Opini

Napak Tilas dan Ziarah Spiritual di Kairo dan Alexandria (Catatan Perjalanan 3)

Thobib Al Asyhar di Mesir

Thobib Al Asyhar di Mesir

Selama kunjungan di luar negeri, ada satu hal menarik yang penting untuk dilakukan, yaitu napak tilas dan ziarah spiritual. Di sela-sela menjalankan tugas, kami melakukan napak tilas di Kairo dan Alexandria.

Bagi yang tinggal atau pernah visit ke Mesir, tentu memiliki gambaran tentang kedua kota bersejarah tersebut. Bagi anda yang kali pertama menginjakkan kaki di Mesir, seperti saya, pasti akan melihat sesuatu yang khas di banding negara lain yang pernah dikunjungi.

Mesir memang unik, seunik sejarahnya. Dikenal sebagai "ardlul kinanah" atau tempat lahirnya para ulama dan cerdik cendekia seluruh dunia yang begitu banyak bak anak panah. Mesir bisa juga disebut sebagai negara dan bangsa dengan karakteristik unik dibanding tetangganya. Dari sisi bangunan-bangunan gedung di kota Kairo, misalnya, menunjukkan sebagai negara yang menyimpan kisah masa lalu panjang dan menarik.

Coba kita tengok rupa-rupa bangunan perkantoran, pasar, maupun apartemen, seakan belum terkena sentuhan arsitektorasi modern. Jenis bangunannya kotak, tua, dan maaf, "kumel" dan semrawut. Jumlah debu yang begitu banyak membuat semua keindahan nyaris tidak ada di Mesir.

Hal yang berbeda sekali dengan negara lain, di setiap gedung-gedung di Mesir hanya sedikit yang menyediakan lahan parkir mobil. Praktis mobil-mobil yang begitu banyak "terpaksa" parkir di pinggir-pinggir jalan yang sempit dan sangat mengganggu pesona kota. Belum lagi keruwetan lalu lintas, dengan jumlah kendaraan yang begitu banyak, minimnya lampu lalu lintas dan tingkat ketaatan pengguna yang terbilang rendah.

Terlepas dari suasana kota yang nampak kuno dan riuh dengan suara klakson mobil yang tak henti, kota Kairo sesungguhnya memiliki banyak pesona. Dengan potret kejadulannya justru di situ menyimpan banyak misteri. Kairo bisa disebut sebagai kota tertua dunia, dan pioneer peradaban maju Islam di kawasan Timteng dan Afrika. Di kota ini, terdapat situs-situs bersejarah yang amat berperan dalam peradaban maju di abad-abad silam. Di sana banyak makam-makam para ulama, dan juga jejak-jejak para nabi.

Ziarah Makam Imam Syafii

Siapa yang tidak kenal dengan Imam Syafii? Nama aslinya: Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafii. Seorang imam madzhab Sunni besar dalam sejarah, yang dianut ajaran-ajarannya oleh umat Islam di belahan dunia, khususnya Indonesia hingga kini. Sekedar info, Imam Syafi’i pindah ke Mesir sekitar tahun 200 H. Beliau meninggal di tahun 204 H atau 819 M dan dimakamkan di Fusthat, Kota Lama, pada usia 54 tahun.

Lokasi makam Imam Syafi’i berada di Jalan Al-Qadariyah. Jarak dari Masjid Amr bin 'Ash sekitar 4 km melewati jalan Al-Laitsi. Jarak dari Masjid Al Azhar ke Masjid Asy Syafii sekitar 5-6 KM setelah melewati beberapa jalan yang penuh dengan debu. Di lokasi Makam Imam Syafi'i telah dibangun Masjid dengan nama Masjid Asy-Syafi’i.

Makam dan masjid Imam Syafii berada di sebuah kompleks, dikelingi rumah-rumah susun masyarakat yang sangat padat. Begitu memasuki kawasan masjid dan makam, kami disambut para peminta-minta di depan gerbang. Seperti layaknya makam-makam ulama di beberapa tempat. Rerata para pencari sedekah ini dari kalangan ibu-ibu dan anak-anak, "shadaqah-shadaqah", begitu mereka sering meminta, sambil memberi isyarat tangan ke mulut sebagai tanda untuk makan.

Saat memasuki masjid dan kawasan makam, kami harus melewati dua pintu. Tanpa penjagaan ketat seperti makam ulama besar lain. Hanya seorang penjaga yang sibuk sambil main HP atau dengerin ceramah berbahasa Arab. Saat kami ingin ambil air wudhu di halaman kecil depan masjid, hanya tersedia beberapa kran dengan tempat yang agak kotor tanpa tersedia sendal.

Ya, dilihat dari tata kelola kompleks, memang sangat disayangkan, makam dan masjid seorang ulama besar dunia nampak kurang terawat dan terasa kotor dengan banyak debu di mana-mana. Hal ini berbeda dengan makam Imam Abu Hanifah di kota Baghdad. Apalagi makam Shaikh Abdul Qadir Jailany yang begitu indah, bersih, dan sangat terawat dengan baik.

Selesai Salat Zuhur dan Asar dengan menjamak dan meng-qashar, kami berziarah ke Makam Imam Syafii (Allahu yarham). Berada di samping masjid, makam Sang Imam dipagar kayu ukiran dengan pola kaligrafi secara apik dan dinding-dinding di kanan kiri yang sangat indah.

Sebagaimana biasa, kami memanjatkan doa tahlil dan berharap kebaikan-kabaikan (littafa'ul) kepada Sang Imam, pujaan saya sejak di pesantren dulu. Hanya saja, masih saja para peziarah yang terlalu berlebihan dalam berharap kepada makam ulama dengan menaruh berbagai barang, seperti sorban, sapu tangan, dan juga banyak uang dari berbagai mata uang dunia bertebaran di atas makam.

Di samping makam Imam Syafii, terdapat beberapa makam dengan ukuran agak kecil. Saya kurang mencermati makam siapa saja, tetapi yang pasti makam para ulama atau pengikut Sang Imam yang terkenal sebagai ilmuan tulen bidang fikih dan ushul fikih. Setelah beberapa lama kami berziarah, kami beranjak untuk pindah ke makam lain, yaitu Ibnu Athaillah Al-Iskandary.

Makam Ibnu Athaillah terpisah dengan makam Imam Syafii, meskipun tidak terlalu jauh. Harus ditempuh dengan mobil melewati jalan-jalan berdebu. Tempatnya tersendiri, dengan dijaga sekitar 2 orang kuncen, sekaligus sebagai pemandu para peziarah.

Yang cukup menganggu bagi peziarah adalah para peminta-minta baik ibu-ibu maupun anak-anak yang sangat agresif dalam jumlah yang banyak. Bahkan hingga peziarah masuk mobil sekalipun kaca pintu digedor-gedor. Tentu kondisi tersebut sangat mengganggu kenyamanan untuk mendoakan dan "ngalap" kebaikan-kebaikan dari ulama, shahibul Hikam tersebut.

Napak Tilas Alexandria

Alexandria atau Iskandariyah dalam versi Arab-nya merupakan tempat wisata sejarah yang sangat menarik. Selain memiliki catatan masa lalu yang panjang dan penuh warna, juga menyimpan pesona alam yang mengesankan.

Pertama kali kami menuju pantai Alexandria yang sangat indah, dengan bangunan-bangunan kuno yang eksotik. Tiupan angin yang kencang menambah sejuknya suasana sore di musim dingin yang mencapai 10 derajat. Rasa "nyes" merasuk hingga ke tulang-tulang. Apalagi kami tidak memakai penutup kepala dan telinga hingga menambah hawa yang semakin cool.

