hadiah terbesar umat Islam untuk persatuan dan kemerdekaan Indonesia.” Alamsjah mengutarakan fakta sejarah mengingat masih ada sebagian kalangan umat Islam saat itu yang masih setengah hati menerima Pancasila.

Pancasila merefleksikan jatidiri bangsa Indonesia yang agamais sehingga tidak boleh ada jarak antara ke-Pancasila-an dengan keberagamaan. Pancasila bukan ideologi sekuler yang tidak memberi tempat bagi agama dan keagamaan di ruang publik. Pancasila bukan ideologi warisan kolonial yang membawa bangsa mundur ke belakang. Pancasila adalah ideologi integratif, ideologi pemersatu sesuai dengan visi Indonesia sebagai negara kebangsaan modern dalam semangat persatuan dan menghormati kemajemukan. Sebagai ideologi nasional, Pancasila mengatasi semangat individualistik, dan sebagai dasar negara Pancasila merekatkan semua golongan dan aliran. Pancasila berfungsi sebagai alat pemersatu perbedaan dan bukan alat pemisah sesama anak bangsa seperti pernah terjadi di masa lampau ketika Pancasila tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen.

Suku-suku bangsa Indonesia sebelum membentuk negara nasional (nation state) telah mengalami pahitnya zaman feodal, penderitaan zaman kolonial/VOC dan kekejaman pemerintahan militer Jepang. Memori kolektif bangsa menimbulkan kesadaran dan dorongan untuk meruntuhkan mental negara kolonial menjadi mental negara nasional dan mental konstitusional pasca proklamasi, meski tantangan dan ujiannya waktu itu tidak ringan.

Pahlawan Nasional Jenderal Besar TNI Dr. H. Abdul Haris Nasution (1918 – 2000) dalam karya monumentalnya Sekitar Perang Kemerdekaan, Jilid 1 (Disjarah AD dan Angkasa Bandung, 1977) mengemukakan refleksinya, "Dengan diproklamasikannya kemerdekaan bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, maka mulailah revolusi bangsa Indonesia, yaitu melenyapkan tertib lama kolonial dan mendirikan negara Indonesia atas dasar Mukadimah UUD '45. Demikianlah semangat-jiwa '45 menjadi modal utama rakyat bangsa Indonesia. Semangat proklamasi 1945 harus dikobarkan kembali, karena hanya dengan semangat itulah kita dapat menerobos benteng-benteng kolonialisme, feodalisme, birokrasi, korupsi dan sebagainya. Membela dan memelihara semangat dan jiwa proklamasi serta Konstitusi 1945. Kita seharusnya menegakkan politik negara, baik bidang politik, militer, sosial, ekonomi, keuangan, kebudayaan, pendidikan dan sebagainya, dalam menuju kepada cita-cita rakyat bangsa Indonesia yakni INDONESIA YANG MERDEKA, BERSATU, BERDAULAT, ADIL DAN MAKMUR. Kita harus belajar dari sejarah kita sendiri, dari pengalaman rakyat dan negara kita sendiri dan lebih-lebih lagi, dari masa puncak perjuangan nasional kita: Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1950."

Sejalan dengan pesan perjuangan Jenderal A.H. Nasution, segenap generasi penerus perlu memahami tujuan bernegara atas dasar kesadaran sejarah; apa saja yang terjadi dalam perjalanan bangsa selama ini, dan apa yang harus diperbaiki ke depan. Kesadaran sejarah sangat penting dan relevan dalam rangka membangun mental konstitusional, semangat kebangsaan dan cinta tanah air berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Orientasi ke masa depan tanpa memahami masa lampau niscaya akan membuat suatu generasi yang sedang tumbuh kehilangan arah dan tidak punya pegangan. Wallahu a’lam bisshawab.

M Fuad Nasar (Sesditjen Bimas Islam)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat