Kristen

Peranan Gereja dalam Mewujudkan Keadilan Sosial

EV. Gunawan

EV. Gunawan

Saudara, tema Refleksi Minggu kali ini adalah “Peranan Gereja dalam Mewujudkan Keadilan Sosial.” Tujuannya adalah menjadi perenungan kita bersama, apa yang sudah dilakukan di Negara Indonesia yang berazaskan keadilan sosial ini.

Saudara, saat membaca sejarah hidup John Calvin -seorang tokoh reformasi gereja- maka kita akan mendapatkan catatan perjuangan dia yang luar biasa di tengah-tengah kondisi Negara-Kota Jenewa yang chaos (kacau). Calvin bukan hanya menghadapi masalah filosofis-teologis tetapi juga praksis. Yaitu, berbagai permasalahan kehidupan sosial yang aktual dan nyata. Dan kita tahu, hasil perjuangannya bukan sekedar menjadi Reformator Gereja terbesar, tapi perjuangannya juga memengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan umat manusia di dunia (sejarah, hukum, seni, ekonomi, literatur, filsafat, politik, ilmu pengetahuan, dunia usaha, musik, pengobatan, dan jurnalis). Salah satu bukti paling konkret adalah mengubah Negara-Kota Jenewa yang chaos menjadi "salah satu tempat yang katanya paling sempurna di dunia."

Satu pertanyaan utama Calvin saat memulai perjuangan mewujudkan keadilan sosial, khususnya di Negara-Kota Jenewa, adalah, "Mengapa realitas hidup masyarakat jauh berbeda dari idealisme sosial Kristen, padahal di sana Gereja (orang Kristen) hadir. Dan jawaban yang Calvin temukan adalah bahwa Gereja yang seharusnya paling pertama bergerak di garis depan dalam melawan kekacauan dan ketidakadilan, tapi justru di dalam Gereja terdapat kekacauan dan ketidakadilan!

Frasa yang dipakai Calvin untuk menggambarkan kekacauan dan ketidakadilan dalam Gereja adalah "hampir tak ada tatanan yang tersisa." Sehingga, kesimpulan akhirnya -menurut saya sangat pesimis- yaitu: tidak ada pengharapan bagi terwujudnya keadilan sosial yang ideal.

Tapi apakah Calvin lalu hanyut dalam sifat pesimis? Tentu saja tidak. Dalam kondisi seperti itulah ia menetapkan prioritas utama panggilan hidupnya, dengan semboyan yang sangat kita kenal "Ecclesia reformata semper reformanda" yang artinya "Gereja direformasi dan selalu mereformasi;" Yaitu, mengadakan reformasi bukan hanya secara spiritual di dalam Gereja, tetapi juga secara sosial di luar Gereja.

Saudara, kepedulian sosial seperti itulah yang sejak awal diteladankan oleh Tuhan Yesus dan para rasul, dan menjadi jiwa dari Gereja mula-mula. Ini seperti yang dicatat oleh Tabib (atau dokter) Lukas dalam kedua bukunya, yaitu: Kitab Injil Lukas dan Kitab Kisah Para Rasul. Sedikit berbeda penekanan dengan catatan para penulis Injil lainnya, maka dalam Injil Lukas, Tuhan Yesus ditampilkan sebagai pribadi yang care (peduli) dengan keadaan sosial orang-orang di sekitar-Nya.

Mari kita lihat beberapa contoh diantaranya. Salahsatu contoh yang paling tepat dan dramatis adalah Zakheus, yang kisahnya kita kenal sejak Sekolah Minggu. Kisah ini hanya ada dalam catatan Injil Lukas (Luk. 19:1-10). Dia disisihkan dan diabaikan, mengapa? Wajar! Pekerjaannya sebagai pemungut pajak yang mencekik ekonomi orang-orang sebangsanya demi menyenangkan penjajah Romawi dan kemakmurannya sendiri. Ditambah lagi sekian banyak hal yang dianggap negatif lainnya.

Tapi, Tuhan Yesus begitu care dengan Zakheus yang tersisihkan dan terabaikan tersebut. Setelah perjumpaannya dengan Tuhan Yesus, saat itu juga terlontar kata-kata yang luar biasa, "Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat."

Contoh-contoh kepedulian sosial lainnya adalah: Kisah Tuhan Yesus membangkitkan seorang anak muda di Nain. Sekali lagi ini juga hanya di catat oleh Lukas (Lukas 7:11-17), bahwa Tuhan Yesus care terhadap seorang janda yang anak laki-laki satu-satunya meninggal.

Dalam bagian-bagian lainnya, Tuhan Yesus juga dicatat Lukas dalam berbagai kesempatan memerintahkan untuk memberikan sedekah kepada orang miskin: saat menegur orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat atas kemunafikan mereka -ingat sedekah kepada orang miskin- (Luk. 11:41-42). Demikian juga saat Dia mengajar murid-murid-Nya supaya tidak perlu kuatir menjalani hidup -ingat sedekah kepada orang miskin- (Luk. 12:33). Pun, saat Dia mengajar seorang pemimpin muda yang mencari keselamatan namun sangat terikat dengan kekayaannya -ingat sedekah kepada orang miskin- (Luk. 18:22), dan lainnya.

Dua contoh perumpamaan paling agung dari Tuhan Yesus tentang kepedulian sosial -dua-duanya hanya ada dalam catatan Injil Lukas- yaitu perumpamaan tentang Orang Samaria yang Murah Hati (Luk. 10:25-37) serta perumpamaan tentang Orang Kaya dan Lazarus yang Miskin (Luk. 16:19-31). Saya tidak menguraikan dua perumpamaan ini karena saya percaya Saudara tentunya sudah sangat mengenal dua perumpamaan ini. Inti pengajaran dari kedua perumpamaan ini adalah bahwa Injil atau Kabar Baik yang menjadi misi dari Tuhan Yesus bukan kata-kata semata, tapi juga karya nyata! Inilah juga yang kemudian dituliskan oleh Yakobus -adik kandung Tuhan Yesus- "Iman tanpa perbuatan adalah mati." Maka, iman yang sejati pasti terwujud dalam karya nyata.

Satu contoh terakhir tentang kepedulian sosial Tuhan Yesus; yang menjadi nas utama dalam refleksi kali ini; yang merupakan panggilan awal dan sekaligus kesimpulan akhir dari pelayanan Tuhan Yesus menurut catatan Injil Lukas adalah Luk. 4:18-19.

Pernyataan "Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku ..." (4:18). Ini merujuk pada peristiwa turunnya Roh Kudus dalam rupa burung merpati saat pembaptisan Tuhan Yesus (Luk. 3:22). Pengurapan itu merupakan bukti utama atas status-Nya sebagai Mesias yang diutus Allah. Lukas 4:18-19 ini merupakan kutipan dari Yesaya 61:1-2... yang dikombinasikan dengan Yesaya 58:6-7; ay. 6... lalu ay. 7 perhatikan baik-baik ini yang Nabi Yesaya katakan tentang kesalehan sejati yang akan digenapkan oleh Sang Mesias. Dan, sekali lagi perhatikan baik-baik bahwa Sang Mesias yaitu Tuhan Yesus dalam Matius 25 mengatakan ini yang akan menjadi dasar dalam penghakiman terakhir nanti.

Kembali pada catatan Injil Lukas, maka melalui 2 kutipan dari Kitab Yesaya ini -yang di dalamnya terdapat tiga kali kata "Aku", penulis Injil Lukas ingin menunjukkan bahwa Tuhan Yesus sungguh-sungguh merupakan penggenapan dari nubuat Perjanjian Lama terhadap Sang Mesias yang akan datang, yang sudah sekian lama dinanti-nantikan; Ia datang bukan hanya untuk Bangsa Israel tapi juga untuk seluruh umat manusia (bdk. Luk. 4:21).

Saudara, penting bagi kita untuk memahami bagaimana Lukas menggunakan teks Yesaya yang dikutipnya karena itu akan menolong kita untuk melihat dimensi sosial yang ingin ditekankan oleh Injil ini. Teks Yesaya tersebut digunakan dengan beberapa modifikasi yang memungkinkan penegasan terhadap kepedulian sosial. Dalam konteks aslinya, Yesaya 61:1-2 adalah bagian dari berita tentang pemulihan Israel. Namun penulis sengaja tidak menyertakan frasa “hari pembalasan Allah (terhadap musuh-musuh Israel)” (Yes. 61:2), karena ia ingin mengurangi nuansa politis dari Yesaya 61 demi mempertegas aspek spiritualnya. Kutipan ini juga dikombinasikan dengan pernyataan “membebaskan orang-orang yang tertindas” yang diambil dari Yesaya 58. Dengan tambahan kutipan dari Yesaya 58 ini, pemulihan dalam Lukas 4:18-19 bahkan bukan saja berdimensi spiritual namun secara luas atau holistik, juga memiliki dimensi sosial!

