Opini

Menyembelih Ego di Masa PPKM Darurat

Thobib Al-Asyhar

Thobib Al-Asyhar

Iduladha 1442H dilaksanakan sangat istimewa. Beda dengan tahun sebelumnya (1441H) yang sudah memasuki masa new normal. Meski sama-sama masih di masa pandemi Covid-19, Iduladha tahun ini dilalui di masa PPKM Darurat. Masa yang amat krusial bagi masyarakat. Bukan hanya Indonesia, tentu saja, di banyak negara pun memberlakukan hal sama dengan istilah berbeda.

Kebijakan PPKM Darurat memang pilihan sulit, seperti buah simalakama. Menjaga kesehatan masyarakat dengan risiko perekonomian masyarakat makin terpuruk atau membiarkan dengan jumlah kematian terus bertambah. Dua pilihan yang sama-sama pahit. Pada saat yang sama, sementara kalangan mulai abai terhadap prokes, bahkan mendeklair melalui medsos tidak percaya terhadap Covid-19.

Ya, pemberlakuan PPKM Darurat diambil lebih karena pertimbangan keselamatan jiwa. Jumlah korban yang terus bertambah, bahkan kematian harian telah memecahkan rekor dunia. Menghindari kerusakan besar jelas lebih diutamakan dari segalanya. Karena kehidupan adalah anugerah terbesar dari Tuhan untuk mengotimalkan peran sebagai khalifah di bumi.

Kebijakan PPKM Darurat ada legitimasi dari sisi agama. Dasar yang digunakan adalah kaidah fikih: "Irtikab akhaffi al-dlarurain" (mengambil salah satu pilihan yang lebih ringan efeknya). Meski dalam banyak segi PPKM telah meruntuhkan dinamika kehidupan publik, baik ekonomi, pendidikan, keagamaan, dan lain-lain, namun keselamatan jiwa masyarakat (hifdz al-nafs) jauh lebih substansial.

Hanya saja, kebijakan ini tidak serta merta mendapat respon positif dari publik. Apalagi sebagian agawaman justru mempersoalkan peniadaan peribadatan di rumah ibadah selama PPKM dan sebelumnya pembatalan haji. Dalil yang mereka klaim selalu "jangan takut sama Corona, takutlah hanya sama Tuhan". Terma klasik yang sesungguhnya lemah dari sisi argumentasi keilmuan jika dihubungkan dengan wabah yang sangat massif.

Di sinilah problem masyarakat kita yang dikenal religius. Sebagian ahli menyebut, Indonesia adalah bangsa yang "over dosis" agama. Semua hal dilihat dari kaca mata agama secara sempit. Pada saat yang sama, kebijakan Arab Saudi yang menjadi kiblat umat Islam dunia, justru tidak dipersoalkan. Ada semacam "gap" idealitas ideologis dengan fakta-fakta sebagai warga bangsa. Saat mereka mempromosikan agar tidak takut Corona dan hanya takut kepada Tuhan, pada saat yang sama mereka "menuhankan" pendapatnya.

Lalu apa relevansinya antara PPKM Darurat dengan spirit Iduladha, khususnya ibadah kurban? Jika dikaji lebih jauh, ibadah kurban yang diajarkan Nabi Ibrahim sangat kontekstual dengan situasi kita saat ini. Ibadah kurban (mendekatkan diri) kepada Allah melalui penyembelihan hewan-hewan tertentu, sangat erat kaitannya dengan dimensi sosial.

Tentu, pemahaman kita tidak berhenti sebatas penyembelihan hewan kurban sebagai "ritual ceremony" belaka. Kemudian hewan yang disembelih akan menjadi "tunggangan" menuju sorga dan seterusnya. Sejatinya ada pesan terdalam dari praktik berkurban, yaitu agar manusia mampu mengendalikan egonya yang disimbulkan oleh binatang. Ego yang selalu ingin "menguasai" kehidupan manusia harus "disembelih". Jangan biarkan ego kita menguasai diri sehingga mengendalikan kehidupan kita.

Betapa banyak orang terjerumus nista karena menuruti egonya. Secara psikologis, ego adalah kekuatan dalam diri manusia yang cenderung menyukai pada kesenangan jasmani dan menuruti kehendak jahat (dosa). Dalam istilah psikologi sufi disebut "nafs al-ammarah" (jiwa tirani).

Lalu ego-ego seperti apa yang perlu "disembelih" di masa PPKM Darurat seperti saat ini?

Pertama, menyembelih ego untuk tidak menyebarkan berita-berita hoaks tentang Covid-19 yang membuat banyak orang resah. Apapun profesi kita, tidak seharusnya memproduksi, menyebarkan, dan memprovokasi berita-berita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, baik secara keilmuan maupun etika bermasyarakat.

Jika anda tidak percaya Covid-19 dan tidak mau mengenakan masker, jangan membuat provokasi di ruang publik. Keyakinan anda yang diviralkan itu adalah "binatang" yang perlu disembelih. Menyembelihnya tidak cukup sekali, tapi berkali-kali agar masyarakat tidak termakan oleh perilaku sembrono.

Demikian juga jika ada berita yang bertentangan dengan pendapat mainstream, coba resapi, dalami, dan renungkan, apakah informasi itu sudah benar? Lakukan proses filtering informasi agar tidak kontraproduktif bagi lingkungan. Jika memang benar, bermanfaatkah jika untuk disebarkan ke ruang publik? Bukankah tidak semua informasi benar selalu tepat untuk disebarkan, karena terkait dengan konteks, ruang lingkup, momentum, dan lain sebagainya.

Kedua, jika kita merasa sebagai orang yang mengerti agama, katakanlah tokoh agama, janganlah mudah menuduh orang lain, pihak lain atau pemerintah salah, dan menganggap pendapatnya paling benar terkait dalam penyikapan terhadap Covid-19. Ego merasa "paling" adalah berhala atau binatang dalam diri kita yang harus disembelih.

Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari dalam karyanya, kitab at-Tibyan, mengisahkan. Suatu waktu Imam Syafi’i berziarah ke makam Abu Hanifah. Tak seperti peziarah pada umumnya, Imam Syafi’i rela menginap di area makam hingga beberapa hari. Selama tinggal di area makam tersebut, Imam Syafi’i tak henti-hentinya membaca Al-Qur’an.

Setiap kali khatam, ia selalu menghadiahkan pahala membaca Al-Qur’an itu kepada Imam Abu Hanifah. Nah, yang tidak biasa adalah tata cara salat Imam Syafi’i seperti yang ia lalukan sehari-hari. Imam Syafi'i tak membaca qunut setiap Salat Subuh selama mukim di qubbah makam Abu Hanifah. Padahal dalam Mazhab Syafi’i, qunut hukumnya Sunnah Ab’adl (kalau lupa/tertinggal disunatkan Sujud Sahwi).

Apa alasan beliau tidak melakukan qunut? Jawabnya ringan karena Imam Abu Hanifah menolak kesunahan membaca qunut dalam Salat Subuh. "Saya tidak membaca qunut sebagai bentuk penghormatan terhadap beliau (Abu Hanifah)". Di sinilah keluhuran budi seorang ulama salaf dalam menyikapi perbedaan.

Ketiga, menyembelih ego dari keinginan keluar rumah, khususnya tidak mudik lebaran Iduladha seperti disarankan oleh pemerintah. Sementara waktu,, bekerja dan beribadah di rumah. Peniadaan kegiatan ibadah di rumah ibadah atau tempat-tempat yang dijadikan rumah ibadah semata-mata untuk menghindari kerumunan yang dapat menimbulkan masyaqat, yaitu penyebaran virus secara cepat.

Tidak ada maksud apapun dari pemerintah untuk melarang umat beribadah, apalagi agar umat Islam tidak merayakan Iduladha. Menarik kesimpulan secara serampangan seperti itu adalah cara-cara beragama yang tidak matang dan kental dengan ego kelompok atau golongan yang patut dibuang jauh-jauh. Yakinlah, beribadah di rumah untuk sementara waktu tidak akan mengurangi bobot kita dalam beragama.

Keempat, menyembelih keinginan hidup berlebih dengan membangun empati kepada masyarakat yang membutuhkan. Saat wabah melanda seperti ini tentu banyak pihak yang membutuhkan pertolongan medis, oksigen, darah, obat-obatan, layanan vaksinasi, dan lain-lain. Saatnya kita bergerak bersama untuk berkolaborasi kepedulian untuk keselamatan bersama.

Saat ada pihak yang menyarankan agar berkurban tahun ini dialihkan dengan beramal sosial (sedekah) untuk membantu masyarakat korban Covid-19, jangan pula cepat menuduh dengan keji sebagai upaya menjauhkan umat dari ajaran-ajaran Islam karena berpikir liberal. Inilah lagi-lagi "binatang" dalam diri yang segera disembelih.

Mari bangun kepedulian publik untuk membangun negeri dan bangkit dari wabah ini seperti spirit Idul Kurban yang diajarkan oleh nabi Ibrahim dan kesabaran Ismail. Ego-ego kebinatangan yang selalu muncul dalam setiap sudut hati dan pikiran kita perlu segera "disembelih" untuk mengikuti titah Nabi Ibrahim As. Wallahu a'lam.

Thobib Al-Asyhar (Dosen Psikologi Islam, Program Studi Kajian Timteng dan Islam, SKSG, Universitas Indonesia).


Editor: Moh Khoeron

Opini Lainnya Lihat Semua

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat