Hindu

Mencapai Kebahagiaan Rohani

JM Gede Nyoman Suartanaya (Rohaniwan Hindu)

JM Gede Nyoman Suartanaya (Rohaniwan Hindu)

Om awighnam astu namo siddham. Om swastyastu. Om guru brahma, guru wisnu, guru dewa maheswara, guru saksat param brahma, tasmai sri gurave namah. Om loka samanta sukhinah bhavantu

Mimbar Hindu ini kali akan mencoba mengupas tema “Moksartam Jagadhita Ya Ca Iti Dharma”. Yaitu, mencapai kebahagiaan rohani. Maksudnya, menyatunya jiwa individual dengan jiwa universal, yaitu: paramaatman, brahman yang agung sang maha pencipta, dan mencapai kebahagiaan jasmani atau duniawi dengan jalan dharma.

Pertanyaannya, apakah mungkin jiwa manusia atau atma bisa menyatu dengan brahman atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa? Apa keistimewaan jiwa manusia dalam ajaran agama Hindu, sehingga Tuhan memberikan tempat yang begitu agung dan mulia, bukan di sisinya, di sampingnya, atau di tempat lain yang penuh dengan kenikmatan duniawi?

Ada suatu percakapan yang menarik baik untuk kita simak. Yakni percakapan seorang ayah yang juga seorang Brahmana dengan anaknya yang bernama Swetaketu. Walaupun seorang Brahmana, dia memberikan suatu kebebasan kepada anaknya untuk belajar pengetahuan rohani kepada orang lain. Tujuanya, agar anaknya ini mempunyai wawasan luas.

Setelah menamatkan diri dari sebuah pasraman, anaknya mempunyai suatu opini sangat tinggi terhadap dirinya. Dia merasa bahwa dirinya sudah sangat terpelajar, sehingga sering merasa lebih tinggi dari orang lain. Sang Brahmana lalu bertanya pada anaknya Svetaketu, “Anakku, apakah kamu sudah meminta pengetahuan kepada gurumu, yang mana dia tidak terpikirkan, dia yang tidak diketahui?”

Svetaketu menjawab, “Pengetahuan apa itu ayah, jelaskanlah kepadaku.” Ayahnya lalu melanjutkan kata-katanya, “Seperti mengenal segumpal tanah liat, semua tanah liat diketahui, seperti mengenal serpihan emas, semua emas diketahui, seperti mengenal sekeping baja, semua baja diketahui.” Svetaketu sangat tertarik dengan apa yang dikatakan ayahnya dan meminta ayahnya untuk melanjutkan lebih jauh.

Ayahnya lalu berkata, “Ambilah sebiji buah pohon beringin yang tumbuh di depan halaman rumah kita dan bawalah ke sini anakku.” Svetaketu menurut perintah ayahnya. Setelah mendapatkan sebiji buah beringin yang sudah matang, dia pun kembali menemui ayahnya. Ayahnya lanjut berkata, “Pecahkanlah biji buah beringin tersebut anakku dan katakan apa yang engkau lihat.” Svataketu pun memecahkan buah beringin tersebut dan berkata, “Setelah biji buah beringin ini aku pecahkan, aku melihat serbuk-serbuk yang sangat halus keluar dari biji buah beringin ini ayah.”

Ayahnya lanjut berkata, “Bagus sekali anakku. Sekarang ambilah satu biji yang halus tersebut dan pecahkan kembali anakku, dan katakan apa yang kamu lihat.” Svetaketu pun mengambil satu biji serbuk halus dari biji buah beringin tersebut dan dipecahkanya dengan mempertemukan ibu jari dan telunjuknya. Setelah itu, dia sudah tidak melihat apa-apa dari serbuk halus tersebut dan berkata pada ayahnya, “Ayah, aku sadah tidak melihat apa-apa lagi ayah.”