Konteks Yesaya 58 adalah saat umat Israel ditegur keras karena mereka mengabaikan keadilan sosial pada saat mereka melakukan kegiatan keagamaan. Kegiatan keagamaan yang diinginkan oleh Allah bukan semata yang bersifat ritual, tetapi puasa dalam bentuk upaya membebaskan mereka yang tertindas dan menolong mereka yang kekurangan.

Setelah pengurapan saat pembaptisan tersebut, maka Tuhan Yesus memulai pelayanan-Nya sebagai pribadi yang care (peduli) dengan keadaan sosial orang-orang di sekitar-Nya seperti yang telah dinubuatkan Nabi Yesaya 700 tahun sebelum kedatangan-Nya. Itu sebabnya ketika Yohanes Pembaptis yang terguncang imannya saat di dalam penjara mempertanyakan keabsahan status-Nya sebagai Mesias, maka Tuhan Yesus cukup memberikan jawaban sederhana dengan mengulang panggilan awal yang telah direalisasikan melalui pelayanan yang telah dilakukan-Nya, "... katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu lihat dan kamu dengar: Orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik" (Lukas 7:22).

Lalu saat membaca buku kedua dari catatan Lukas, yaitu Kitab Kisah Para Rasul, maka kita menemukan "nada dasar" yang sama dalam pelayanan para rasul dan Gereja (orang-orang Kristen) mula-mula, yaitu hati yang memiliki kepedulian sosial seperti Tuhan Yesus.

Kitab Kisah Para Rasul memulai catatannya dengan mengatakan para rasul dan orang-orang Kristen memulai pelayanan setelah mereka dipenuhi Roh Kudus (Kis. 1:8; 2:1-13). Frasa "dipenuhi Roh Kudus" ini merupakan penekanan yang menarik, karena kalau kita bandingkan dengan nas utama Luk. 4:18-19 tadi, maka penulis Injil Lukas ingin menunjukkan bahwa ada rangkaian karya Roh Kudus yang sama, baik dalam diri Tuhan Yesus maupun murid-murid-Nya. Itu sebabnya kemudian kita dapat melihat dimensi sosial yang sangat kental dalam pelayanan Tuhan Yesus juga ada dalam pelayanan para murid (Kis. 2:44-45; 4:32-37). Komunitas Gereja (Orang Kristen) mula-mula menggunakan harta milik mereka untuk membantu mereka yang miskin! Itulah yang mereka lakukan dan juga mereka beritakan: Injil sebagai kabar baik yang utuh, bukan hanya berdimensi spiritual, tapi juga berdimensi sosial.

Konsep Injil sebagai kabar baik yang utuh: berdimensi spiritual dan juga berdimensi sosial, juga secara khusus ditegaskan dalam Galatia 2:10, yaitu ketika Rasul Paulus dan Barnabas bertemu dengan tiga rasul utama di Kota Yerusalem: Rasul Yakobus, Rasul Petrus, dan Rasul Yohanes; maka tiga rasul itu hanya minta satu hal, yaitu apa? Supaya Rasul Paulus dan Barnabas memberi perhatikan bagi orang yang miskin atau kekurangan! Dan Rasul Paulus dalam terjemahan LAI BIMK (Bahasa Indonesia Masa Kini) mengatakan, “Memang itu yang selama ini sungguh-sungguh saya lakukan!” Itulah yang sungguh-sungguh Rasul Paulus lakukan! Bagaimana dengan Barnabas? Tidak perlu diragukan lagi, karena dalam catatan kehidupan Gereja Mula-mula yang sudah disinggung tadi, tercatat satu nama sebagai orang yang paling pertama care (peduli) dengan keadaan sosial orang-orang di sekitarnya, yaitu Barnabas yang menjual ladang miliknya lalu meletakkannya di depan kaki para rasul (Kis. 4:36-37).