Selesai menikmati pantai dengan dinginnya hembusan angin, kami berswafoto di belakang gedung Perpustakaan Alexandria yang sangat legendaris. Berdasarkan referensi Wikipedia, Perpustakaan Besar Alexandria di Kota Aleksandria, Mesir merupakan salah satu perpustakaan terbesar dan terpenting pada zaman kuno. Perpustakaan ini merupakan bagian dari sebuah lembaga penelitian yang lebih besar, Mouseion, yang dipersembahkan untuk para Musai (sembilan dewi yang melambangkan seni).

Gagasan mengenai sebuah perpustakaan untuk segala bidang di Alexandria konon diusulkan oleh Demetrios dari Faleron (seorang negarawan asal Athena yang menjalani pengasingannya di Alexandria) kepada Raja Ptolemaios I Soter pada zaman Helenistik.

Salah satu alasan Alexandria dianggap sebagai pusat keilmuan dan pembelajaran adalah keberadaan perpustakaan ini. Banyak cendekiawan terkenal yang bekerja di perpustakaan ini pada abad ketiga dan kedua SM, seperti Zenodotos dari Efesos yang berupaya membakukan naskah puisi-puisi Homeros, Kalimakos yang menulis Pinakes (kadang dianggap sebagai katalog perpustakaan pertama di dunia), Apolonios dari Rodos yang menyusun puisi wiracarita Argonautika, dan lain-lain.

Kemudian kami bergeser dari gedung perpustakaan menuju sebuah situs bersejarah, yaitu kompleks masjid Abu al-Abbas al-Mursi. Melihat arsitektur bangunan masjid begitu indah, denga patern khas abad kejayaan Islam yang begitu mempesona. Sambil menandai bekas-bekas sujud, kami melaksanakan sholat dzuhur dan ashar dengan jamak-qashar.

Seperti di tempat bersejarah lainnya di Mesir, masjid kecil ini kurang begitu terawat. Tempat wudhu yang agak kotor. Saat memasuki masjid begitu terasa sebagai masjid kuno dengan ornamen Timur Tengah, ada pilar-pilar banyak di dalam masjid. Berdekatan dengan pintu keluar terdapat makam ulama.

Masjid Abu Abbas al-Mursi ini terletak di kawasan Anfoushi, Alexandria. Ia merupakan salah satu bangunan bersejarah yang menjadi kebanggaan penduduk setempat. Lokasi masjid ini pada mulanya adalah kawasan makam seorang sufi asal Andalusia, Abu al-Abbas al-Mursi (wafat 1286). Dari nama sosok tersebut masjid ini mendapatkan namanya. Kini, makam tokoh tersebut berada pada sisi alun-alun masjid ini yang mengarah pada timur pelabuhan.

Secara keseluruhan, Masjid Abu Abbas al-Mursi berwarna krem. Tinggi bangunan utama sekitar 23 meter. Adapun menara yang terletak di bagian selatan masjid ini didesain dengan gaya Ayoubids, yakni corak yang khas pada zaman kepemimpinan Shalahudin al-Ayyubi

Tinggi menara ini konon mencapai 73 meter. Karena, lokasinya dekat dengan pelabuhan, pengunjung dapat menikmati keindahan panorama laut dari menara tersebut. Masjid ini memiliki lima kubah, dengan empat di antaranya terletak mengitari satu kubah utama. Ada corak mozaik yang indah di setiap kubahnya. Bentuk kubah-kubah itu agak slindris.

Di bawah masjid ada makam beberapa tokoh ulama yang ditunggu oleh kuncen dan juga ada penjual buku-buku atau kitab di area makam. Saat itu kami sempat belanja kitab, diantaranya: Mafatihul Faraj terbitan Al-Fajr Al-Jadid, dan Diwan al-Imam Ali bin Abi Thalib, dan beberapa kitab lain seperti Dalail Al-Khairaat.

Inilah catatan kecil napak tilas dan perjalanan spiritual kami selama di Alexandria. Karena waktunya sempit, kami tidak bisa mencermati data secara detail dan mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Alexandria karena harus kembali ke Cairo untuk melanjutkan tugas lain. Wallahu a'lam.


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat