Opini

Memaknai Tiga Mantra LHS

Thobib Al Asyhar. (foto: rusdi)

Thobib Al Asyhar. (foto: rusdi)

Di hadapan lebih 300 peserta Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kementerian Agama tahun 2019 di Shangri-La Hotel, Jakarta, Rabu (23/01), Menag Lukman Hakim Saifuddin (LHS) tampil berbeda dibandingkan sebelumnya. Hemat penulis, setidaknya ada dua hal perbedaan yang paling menonjol yang bisa dimaknai.

Pertama, dari sisi penampilan, LHS mengenakan setelan kemeja putih dengan jas resmi warna hitam tanpa peci. Berbeda dengan penampilan pada setiap Rakernas tahun-tahun sebelumnya yang selalu mengenakan kemeja batik plus peci hitam khasnya. Hal ini bisa menyiratkan pesan tidak langsung bahwa Rakernas Kemenag 2019 adalah penampilan terakhirnya membuka acara Rakernas sebagai Menteri Agama.

Tampilan LHS tersebut seakan ingin menegaskan bahwa jabatan tinggi seorang menteri yang disimbolkan dengan kemeja putih dan jas, pada akhirnya akan selesai juga setelah melampui berbagai capaian prestasi selama ini. Tentu ini bisa dipahami mengingat tahun 2019 adalah tahun pamungkas masa bhaktinya selama 5 tahun bergabung dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK.

Kedua, pada Rakernas kali ini LHS tampil power full di hadapan peserta yang terdiri dari pejabat tinggi eselon I dan II pusat, para rektor Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN), Kepala Balai Litbang dan Diklat, serta pejabat eselon III pusat dengan pesan yang komprehensif, tegas, dan jelas.

Di awal sambutannya, LHS meminta maaf karena harus menyampaikan pidato agak panjang. Ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya karena ada intruksi khusus yang harus disimak dan diperhatikan secara seksama oleh seluruh peserta. LHS meminta pesan-pesannya diteruskan kepada jajaran di bawahnya yang berjumlah 4.590 Satker dan seluruh ASN Kementerian Agama yang mencapai 225.730 ribu orang. Selanjutnya disebarluaskan kepada publik, terutama kepada para pemangku kepentingan (stake holders).

Penyebarluasan tersebut tidak sekedar disalin atau dicetak ulang apa adanya (copy-paste) lalu dijadikan lampiran dalam surat edaran. Pesan-pesan itu harus dinarasikan secara terus-menerus melalui teks-teks baru yang kontekstual agar setiap poin pentingnya dapat dibumikan dalam sanubari publik melalui kegiatan yang produktif dan komunikasi yang efektif.

Ini menandakan bahwa LHS benar-benar ingin menunjukkan keseriusannya terkait pentingnya penekanan pokok dari tugas dan fungsi Kementerian Agama secara umum. Sebagai sebuah lembaga pemerintah yang keberadaannya terlahir dari sebuah proses panjang sejarah bangsa, Kementerian Agama harus benar-benar mampu menempatkan diri sebagai institusi penengah (moderasi) di tengah keragaman dan tekanan arus disrupsi akibat industri 4.0 yang mempengaruhi terhadap semua aspek kehidupan umat, khususnya kehidupan beragama dan keagamaan.

Tiga Mantra LHS
Dalam pidato panjang, sekitar 45 menit, LHS menyampaikan tiga kata kunci utama yang disebutnya sebagai "mantra". Pemilihan istilah "mantra" bukan tanpa alasan atau gaya-gayaan, tetapi memiliki unsur psikologis untuk membongkar kesadaran kolektif, betapa pentingnya memperjuangkan gagasan besar ini. Ketiga "mantra" LHS itu adalah: moderasi beragama, kebersamaan umat, dan integrasi data.

Pertama, mantra moderasi beragama. LHS terkenal sebagai salah satu tokoh negeri ini yang konsisten memperjuangkan moderatisme beragama. Baginya, moderasi beragama yang di-mantra-kan, dimaksudkan agar bangsa ini terus belajar hidup moderat, yaitu tidak ekstrem tekstualis, juga tidak terlalu mendewakan akal semata.

