Opini

Menelusuri Akar Genealogi Universitas Islam Negeri

M. Fuad Nasar (Pemerhati sejarah Kementerian Agama dan Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)

M. Fuad Nasar (Pemerhati sejarah Kementerian Agama dan Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)

Universitas Islam Negeri (UIN) dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) sebagai satuan pendidikan penyelenggara pendidikan tinggi keagamaan Islam negeri secara genealogis memiliki riwayat transformasi yang istimewa di negara kita. Prof. A. Hasjmy dalam bukunya Mengapa Umat Islam Mempertahankan Pendidikan Agama Dalam Sistem Pendidikan Nasional menceritakan fakta sejarah sebagai berikut:

“Sebagai penghargaan atas jasa-jasa kota gudeg selaku pusat pemerintahan RI dalam masa perjuangan fisik menentang penjajahan Belanda, ditetapkan Yogyakarta sebagai kota Universitas. Pada waktu itu di Yogyakarta ada dua Universitas Swasta, yaitu Universitas Islam Indonesia dan Universitas Gadjah Mada. Kepada Universitas Gadjah Mada pemerintah menawarkan untuk dinegerikan. Pengasuh Universitas Gadjah Mada menerima baik tawaran tersebut yang kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 1950. Sedangkan tawaran yang sama kepada Universitas Islam Indonesia (UII) dapat diterima dengan syarat harus di bawah Departemen Agama. Akibatnya hanya satu Fakultas saja yang dapat dinegerikan yaitu Fakultas Agama.” tulis tokoh yang pernah menjabat Gubernur Daerah Istimewa Aceh tahun 1959 – 1964 dan Rektor Pertama IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh itu.

Sejak semula disepakati kelembagaan dan pembinaan perguruan tinggi keagamaan Islam negeri berada di bawah Kementerian Agama. Mandat pendidikan pada Kementerian Agama bukan sekedar keputusan politik untuk memenuhi aspirasi umat. Justru dari segi teknis-substantif ruang lingkup tugas Kementerian Agama sejak awal adalah mengurus hal ihwal urusan yang bersangkut-paut dengan agama dan keagamaan.

Menteri Agama Pertama H.M. Rasjidi dalam Konperensi Jawatan Agama seluruh Jawa dan Madura di Surakarta tanggal 17 –18 Maret 1946 menegaskan bahwa Kementerian Agama didirikan untuk memenuhi kewajiban pemerintah terhadap Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29. H.M. Rasjidi menjelaskan, ”....jadi, lapangan pekerjaan Kementerian Agama ialah mengurus segala hal yang bersangkut-paut dengan agama dalam arti seluas-luasnya.”

Ruang lingkup tugas Kementerian Agama seperti tersebut di atas tidak untuk ditafsirkan bahwa negara melalui instrumen kekuasaannya akan terlalu jauh mencampuri keyakinan agama dalam masyarakat. Tapi sebaliknya negara juga tidak boleh lepas tangan menyangkut persoalan agama sebagai aspek yang paling mendasar dalam kehidupan umat manusia.

Dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di negara kita, pemerintah mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri disingkat PTAIN berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1950. PTAIN diresmikan oleh Menteri Agama K.H.A. Wahid Hasjim, satu bulan setelah Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Ketua PTAIN pertama Prof. K.H.R. Moh. Adnan dan berikutnya Prof. Dr. Mukhtar Yahya. Dalam sejarahnya Prof K.H. Abdul Kahar Mudzakkir dan Prof. K.H. Anwar Musaddad turut mengawal proses lahirnya PTAIN di Yogyakarta.

Pada pembukaan dan penyerahan PTAIN tanggal 26 September 1951, Menteri Agama K.H.A. Wahid Hasjim mengemukakan dalam pidatonya, “Pengetahuan tidak boleh dikungkung oleh perasaan keagamaan yang sempit, tetapi juga pengetahuan harus bebas dari pertimbangan-pertimbangan politik. Di dalam riwayat kita dapati, bahwa angkatan pertama daripada umat Islam dahulu kala, tidak menundukkan pengetahuan pada politik, tetapi sebaliknya menundukkan politik kepada ilmu. Politik mendorong orang untuk bertujuan mencari kemenangan, sedang ilmu bertujuan mencari kebenaran.”

PTAIN Yogyakarta kemudian digabung dengan sekolah kedinasan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) Jakarta menjadi satu Institut Agama Islam Negeri Al-Jam’iah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah Yogyakarta atau disingkat IAIN. Peresmian IAIN dilakukan oleh Menteri Agama K.H. Wahib Wahab di Gedung Kepatihan Yogyakarta tanggal 24 Agustus 1960.

Para tokoh pejuang pendidikan Islam peletak dasar akademik dan kelembagaan perguruan tinggi Islam dalam hal ini IAIN Yogyakarta dan cabangnya IAIN Jakarta, di antaranya; Prof. T.M. Hasbi Ash Ashiddieqy (Dekan Fakultas Syariah IAIN di Yogyakarta), Prof. Dr. Mukhtar Yahya (Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN di Yogyakarta), Prof. Dr. Bustami A. Gani (Dekan Fakultas Adab IAIN di Jakarta), dan Prof. Dr. Mahmud Yunus (Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN di Jakarta).

Dalam periode Menteri Agama Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (1962 - 1967), Institut Agama Islam Negeri Al-Jami’ah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah dikembangkan menjadi 9 Institut Agama Islam Negeri. Menteri Agama memberi nama IAIN dengan nama tokoh-tokoh pahlawan terkenal di daerahnya masing-masing, yaitu: IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, IAIN Sunan Ampel Surabaya, IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, IAIN Alauddin Ujung Pandang (Makassar), IAIN Pangeran Antasari Banjarmasin, IAIN Imam Bonjol Padang, IAIN Raden Fatah Palembang, dan IAIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi.

K.H. Saifuddin Zuhri yang mengibarkan misi agama sebagai unsur mutlak nation building di masa itu menegaskan posisi IAIN sebagai pusat pengajaran dan pendidikan tingkat tinggi bagi pemuda-pemuda Islam. IAIN tempat persemaian kader-kader muslim masa kini dan masa depan serta jalan pintas untuk mengejar ketinggalan umat Islam di bidang pendidikan tinggi. Menurutnya, IAIN menduduki fungsi strategis bukan saja di bidang pendidikan, tetapi juga di bidang ukhuwah islamiyah.

Dalam kaitan itu Menteri Agama K.H. Saifuddin Zuhri menginginkan agar ulama dari kalangan NU, Muhammadiyah, PSII, Perti dan lain-lain, duduk satu deretan menjadi dosen IAIN serta memiliki sense of belonging (merasa ikut memiliki). Saya ingin menggarisbawahi di sini bahwa spirit ukhuwah islamiyah, inklusi dan kolaborasi keumatan adalah kekuatan yang menjiwai Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri sejak pembentukannya.

K.H. Saifuddin Zuhri lebih jauh membuat apa yang diistilahkannya “tanggul-tanggul” agar IAIN tidak menjadi saingan pondok pesantren. IAIN juga tidak boleh mematikan perguruan tinggi Islam swasta milik masyarakat. “Aku tidak menghendaki matinya inisiatif masyarakat, aku tidak ingin negara RI ini menjadi negara totaliter, segalanya diatur pemerintah seperti negara-negara komunis.” ungkapnya dalam autobiografi Berangkat Dari Pesantren.

Menteri Agama Prof. Dr. H.A. Mukti Ali, menjabat mulai 1971 setelah periode Menteri Agama K.H.M. Dachlan, menegaskan tugas IAIN sama dengan perguruan tinggi lainnya dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi ialah pengajaran dan pendidikan, penelitian (riset) dan pengabdian kepada masyarakat. Mukti Ali mendorong pengembangan riset sosial dan riset agama di lingkungan IAIN, serta penguatan “mental ilmu” di kalangan civitas akademica. Mukti Ali memelopori pengiriman tugas belajar dosen-dosen IAIN ke negara-negara Barat.

Dalam acara Dies Natalis Ke-5 IAIN Sunan Gunung Djati Bandung tahun 1973, Mukti Ali mengatakan, “IAIN mempunyai kedudukan yang penting karena ia merupakan pusat pengembangan Ilmu Pengetahuan Agama khususnya Agama Islam, dan Ilmu Masyarakat. Dari IAIN-lah diharapkan akan berkembang Ilmu Pengetahuan Agama Islam, juga Ilmu Pengetahuan Agama-agama lain, juga Ilmu Pengetahuan yang berhubungan dengan masyarakat, seperti Ilmu Hukum, Pendidikan, Bahasa, Sosiologi, Antropologi dan sebagainya. Persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat atau mungkin akan timbul yang berhubungan dengan Agama Islam, juga agama-agama yang hidup di Indonesia ini, dalam hubungannya dengan masyarakat, harus dapat dijawab oleh IAIN. Itulah tujuan IAIN dan kesanalah IAIN harus kita bawa.” tandas Guru Besar Ilmu Perbandingan Agama itu.

Menteri Agama H.A. Mukti Ali (1971 – 1978) dan Munawir Sjadzali (1983 – 1993) selain dikenal sebagai tokoh pembaharuan pemikiran Islam, luar biasa perjuangannya mendorong kesetaraan IAIN dengan Perguruan Tinggi Negeri lainnya. Juga kesetaraan sarjana lulusan IAIN dengan sarjana lulusan universitas umum. Menteri Agama sesudah Mukti Ali dan sebelum Munawir Sjadzali yakni Letjen TNI Alamsjah Ratu Perwiranegara juga memberi perhatian besar terhadap pengembangan IAIN di masanya. Bangunan akademik IAIN dari masa ke masa adalah tetap pengembangan agama Islam untuk menghasilkan sarjana yang ulama dan ulama yang sarjana. Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 1985 menetapkan status, perlakuan, dan fasilitas kepada 14 IAIN di seluruh Indonesia sama dengan Perguruan Tinggi Umum Negeri di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Peningkatan kualitas IAIN pada periode Menteri Agama Dr. H. Tarmizi Taher (1993 – 1998) dan Prof. Dr. M. Quraish Shihab (Maret – Mei 1998) semakin memperkuat eksistensi pendidikan tinggi Islam dalam menjawab tantangan zaman. Tarmizi Taher menyatakan bila IAIN mampu menjadikan dirinya sebagai pusat keunggulan kajian-kajian Islam, maka IAIN tidak hanya merupakan perguruan tinggi yang academically prestigious (bergengsi secara akademis), tetapi juga socially prestigious (bergengsi secara sosial). Jika IAIN bergensi secara akedemis dan sosial, maka para alumninya tidak lagi merasa “rendah diri” berhadapan dengan sarjana-sarjana lain di luar IAIN.

Menteri Agama Kabinet Reformasi Pembangunan Prof. Drs. H.A. Malik Fadjar (1998 – 1999) membuat terobosan kebijakan dengan mengukuhkan “fakultas cabang” IAIN menjadi STAIN. Malik Fadjar yang sukses memimpin dan mengembangkan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) sebagai Rektor dan selanjutnya menjabat Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam (kini Ditjen Pendidikan Islam) mengukuhkan fakultas-fakultas cabang IAIN menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN). Setelah beberapa tahun, STAIN menjadi IAIN dan Universitas Islam Negeri (UIN).

Salah satu legasi kepemimpinan Malik Fadjar di Kementerian Agama (dahulu Departemen Agama), sebagaimana diungkapkan Prof. Dr. Husni Rahim (mantan Dirjen Binbaga Islam) dalam buku Negararawan, Pendidik, dan Agamawan Lintas Generasi, 81 Tahun Abdul Malik Fadjar, ialah kebijakan mengubah Anggaran Pendidikan Departemen Agama dari anggaran sektor agama ke anggaran sektor pendidikan.

Menteri Agama Malik Fadjar berhasil menaikkan anggaran sektor pendidikan. Hingga 1998 anggaran pendidikan untuk Departemen Agama diambilkan dari anggaran sektor agama. Anggaran sektor agama dalam porsi anggaran pemerintah di masa itu menduduki peringkat tiga terakhir, artinya jumlah dananya sangat kecil. Pernah ramai dibicarakan di media bahwa anggaran 13 IAIN sama dengan 1 (satu) IKIP Negeri. Dengan luas dan akrabnya hubungan Malik Fadjar dengan kementerian terkait dan DPR, akhirnya disetujui anggaran pendidikan di Departemen Agama diambilkan dari sektor pendidikan. Mengingat pendidikan di lingkungan Departemen Agama adalah bagian dari pendidikan nasional, maka disetujui porsi anggaran pendidikan di Departemen Agama sebesar 20 persen dari anggaran sektor pendidikan. Semenjak itu anggaran Departemen Agama melonjak tinggi menempati urutan ketiga dan kadang keempat dalam anggaran kementerian/lembaga.

Semasa menjabat Menteri Pendidikan Nasional, Malik Fadjar ikut mengawal perubahan IAIN menjadi UIN. Transformasi IAIN menjadi UIN dipelopori UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2002 di masa Rektor Prof. Dr. Azyumardi Azra, CBE, lalu menyusul UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2004 di masa Rektor Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah.

Dalam tiga dekade belakangan kiprah Kementerian Agama di era Menteri Agama K.H. Muhammad Tholhah Hasan, Prof. Dr. Said Aqil Husin Al Munawar, Muhammad Maftuh Basyuni, Suryadharma Ali, Lukman Hakim Saifuddin, Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, dan Yaqut Cholil Qoumas terus menghadirkan terobosan kebijakan dan grand design pengembangan perguruan tinggi keagamaan. Perguruan tinggi keagamaan negeri yang dikelola oleh Kementerian Agama saat ini meliputi perguruan tinggi keagamaan pada semua agama.

Selama puluhan tahun mandat pendidikan agama dan keagamaan yang dilaksanakan Kementerian Agama tidak lepas dari dukungan dan kepercayaan masyarakat. Sebagai satuan pendidikan yang membawa misi agama, Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri berperan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan menyiapkan sumber daya manusia unggul. Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri memiliki andil mengubah kualitas sumber daya manusia yang diharapkan mampu mengimbangi perkembangan rasio-pikiran dengan agama yang menumbuhkan akhlak dengan nilai-nilai moral.

Para sarjana, magister dan doktor lulusan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri tidak cukup hanya memahami Islam sebagai “agama”, tetapi sekalian sebagai ilmu dan sistem nilai dalam kehidupan. Integrasi sains dan agama akan bisa terwujud melalui pengembangan pendidikan tinggi Islam yang merefleksikan tujuan hidup manusia mengabdi kepada Allah dan sebagai khalifatullah di bumi.

Perguruan tinggi menghimpun tiga komponen yaitu: kampus, mahasiswa dan dosen. Sebagai salah satu pilar pendidikan tinggi di Indonesia, Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri, tidak berbeda dari perguruan tinggi lainnya, mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Dewasa ini, Transformasi Digital, salah satu program prioritas di era Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, bukan hanya untuk pelayanan publik, tapi lebih jauh mewarnai tata kelola perguruan tinggi keagamaan di lingkungan Kementerian Agama, baik tata kelola akademik maupun tata kelola nonakademik.

Sementara harus diakui pula layanan perguruan tinggi, pendidikan dosen, kinerja penelitian, penulisan serta publikasi ilmiah dan akreditasi pada sebagian UIN, IAIN dan STAIN masih rendah dan mengharuskan dilakukannya langkah peningkatan yang akseleratif dan komprehensif. Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri harus meraih keunggulan dan menjadi kampus yang diperhitungkan dalam keberhasilan menyelenggarakan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

Perguruan tinggi memiliki privilege kebebasan mimbar akademik yang patut dihormati. Pelaksanaan kebebasan mimbar akademik wajib menjunjung tinggi norma-norma etik dan akademik. Kebebasan mimbar akademik selayaknya dipandang sebagai bagian dari aktualisasi motto Kampus Merdeka dan Merdeka Belajar pada saat ini. Seiring dengan itu Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri diharapkan menghadirkan lingkungan kampus yang egaliter, demokratis dan kondusif untuk perkembangan ilmu dan budaya akademik.

Pembangunan pendidikan dalam tataran empiris memerlukan cara berpikir yang out of the box, namun tidak menjadikan pendidikan sekedar melayani kebutuhan pasar. Kekeliruan membangun gedung bisa diperbaiki atau dirobohkan, tetapi kekeliruan mengelola pendidikan berdampak lintas generasi.

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan landasan paradigma berpikir yang harus selalu menuntun pemerintah dan para praktisi dalam mengelola penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan secara nasional haruslah berorientasi pada lima prinsip dalam Pancasila. Pendidikan sesuai cita-cita perjuangan bangsa hadir untuk melayani kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Pendidikan adalah hak setiap warga negara tanpa memandang kaya atau miskin. Beruntunglah suatu negara yang menjadikan pendidikan sebagai investasi terbesarnya.

Karena itu pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar wajib memenuhi mandatori anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Subdisi biaya pendidikan dalam APBN hakikatnya ialah subsidi dari rakyat dan untuk rakyat karena sebagian besar APBN berasal dari penerimaan pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) serta Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Dengan demikian, mahasiswa dan lulusan perguruan tinggi berhutang budi kepada rakyat. Mahasiswa dan sarjana yang dihasilkan dari perguruan tinggi sepatutnya berkontribusi untuk rakyat dan mendedikasikan ilmunya untuk kepentingan nusa, bangsa, negara dan agama.

Di tengah keterbatasan APBN dan ekonomi global yang penuh ketidakpastian, semangat gotong-royong sebagai nilai-nilai keindonesiaan perlu senantiasa digelorakan untuk mendukung dunia pendidikan. Di antara skema pendanaan pendidikan yang bisa ditempuh ialah kolaborasi dengan wakaf (endowment fund) sebagai bentuk pendanaan pendidikan yang bersumber dari masyarakat. Salah satu skema berupa pengelolaan dana abadi pendidikan di perguruan tinggi melalui instrumen Cash Waqf Link Sukuk (CWLS).

Sekolah dan pendidikan tinggi sebagai jembatan untuk mencari kerja merupakan common sense yang sulit dipungkiri di tengah masyarakat. Akan tetapi hal itu tidak boleh memadamkan idealisme pendidikan.

Publik tersentak dengan munculnya berbagai kasus dan persoalan yang melibatkan tenaga pendidik dan mahasiswa, seperti tindak pidana korupsi di perguruan tinggi, tindakan kekerasan dan pelecehan di kampus, dan ekstremitas dalam beragama. Hal itu menunjukkan adanya sindrom kegagalan memaknai hakikat pendidikan. Pada akhirnya pembinaan watak sebagai tugas utama pendidikan – meminjam ungkapan tokoh begawan pendidikan Prof. Dr. R. Slamet Iman Santoso – perlu diamplifikasi kembali agar semua pihak tersadarkan. Wallahu a’lam bisshawab.

M. Fuad Nasar (Pemerhati sejarah Kementerian Agama dan Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ahmad Zainul Hamdi, Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kemenag RI
Kenangan dan Kemenangan