Opini

Pendidikan “Orang Bijak”

Suwendi (Kepala Subdit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Diktis)

Suwendi (Kepala Subdit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Diktis)

Pada pembukaan Rapat Koordinasi Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, 17 Januari 2023 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, Menteri Agama RI, Yaqut Cholil Qoumas, menegaskan tentang orientasi dan arah Pendidikan Islam. Menurut pria yang biasa disapa Gus Men, pendidikan Islam diarahkan untuk menghasilkan “orang bijak”.

“Orang bijak” sangat ditentukan oleh kemampuan dan kepekaan akal budi, hati nurani, dan akhlakul karimah sehingga mampu meraih kebaikan, kebijaksanaan, dan kontribusinya dalam kehidupan sehari-hari secara kualitatif. Hal ini berbeda dengan orang pintar. Sebab, kepintaran lebih ditentukan dengan seberapa besar kemampuan dan kecerdasan otak sehingga mampu meraih prestasi-prestasi akademik secara kuantitatif. Untuk itu, menurut Gus Men, jika pendidikan Islam itu mampu melahirkan orang “bijak” yang pintar, maka kepintarannya itu merupakan “bonus” tersendiri.

Pernyataan Gus Men terkait orientasi pendidikan Islam ini, hemat penulis, sangat penting untuk dirumuskan bagi seluruh stakeholders Kementerian Agama, tak terkecuali bagi penyelenggara pendidikan Islam. Menghasilkan “orang bijak” sudah semestinya menjadi kata kunci, baik dalam perumusan program dan kegiatan maupun alokasi anggaran yang tersedia agar fokus untuk menghasilkan profiling lulusan pendidikan Islam tersebut. Memprioritaskan anggaran untuk penguatan profiling “orang bijak” penting untuk dilakukan di setiap direktorat dan unit-unit terkait.

Orientasi pendidikan Islam untuk menghasilkan “orang bijak” ini sesungguhnya memiliki linieritas sekurang-kurangnya terhadap dua hal mendasar. Pertama, secara teori, pendidikan Islam memang lebih banyak dimaksudkan untuk membekali pondasi karakter dan akhlak peserta didik agar potensi-potensinya dapat dikembangkan dengan baik. Pemikir pendidikan Islam dunia yang berasal dari Mesir, Muhammad Athiyah Al-Abrasyi, menyatakan bahwa target dan tujuan utama dalam pendidikan Islam adalah terbentuknya akhlak mulia dan mewujudkan keseimbangan dalam urusan duniawi dan ukhrawi serta mewujudkan produktivitas yang bermanfaat, baik dari segi jasmani maupun rohani. (Muhammad Athiyah Al-Abrasyi, 1991).

Hal senada diungkap juga oleh Mantan Menteri Agama RI di era Presiden KH Abdurrahman Wahid, Alm. KH. Tolchah Hasan. Menurut mantan Rektor Universitas Islam Malang ini, pendidikan Islam berorientasi untuk menumbuhkembangkan pendidikan karakter, yakni pendidikan yang menumbuhkembangkan potensi peserta didik secara menyeluruh dan terpadu serta mengharmoniskan antara olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga. Dengan demikian, menurut KH. Tolchah Hasan, pendidikan karakter harus memberikan ruang yang cukup bagi berkembangnya potensi intuisi, emosi, dan kognisi peserta didik secara terpadu. Dengan memahami kedua teori Pendidikan Islam ini, apa yang disampaikan oleh Gus Men terkait orientasi Pendidikan Islam ini cenderung mendapat justifikasi akademis.

Kedua, secara kelembagaan, pendidikan Islam secara historis lahir dari rahim pondok pesantren yang kemudian bermetamorfosis menjadi sejumlah lembaga pendidikan lainnya, seperti madrasah, perguruan tinggi keagamaan Islam, madrasah diniyah takmiliyah, pendidikan Alquran, dan lain-lain. Pondok pesantren dan derivasi lembaga pendidikannya ini secara substanstif sesungguhnya mengarahkan untuk penyiapan lulusan yang memiliki karakter dan akal budi, atau dengan bahasa Gus Men “orang bijak”. Lembaga pendidikan Islam ini membekali kepada peserta didiknya dengan penguatan pemahaman dan pengamalan nilai-nilai ajaran agamanya yang menjadi bagian penting dari kompetensi “orang bijak” ini. “Orang bijak” dipastikan adalah orang yang memiliki faham dan pengamalan beragama yang baik.

