Opini

Menjaga Eksistensi, Mempertajam Esensi Pancasila

Martin H Siagian

Martin H Siagian

“Aku tidak mengatakan bahwa aku pencipta Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami, tradisi-tradisi kami sendiri, dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah”, Bung Karno.

***

Satu juni 2021 Pancasila genap 76 tahun. Seperti pepatah lama, setiap pertambahan tahun turut menambah jarak informasi terhadap sumbernya. Artinya pengalaman historis, pemahaman filosofis dan situasi kebatinan ikut menjauh dari peristiwa sesungguhnya.

Benar saja, setiap tahun kelahiran Pancasila dinikmati sebagai hari libur semata, nyaris tanpa khidmat. Sedikit saja diantara kita berupaya memahami persis peristiwa sebelum Pancasila dilahirkan, serta perdebatan yang melatarbelakanginya. Secara teknis pemahaman Pancasila mengalami kedangkalan. Jika dibiarkan, Pancasila lambat laun akan mengalami distorsi informasi. Kemudian dimanfaatkan sekelompok orang untuk menafsir ulang Pancasila dengan tujuan mengganti Ideologi Negara.

Kita banyak mendengar gelaran percakapan tentang Pancasila, namun sebatas formalitas tanpa menyentuh makna. Di tingkat basis, Pancasila tersimpilifikasi berupa meme “Saya Pancasila”, atau “saya hapal lima sila”. Semata menghasilkan premis Jika Saya ucapkan itu maka Saya Pancasila dan tidak radikal. Sehingga mendikotomikan satu anak bangsa dengan yang lain. Padahal dalam ilmu hukum ucapan atau pengakuan merupakan alat bukti paling lemah.

Sebagai penanda sikap Nasionalisme, adalah baik bagi kita menghapal sila beserta butir-butirnya, tetapi menghapal saja tidak cukup. Pancasila menjadi bermakna ketika diamalkan. Pancasila adalah cerminan diri kita. Potret dari relasi sosial budaya yang selama ini ada namun belum terbahasakan. Jika disebut sebagai ilmu, Pancasila merupakan ilmu terapan. Jika disebut sebagai seni, Pancasila adalah pertunjukkan terhebat yang pernah tergagas dalam sejarah bangsa.

Tantangan Ideologi

Sebagai sistem keyakinan, Ideologi sangat efektif mengikat individu dalam jumlah besar meski di antara mereka tak saling mengenal. Ideologi membangkitkan empati, rasa persaudaraan antar sesama penganutnya. Seorang Pemuda Aceh akan merasa sakit yang sama ketika ada pemuda Papua mengalami perlakuan tidak menyenangkan oleh bangsa lain meskipun dirinya tidak pernah ke Papua. Sebaliknya, remaja di pulau rote mengalami rasa bangga yang sama ketika mendengar remaja Miangas menjuarai olimpiade membawa nama bangsa.

Keterikatan rasa seperti itu membentuk identitas kita sebagai suatu bangsa. Ikatan Ideologi semakin diperlukan untuk bangsa dengan tingkat kemajemukan tinggi. Terlebih Indonesia yang dirahmati banyak perbedaan. Terbukti, Pancasila berhasil mengikat manusia Indonesia yang terserak di 17.000 lebih pulau, dengan 1.300an suku dan 700 lebih ragam bahasa.

Pada tataran global, Eksistensi Pancasila menghadapi tantangan yang juga dialami dua ideologi besar dunia, Liberalisme dan Komunisme. Daniel Bell mengungkap istilah 'matinya ideologi' ketika menggambarkan inkonsistensi Kapitalisme dan Komunisme dalam menghadapi persoalan-persoalan konkret di dalam negeri masing-masing. Amerika Serikat sebagai pengusung pasar bebas -dalil pokok kapitalisme- mengakhiri dirinya sendiri ketika Pemerintah AS melakukan pengambil-alihan aset sejumlah perusahaan swasta melalui kebijakan bantuan likuiditas. Hal ini bertentangan dengan prinsip kapitalisme yang mengharamkan peran negara dalam perekonomian.

Komunisme sudah lebih dulu runtuh ketika Gorbachev menelurkan politik Glasnost dan Perestroika untuk meningkatkan laju perekonomian Uni Soviet yang melambat. China sebagai adik kandung ideologi komunisme Soviet pun tak bertahan lama, tatkala hak kepemilikian tanah dan investasi asing diperbolehkan demi mendongkrak investasi China.

Sejumlah peristiwa di atas membuktikan tiada satu negara pun yang menjalankan ideologinya secara murni dan konsekuen. Ideologi pada akhirnya harus berkompromi dengan keadaan. Bell menyimpulkan pertumbuhan industri, organisasi sosial-ekonomi suatu negara ditentukan oleh kemampuan manajerial pemerintahnya, bukan karena ideologi politik apa pun.

Bagaimana dengan tetangga dekat kita, Singapura? Singapura merupakan salah satu negara maju dunia tanpa mencantumkan ideologi dalam konstitusinya. UU Kemerdekaan Republik Singapura 1965 menegaskan prinsip supremasi hukum dan demokrasi sebagai kekuatan tertinggi. Namun begitu, mereka tumbuh menjadi negara maju. Singapura menjadi pusat investasi dan perdagangan dunia di kawasan Asia. Berkat kepastian hukum, Singapura dijuluki Negeri Jasa. Apakah rakyat Singapura homogen? sebaliknya, Singapura sangat plural. Sebanyak 42 persen populasi penduduknya warga negara asing, namun mereka turut berkontribusi memajukan Singapura.

Tidak hanya tantangan keluar, ketahanan Ideologi Pancasila mengalami sejumlah tantangan ke dalam. Survey LSI Denny JA tahun 2018 merilis penurunan persentasi publik pro Pancasila sebanyak 10 persen dalam kurun waktu 13 tahun. Yakni 85,2% tahun 2005 menjadi 75,3% di tahun 2018. Penurunan ini ditemukan pada segmen masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan penghasilan kurang dari Rp1-2 juta.

Walaupun angka 75,3% tergolong mayoritas, trend penurunan ini perlu mendapat perhatian khusus. Kesenjangan ekonomi akan selalu menjadi pemicu yang menjauhkan publik dari Pancasila. Oleh karenanya, Negara perlu hadir mempersempit kesenjangan, meredistribusi keadilan sosial, serta membangun peradaban bangsa yang berkualitas.

Bagaimana dengan segmen generasi muda sebagai pemegang tongkat estafet Pancasila? Merekalah penentu apakah Pancasila bertahan sebagai ideologi atau malah berakhir. Survey Komunitas Pancasila Muda tahun 2020 melalui media sosial mengurai 19,5% responden berusia 18-25 tahun merasa tidak yakin dengan relevansi Pancasila dengan kehidupan sehari-hari mereka. Pancasila dipandang sudah tinggal nama di atas kertas, tidak ada makna tersisa selain kenangan masa lalu. Fakta ini menyiratkan bahwa generasi muda memiliki perspektif kritis sendiri tentang ideologi. Mereka memanfaatkan arus informasi, mengolahnya lalu menarik kesimpulannya sendiri.

Era Globalisasi dan digitalisasi informasi adalah konsekuensi logis dari perkembangan teknologi. Tak heran teknologi sangat dekat dengan generasi muda. Pada era ini, relasi sosial tidak melulu diikat secara emosional, tapi juga rasional. Cara hidup pragmatis, konsumerisme, hedonisme, sudah menjadi kehidupan sehari-hari yang memukul hampir seluruh tatanan norma bangsa. Oleh karena itu, Pancasila harus beradaptasi cepat dan bermitra dengan perubahan. Pancasila perlu dihayati secara rileks dan diimplementasikan seturut dengan kontekstualitas zamannya. Kalau anak muda bisa belajar gaya hidup kebarat-baratan melalui media sosial elektronik, maka mereka juga bisa belajar Pancasila dari sana. Ini hanya urusan teknis, mengatasinya tentu memerlukan solusi teknis.

Ketahanan Ideologi adalah pekerjaan rumah tiada akhir. Tak perlu gusar dengan trend penurunan cinta Pancasila. Anggap saja hasil survey tersebut sebagai fenomena yang terpetakan lebih awal. Agar kita dapat mencari formula baru mendekatkan Pancasila terhadap generasi muda. Saatnya menggelar dialog lintas generasi. Esensi Pancasila perlu dielaborasi lebih dalam, di antaranya dengan memperkuat solidaritas relasi ke dalam kelompok masing-masing, sembari mengatasi sentimen primordial dengan membangun relasi antar kelompok, sebagaimana nilai yang terkandung dalam Pancasila. Jika dilakukan, kita bukan hanya berhasil menjaga eksistensi Pancasila, namun mencegah Pancasila dipandang sebagai pelengkap sejarah belaka.

Martin H. Siagian (ASN Ditjen Bimas Kristen Kemenag RI)


Editor: Moh Khoeron

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ahmad Zainul Hamdi, Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kemenag RI
Kenangan dan Kemenangan