Ayahnya lalu melanjutkan berkata, “Anakku, Svetaketu perhatikanlah pohon beringin yang besar itu, sesungguhnya dari saripati yang halus itulah pohon beringin itu ada. Dan sari pati yang halus itulah yang kamu tidak pahami, dan itu yang harus kamu pahami dan yakini anakku Svetaketu.”

Dari esensi yang halus itu pulalah semesta ini ada. Itulah yang sebenarnya, itulah yang sesungguhnya. Seperti halnya sesendok garam yang dituangkan dalam segelas air, seluruh air yang ada dalam gelas tersebut diresapi oleh rasa garam. Demikian esensi makna jiwa ada dalam setiap jiwa yang hidup.

Dari percakapan sang Brahmana dan anaknya ini, bisa kita petik sebagai pelajaran hakikat kebenaran jiwa manusia, esensinya adalah sama. Ibarat setetes air laut, dia tetaplah air laut. Tetapi setetes air laut itu bukanlah lautan.

Percikan cahaya Tuhan/Brahman ada dalam setiap tubuh manusia, tumbuhan, maupun hewan. Hanya, kemampuan fisiknya saja yang berbeda. Tumbuhan diberi bekal eka pramana, hewan diberi bekal dwi pramana, dan manusia tri pramana. Esensi yang ada di dalamnya adalah sama. Ini inti ajaran Tat Twam Asi bahwa ‘aku adalah engkau, engkau adalah aku’. Memandang dengan pandangan yang sama pada seluruh kehidupan adalah pengejawantahan ajaran Tat Twam Asi, inti ajaran kebenaran dharma.

Lalu mengapa kebanyakan dari kita lupa akan esensi kita yang sejati? Manusia individual adalah komplek dari lima unsur yang disebut panca maya kosa. Yaitu, anna maya kosa, prana maya kosa, manah maya kosa, vijnana maya kosa, dan ananta maya kosa. Materi dan hidup anna dan prana diorganisasikan dalam badan fisik (stula sarira), manah dan vijnana (suksma sarira), dan ananta maya kosa diorganisasikan sebagai badan penyebab (karana sarira).

Anna maya kosa tercipta dari lima unsur materi kasar alam semesta yang disebut dengan panca maha buta. Yaitu apah (air) melahirkan unsur halus dalam diri manusia berupa indria pengecap/rasa. Pintu kenikmatanya ada di lidah. Oleh karenanya, melalui lidahlah orang bisa mengecap rasa manis pahit asam, dan lain sebagainya.

Bayu (udara) unsur materi alam semesta ini juga, melahirkan unsur halus di dalam diri manusia, yaitu indria sentuhan. Pintu kenikmatanya ada di kulit. Oleh karenanya melalui kulitlah manusia bisa merasakan rangsangan melalui sentuhan dan rabaan.

Teja (api), materi alam semesta ini melahirkan unsur halus di dalam diri manusia, yaitu indria cahaya. Pintu kenikmatanya ada di mata. Oleh karenanya melalui matalah manusia bisa melihat pemandangan wujud dan rupa.

Pertiwi (tanah), unsur materi alam semesta ini juga melahirkan unsur halus dalam diri manusia, yaitu indria penciuman. Pintu kenikmatanya ada di hidung. Oleh karenanya, melalui hidunglah manusia dapat mencium bau harum, busuk, dan lain sebagainya.

Sedangkan unsur kelima dari alam semesta ini adalah akasa/ether (ruang dan waktu). Oleh karenanya, manusia bisa mendengar, merasakan kenyang, lapar, bernapas, dan mengeluarkan napas. Kelima pintu kenikmatan dari kelima lima indria ini condong keinginannya terhadap yang ada di luar diri atau bersifat keinginan dunia. Inilah yang menyebabkan dirinya lupa terhadap hakikat dirinya yang sejati.

Pikiran harus dikelola dengan baik dan budhilah sebagai pengendalinya. Bukan sebaliknya, pikiran yang mengendalikan budhi. Ketika budhi tampil sebagai pengendali, maka akal budhinya akan melahirkan wiweka yang matang, mampu membedakan yang baik dan yang buruk, yang patut dan yang tidak patut. Orang yang mampu mengelola indria-indria dalam dirinya secara seimbang, dalam suka dan duka, disebut “stitha prajna” cerdas dan bijaksana.