Pembentukan kompetensi “orang bijak” dalam perkembangannya saat ini menjadi kebutuhan masyarakat secara global. Masyarakat Industri 4.0 dan maraknya digitalisasi telah menghantarkan perspektif masyarakat yang cenderung hitam putih, asosial, hedonis, dan mudah terpolarisasi telah nyata-nyata betapa pendidikan yang menghasilkan “orang bijak” ini sangat dibutuhkan. Intinya, memperkuat khittah atas penyelenggaraan pendidikan Islam mutlak dilakukan.

Dengan diingatkannya oleh Gus Men terkait orientasi pendidikan Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam dan seluruh stakeholders perlu untuk memperkuat kembali perspektif ini untuk kemudian ditransformasikan dalam bentuk program dan kegiatan, termasuk menciptakan ruang yang cukup atas penyelenggaraan pendidikan Islam di tanah air, tak terkecuali di lingkungan Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah sudah semestinya untuk menyadari betapa signifikannya penguatan pendidikan Islam bagi masyarakat dan warganya yang beragama Islam. Masyarakat muslim yang berada di wilayah Pemerintah Daerahnya yang memiliki kapasitas yang baik di bidang pendidikan Islam tentu itu akan jauh lebih baik dibanding dengan yang minim atau nihil pendidikan Islamnya.

Dalam konteks ini, kita tentu patut bersyukur telah lahir Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter yang ditandatangani tanggal 6 September 2017 dengan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 195. Perpres ini menegaskan bahwa masyarakat Indonesia harus dibekali dengan pendidikan karakter yang baik, yang tentu di antaranya dengan pendidikan Islam. Untuk itu, Perpres ini menegaskan bahwa penguatan pendidikan karakter harus melibatkan sejumlah layanan pendidikan Islam, baik formal, nonformal, maupun informal. Sebab, pendidikan karakter ini tidak akan dapat tercapai hanya semata-mata oleh layanan pendidikan formal an sich. Sebab, pendidikan karakter perlu melibatkan semua pihak, termasuk masyarakat dan orang tua.

Selain itu, Perpres Nomor 87 Tahun 2017 ini mengamanatkan bahwa pendidikan karakter sama sekali tidak identik dengan lima atau enam hari sekolah. Sebab, Pendidikan karakter berlangsung melalui pembiasaan dan sepanjang waktu dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter tidak dibatasi pada ruang dan waktu tertentu. Oleh karenanya, Perpres ini mengamanatkan bahwa penentuan lima atau enam hari sekolah itu bukan ditentukan atau menjadi kebijakan Pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah, tetapi ditentukan oleh satuan pendidikan itu sendiri, dengan mempertimbangkan berbagai hal, di antaranya kecukupan pendidik dan tenaga kependidikan, ketersediaan sarana dan prasarana, kearifan lokal, dan pendapat tokoh masyarakat dan/atau tokoh agama di luar Komite Sekolah/Madrasah.

Pada Perpers Nomor 87 tahun 2017 Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) disebutkan sebagai berikut. Ayat (2): “Ketentuan hari sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan pada masing-masing Satuan Pendidikan bersama-sama dengan Komite Sekolah/ Madrasah dan dilaporkan kepada Pemerintah Daerah atau kantor kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama setempat sesuai dengan kewenangan masing-masing.” Ayat (3): “Dalam menetapkan 5 (lima) hari sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Satuan Pendidikan dan Komite Sekolah/ Madrasah mempertimbangkan: a. kecukupan pendidik dan tenaga kependidikan; b. ketersediaan sarana dan prasarana; c. kearifan lokal; dan d. pendapat tokoh masyarakat dan/atau tokoh agama di luar Komite Sekolah/Madrasah”.

Catatan sederhana ini menegaskan betapa orientasi pendidikan Islam yang diingatkan oleh Gus Men itu perlu untuk dikuatkan kembali, direkonstruksi, dan diimplementasikan secara konkret. Tak terkecuali, pelibatan Pemerintah Daerah untuk memperkuat pendidikan Islam dengan memberi ruang yang cukup bagi warganya mutlak dilakukan dengan tidak menetapkan kebijakan pendidikan yang tidak produktif atas penyelenggaraan pendidikan Islam.

Suwendi (Kepala Subdit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Diktis)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua