Opini

Natal dan Simbolisme

Martin H. Siagian (ASN Ditjen Bimas Kristen)

Martin H. Siagian (ASN Ditjen Bimas Kristen)

Sebelum mengenal bahasa, manusia mengembangkan simbol-simbol sebagai alat pertukaran informasi, baik untuk menandai wilayah kekuasaannya maupun sekedar penunjuk jalan ke sumber makanan. Ketika bahasa berkembang, simbol tidak serta merta ditinggalkan melainkan terus diproduksi. Diferensiasi sosial menjadi salah satu faktor mengapa manusia perlu membuat simbol. Simbol efektif menjelaskan siapa saya tanpa perlu sepatah kata penjelasan dari saya.

Seseorang dengan kalung salib di leher sudah menerangkan agama yang dianutnya. Padanan warna merah dan putih dalam benda yang kita lihat akan terasosiasi dengan simbol bendera sebuah negara. Cara kerja simbol menggambarkan identitas sungguh ajaib dan kita semua menggemarinya. Itu mengapa kita sering terjebak ke dalam simbolisme identitas. Termasuk dalam perilaku beragama kita.

Simbol dimaksudkan untuk mendekatkan kita pada nilai yang dianut. Saat tidak semua orang dapat membayangkan “bagaimana bisa kita memberi orang tidak dikenal secara cuma-cuma?’. Sinterklas mampu melakukannya. Dia memberi hadiah pada anak-anak. Anak-anak terkesan dan menjadikan natal sebagai momen paling dinanti. Terlepas asal cerita Sinterklas berasal dari negara barat, ia sudah teridentifikasi secara mendunia sebagai simbol natal. Sinterklas adalah alasan seorang anak mendambakan natal dan pesan bagi orang dewasa mengapa harus berbagi.

Ketika kecil, saya diberi tahu bahwa Sinterklas akan datang membagi hadiah saat Natal. Dan saya percaya itu. Saya tidak punya bayangan Sinterklas yang tampil di atas mimbar gereja diperankan orang biasa. Butuh waktu lama untuk saya menyadari bahwa ini hanyalah sebuah cerita yang dibuat manusia. Kenyataannya Sinterklas adalah sosok yang bisa diperankan bahkan orang pelit sekalipun.

Sewaktu kanak-kanak saya juga mengira pohon cemara berlampu hias yang disebut pohon natal adalah syarat mutlak merayakan Natal. Saya resah ketika pohon natal rusak dan ibu belum juga pergi membeli penggantinya. Saya merasa kehilangan makna tanpa pohon natal di rumah. Saya menerima pohon natal sebagai identitas Kristiani tanpa saya ketahui pemilihan cemara disebabkan tradisi bukan dogmatika.

Namun, sesuatu simbolik meski bukan inti ajaran kerap membuat kita mudah terbawa suasana. Ada perasaan gusar ketika di beberapa wilayah bahkan negara melarang pemasangan pohon natal lalu menudingnya sebagai sikap intoleran. Padahal tradisi pohon cemara baru dimulai abad 16 di Eropa dan popular pada abad 19. Sementara umat Kristiani sudah merayakan Natal tanpa ada cemara hias selama berabad-abad sebelumnya.

Meski dianggap penting, ada banyak fakta simbol yang tidak berhubungan dengan esensi. Karena sebagian dibuat berdasarkan imajinasi manusia dirangkai menjadi cerita lalu dilanjutkan turun temurun. Sebagai seorang Kristiani penting mengetahui perbedaan antara cerita yang dibuat oleh manusia dengan kenyataan. Adalah bijak menerima kenyataan apa adanya bahkan jika itu bertentangan dengan cerita yang dipercaya kebanyakan orang. Dengan begitu kita tidak begitu terbakar amarah saat simbol yang kita gemari diejek bahkan dihina orang lain.

Saat merayakan hari besar keagamaan, kita berbahagia dan berharap tidak ada yang merusaknya. Kalau perlu orang sekitar merasakan kebahagiaan sama seperti yang kita miliki. Maka saling mengucapkan selamat natal adalah ekspresi yang menggambarkan empati. Tapi waktu berlalu begitu cepat. Terkadang kita merasa baru saja merayakan Natal kemarin saat kita merayakan Natal hari ini. Sehingga memberi ucapan Natal semakin normatif dan kehilangan makna oleh karena intensitas berulang.

Tentu saja kita mengucapkan salam Natal kepada keluarga, saudara, bahkan sahabat kita. Tapi apakah ada kesungguhan dalam ucapan itu? Bagaimana mungkin kita merasa terluka saat saudara umat lain memilih tidak mengucapkan selamat kepada kita pada saat kita sendiri tidak menunjukkan kesungguhan rasa saat mengucapkannya kepada saudara seiman kita?

Pada momen Natal kali ini, kita diingatkan untuk menghindari jebakan simbolisme yang membuat kita lupa terhadap esensi. Natal mengajar kita berbagi kasih, membawa pesan perdamaian, dan membangun persekutuan kudus. Hal ini relevan dengan program pemerintah mewujudkan moderasi dalam kehidupan beragama. Sehingga perlu bagi kita berkontribusi positif membangun semangat moderasi itu.

Tapi moderasi antar umat beragama takkan menyentuh lapisan inti sebelum kita menuntaskan moderasi ke dalam. Bukan moderasi antar umat seiman, tapi moderasi terhadap diri sendiri. Yaitu bersikap toleran terhadap realitas sosial sembari mengendalikan obsesi “ingin dihargai” atas simbol dan tradisi kita.

Atribut hanya pengantar kekhusukan. Tapi kita terlalu banyak atribut yang bukan menambah kekhusukan melainkan kesibukan. Karena sumber utama dari banyak masalah personal dan kolektif kita adalah dalam fantasi yang kita ciptakan, lalu kita tak bisa membedakannya dari kenyataan lalu mencoba memaksakannya ke dalam kenyataan lalu kita menjadi sangat kesal ketika realitas tak bekerja sesuai fantasi favorit kita itu.

Jika pada masa lalu simbol-simbol kita gunakan seperti membangun rumah dari batu dengan pondasi yang sangat dalam, saatnya kini atribut diibaratkan merangkai tenda yang sewaktu-waktu bisa anda lipat dan pindahkan ke lokasi yang baru dengan cepat dan mudah. Sehingga, kita tidak terjebak ke dalam simbolisme Natal lalu terluka ketika orang tidak respect pada simbol kita. Demi kebaikan bersama kita harus membangun self consicousnes bahwa simbol bukan inti ajaran Yesus Kristus. Kita bisa gunakan simbol apapun yang relevan dengan masanya atau tidak perlu sama sekali. Yang terutama dalam Natal ini adalah membangun spiritualitas privat kita terhadap Sang Khalik tanpa menuntut terlalu banyak dengan realitas yang berdinamika. Kita perlu menghormati simbol sebagai kreasi manusia tapi simbol hanyalah simbol ia tidak akan pernah menggantikan jati diri Kekristenan kita.

Selamat Natal untuk kita semua!

Martin H. Siagian (ASN Ditjen Bimas Kristen)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ahmad Zainul Hamdi, Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kemenag RI
Kenangan dan Kemenangan