Tubuh ibarat kereta, stitha prajna adalah kusir kereta yang baik dan terlatih mengendalikan tukang kereta (pikiran) mengerahkan indrianya yang bagai kuda yang jinak dan terlatih, mudah diarahkan dan dikendalikan. “Stitha Prajna” adalah orang yang selalu seimbang, tenang dalam suka maupun duka, tidak berlebihan dalam bahagia, tidak terlarut sedih dalam duka. Ibarat air danau, dia hanya beriak sebentar ketika ada perahu lewat, setelah itu tenang kembali.

Mengelola dengan baik dua api yang ada dalam diri manusia adalah juga dasar untuk mencapai moksartam jagadhita ya ca iti dharma. Api yang pertama adalah jatharaagni, yaitu api pencernaan. Kegunanaannya adalah mengolah dan menyaring makanan, mengirim dan menyerap sarinya ke dalam tubuh dan membuang ampasnya keluar. Bila api pencernaan ini berfungsi dengan baik, maka akan melahirkan tubuh yang baik. Tubuh yang sehat adalah salah satu syarat untuk tercapainya kebahagiaan jasmani. Jagadhita tidak mungkin terwujud kalau tubuh kita sakit- sakitan.

Api yang kedua adalah api pengetahuan “jnanaagni”. Kegunaanya adalah menyuling atau memfilter kecenderungan-kecenderungan atau naluri dasar kita menjadi keutamaan yang mempunyai nilai-nilai moral atau etika yang lebih tinggi. Sifat-sifat dharma lahir dari api pengetahuan ini. Sifat-sifat buruk manusia akan terkikis perlahan. Jiwa manusia akan kembali memancarkan cahaya kesucianya. Pikiran manusia akan menjadi teguh dibentengi oleh sifat- sifat mulia kebenaran dharma yang sudah tumbuh menjadi pagar pelindung dari sifat-sifat yang tidak baik.

Dalam Kakawin Dharma Sunya disebutkan: “Maka dengen ta angen angen. Maka ngapui ya tikang njana. Maka samidha tang tamah Maka tutup pageh ning twas.” (Pikiran itu sebagai pelayan. Pengetahuan kesadaran sebagai api suci. Sifat tamah itu sebagai kayu bakar, lenyap terbakar melahirkan pikiran yang teguh berpagar kebenaran).

Dharma raksatih dharma raksitah Satyam eva jayate. Siapa pun yang berpegang teguh pada nilai-nilai kebenaran dharma, maka dharma akan hadir untuk melindunginya. Kebenaran akan selalu menang.

Semoga tubuh kita mampu berperan menjadi perahu, sebagai alat bagi jiwa kita menyeberangi lautan kehidupan ini, mengantarkannya sampai pada tujuan yang sebenarnya karena eling akan hakekatnya yang sejati, eling akan tujuan dari kelahirannya. Dengan demikian, akan eling dengan jalan pulang kepada Sang Hyang Sangkan Paraning Dumadi. Sebab, Dia lah asal muasal jiwa kita, dan kepada-Nya lah jiwa kita kembali. Lebur menjadi satu laksana air sungai yang mengalir menuju samudra setelah menyatu hilang nama dan sifat karena telah menjadi bagian dari samudra itu sendiri.

Semoga Mimbar Hindu ini bermanfaat untuk kita semua, khususnya umat Hindu. Om Santih, Santih, Santih Om

JM Gede Nyoman Suartanaya (Rohaniwan Hindu)


Fotografer: Istimewa

Hindu Lainnya Lihat Semua

I Gusti Agung Istri Purwati, S.Sos, M.Fil.H (Penyuluh Agama Hindu Kankemenag Badung, Bali)
Mengatasi Stres

Mimbar Agama Lainnya Lihat Semua