Dalam catatan-catatan Kitab Kisah Para Rasul terhadap kisah Rasul Paulus dan Barnabas kita temukan kembali keterkaitan antara "dipenuhi Roh Kudus" dan "kepedulian sosial," yaitu Rasul Paulus yang mempunyai kepedulian sosial adalah orang yang dicatat "dipenuhi Roh Kudus" dalam Kis. 9:17 dan 13:9; demikian juga Barnabas yang mempunyai kepedulian sosial adalah orang yang dicatat "dipenuhi Roh Kudus" dalam Kis. 11:24. Satu ayat terakhir yang ingin saya kutip dari Kitab Kisah Para Rasul dalam Kis. 6:3 tentang syarat bagi tujuh diaken paling pertama yang ditetapkan untuk melayani meja atau pelayanan sosial adalah... -sekali lagi- "dipenuhi Roh Kudus!"

Jadi, dari seluruh pembahasan di atas, kita dengan mudah dapat menyimpulkan hal yang sama: dalam catatan Kitab Injil Lukas, Anak Allah yang diurapi Roh Kudus dalam kehidupan sehari-hari-Nya selama inkarnasi di dunia adalah pribadi yang care (peduli) dengan keadaan sosial orang-orang di sekitar-Nya; demikian pula dalam catatan Kitab Kisah Para Rasul, maka para rasul dan Gereja (orang-orang Kristen mula-mula) yang dipenuhi Roh Kudus dalam kehidupan sehari-hari mereka juga merupakan pribadi-pribadi yang care (peduli) dengan keadaan sosial orang-orang di sekitar mereka.

Selanjutnya kita melihat catatan sejarah gereja di abad-abad selanjutnya, orang-orang Kristen secara konsisten tetap mewujudkan kesejatian iman dan hidup yang "dipenuhi Roh Kudus" dalam kehidupan sehari-hari melalui kepedulian terhadap keadaan sosial orang-orang di sekitar mereka. Pada abad kelima dan keenam, pengaruh orang-orang Kristen-lah yang memungkinkan adanya perlindungan hukum bagi anak-anak pada zaman Kekaisaran Romawi, yang sebelumnya tidak dianggap sama sekali. Demikian juga pada abad-abad selanjutnya, orang-orang Kristen berada pada garis terdepan dalam membantu para janda dan anak yatim, membangun rumah sakit, menyediakan bantuan bagi korban bencana, mendirikan balai pengobatan, bantuan bagi orang-orang miskin, dan sebagainya.

Saudara, peranan Gereja dalam mewujudkan keadilan sosial memang mengalami berbagai pasang naik dan pasang surut. Salah satu titik pasang naik tertinggi adalah melalui Gerakan Reformasi Gereja yang empat tahun lalu (2017) kita peringati sebagai ulang tahun ke-500.

Hal yang jarang diketahui dari gerakan ini adalah bahwa Gerakan Reformasi Gereja bukan hanya bicara tentang pengajaran dan doktrin: Gospel atau Injil Keselamatan, Grace and Glory atau anugerah dan kemuliaan Allah, tapi juga Good atau perbuatan-perbuatan baik yang nyata yaitu menolong sesama yang membutuhkan. Tokoh reformasi gereja dari Swiss, Ulrich Zwingli bukan hanya mendirikan sekolah teologi bagi para rohaniwan, tapi ia juga mendesak dewan kota setempat untuk mengubah beberapa biara setempat menjadi panti asuhan.

Calvin sendiri memprakarsai suatu lembaga yang khusus bergerak menolong sesama yang membutuhkan: orang miskin, menderita, anak-anak yatim piatu, para lanjut usia, orang-orang yang tersisihkan, para wanita tuna susila, dan sebagainya. Pertolongan bagi sesama yang dilakukan oleh Calvin ini diikuti oleh para tokoh lain yang berjuang bersamanya. Mereka bekerja dengan rajin untuk membantu para pengungsi, orang miskin, yatim piatu, dan orang yang menderita melalui ini: The Bourse Française, yang menjadi tiang kesejahteraan masyarakat di Negara-Kota Jenewa, sehingga negara-kota tersebut seperti yang saya katakan tadi kemudian disebut sebagai tempat yang paling sempurna layaknya di surga.

Ada banyak catatan sejarah lainnya atas apa yang dilakukan orang-orang Kristen lainnya di zaman modern ini yang tidak mungkin diceritakan secara detail satu demi satu: Geoge Whitefield (1714-1770) yang mempersembahkan sebagian besar uangnya untuk membangun panti asuhan pada masa kolonial Geogia, William Wilberforce (1759-1833) yang bertahan puluhan tahun di parlemen Inggris demi menghapus perbudakan, William Carey (1761-1834) yang menghapus ritual di India selama berabad-abad bahwa saat seorang suami meninggal, maka istrinya juga harus dibakar hidup-hidup, Geoge Mȕller (1805-1898) yang melayani sekitar 2.000 anak yatim piatu di Bristol, Inggris, Charles Haddon Spugeon (1834-1892) yang membangun lebih dari 17 rumah bagi para janda berusia lanjut dan sebuah panti asuhan bagi ratusan anak berbagai etnis, serta 66 lembaga pelayanan di daerah-daerah miskin Kota London, lalu orang-orang Kristen yang menyediakan tempat tinggal dan pendidikan bagi anak-anak yatim piatu, dan para wanita yang hamil di luar nikah, dsb, dsb, dsb; yang pasti adalah kekristenan menjadi sebuah komunitas yang penuh kepedulian bagi sesama, seperti yang dilakukan Sang Tuan, yaitu Tuhan Yesus Kristus sendiri; karena sama seperti namanya Kristen adalah "peniru-peniru Kristus." Sama seperti yang disimpulkan Calvin: "Tidak ada hal lain yang di dalamnya seorang Kristen mencerminkan atau meniru Tuhan Yesus Kristus lebih nyata, selain berbuat baik terhadap sesama."

Perbuatan baik terhadap sesama memang begitu luas, beberapa contoh konkret adalah seperti yang Tuhan Yesus katakan dalam Matius 25, dan dengan sangat menarik digambarkan dalam sebuah lukisan budak. Lukisan Master of Alkmaar, The Seven Works of Mercy, ca. 1504, polyptych [Amsterdam, Rijksmuseum]): (1) memberi makan kepada orang yang lapar, (2) memberi minum kepada orang yang haus, ada urutan yang terbalik antara ke 3 dan 5: (3) memberi pakaian kepada orang yang telanjang, (5) memberi tumpangan kepada orang asing, (Tampilan 9) lompati no. 4 dulu, maka (6) mengunjungi orang sakit, dan (7) mengunjungi orang tahanan; (4) yang tadi dilompati adalah menguburkan orang mati yang merupakan tambahan perbuatan baik terhadap sesama di abad pertengahan. Tambahan perbuatan baik ini dikutip dari sebuah Kitab Katolik yang bernama Kitab Tobit 1:16-22. Yang sangat menarik dari lukisan ini adalah bahwa Tuhan Yesus bukan hanya hadir dalam gambar ke-4 (tengah), tapi Ia hadir melihat semua perbuatan baik orang Kristen. Di abad ini, secara khusus saat ini dan di sini, apakah Tuhan Yesus juga melihat hal yang sama dalam diri Saudara dan saya: Kekonsistenan untuk tetap mewujudkan kesejatian iman dan hidup yang dipenuhi Roh Kudus dalam kehidupan sehari-hari melalui kepedulian terhadap keadaan sosial orang-orang di sekitar kita?

Akhirnya Saudara sekalian mari kita bertanya kembali pada diri kita masing-masing khususnya di masa pandemi yang sudah berlangsung 2 tahun ini: "Apakah reformasi hanya ada di dalam Gereja? Bagaimana dengan reformasi di luar Gereja, yaitu reformasi sosial?" Pertanyaan ini patut menjadi otokritik bagi Gereja-gereja masa kini, bukan hanya bagi Majelis Gereja tapi juga seluruh anggota Jemaat. Seandainya Calvin hidup pada hari ini, ia pasti masih seperti yang dahulu, tetap konsisten melakukan reformasi spiritual dan reformasi social, kiranya demikian pula Saudara dan saya. Amin.


Fotografer: Istimewa

Kristen Lainnya Lihat Semua

Pdt. Dr. Andreas Agus (Rohaniwan Kristen)
Layak Dipercaya

Mimbar Agama Lainnya Lihat Semua