Ada penekanan LHS dalam menyampaikan konsep moderasi beragama bahwa di negeri yang amat luas dengan masyarakat yang sangat beragam ini diperlukan saluran-saluran yang memadai untuk meningkatkan keterpengaruhan mantra ini yang dimulai dari pikiran, sikap, dan tindakan.

Tujuan dari pelafalan "Moderasi Beragama" ini diantaranya adalah agar dijadikan framing dalam mengelola kehidupan beragama pada masyarakat Indonesia yang plural dan multikultural. Terlebih, di tengah perkembangan teknologi informasi dalam menghadapi masyarakat milenial dan umat digital.

Kedua, mantra kebersamaan umat. Mantra ini sangat erat kaitannya dengan mantra moderasi sebagai jembatan terwujudnya kebersamaan dan hidup rukun antar elemen bangsa. Dua istilah itu sesungguhnya diksi dan narasi lama yang sudah dikumandangkan dan diserukan oleh berbagai kalangan dan zaman, meski dalam konteks yang berbeda-beda.

Ketiga, mantra integrasi data. Mantra yang ketiga ini memiliki spirit akan keinginan Kementerian Agama dalam memberikan pelayanan terbaik bagi umat beragama. Namun hal itu tidak akan terwujud di era digital ini tanpa melakukan transformasi manajemen data dan informasi yang baik. Pelayanan umat bidang agama dan keagamaan tidak bisa lagi mengandalkan data yang basi, lambat, dan parsial, melainkan harus memutakhirkan (up to date), cepat, dan terintegrasi.

Makna Mantra LHS
Penggunaan istilah "mantra" dalam pesan-pesan penting LHS tentu bukan tanpa alasan. Jika dilacak artinya, "mantra" berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu "man" yang berarti pikiran dan "tra" yang berarti pembebasan. Secara harfiah "mantra" berarti kegiatan membebaskan pikiran. Sedangkan secara istilah berarti bunyi, kata, frasa atau kalimat yang digumamkan, dibisikkan, dan diucapkan secara diulang-ulang, dan diyakini mempunyai kekuatan spirit untuk beragam tujuan.

Dalam konteks ini, "mantra" Menag LHS pada forum sebesar Rakernas yang diikuti oleh seluruh pimpinan Satuan Kerja dimaksudkan agar benar-benar dapat dijadikan ruh dan kata kunci yang harus menjiwai seluruh program pelayanan agama dan keagamaan Kementerian Agama tahun 2019.

Hal ini dilakukan LHS sebagai sebuah penekanan di tengah kegelisahannya terhadap fenomena masyarakat digital yang sangat reaktif. Sebagian kalangan mudah men-judge, menvonis negatif, menyalahkan orang lain, mudah menyebarkan info-info hoax, mengkategorikan sebagai kelompok ahli bid'ah, kafir, dan sebutan buruk lainnya.

Jika dilihat dari dekat, kehidupan masyarakat digital begitu banyak ujaran kebencian, ungkapan-ungkapan tidak pantas kepada sesama hanya karena perbedaan preferensi politik, cara pandang metode (manhaj), latar belakang profesi, dan lain-lain. Sehingga, nampak sekali di masyarakat terdapat friksi-friksi sektarianisme yang berpotensi dapat mengancam terhadap empat pilar kebangsaan, Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Berdasarkan fenomena itu, LHS mencoba membangun diksi dan narasi dalam keragaman untuk menyeimbangkan dua arus ekstrem kanan dan kiri tanpa harus membuat tafsir kebenaran tunggal. Harus diakui, pada masyarakat digital ini terjadi polarisasi paham keagamaan yang lebih kentara. Ada yang terlalu tekstual karena minimnya literasi dan cara penemuan ilmu bukan dari sumber aslinya, disertai fanatisme berlebihan sehingga mengarah pada eksklusivisme, ekstremisme, bahkan terorisme. Ada juga yang kebablasan menafsirkan isi kitab suci sampai tidak bisa membedakan antara ayat Tuhan dan yang bukan.

Karena itu, LHS menekankan bahwa mantra Moderasi Beragama dan Kebersamaan Umat harus menjiwai seluruh elemen Kemenag yang tidak perlu diperdebatkan lagi sebagai sebuah kebutuhan pokok dalam kehidupan yang plural. Para pejabat dan seluruh ASN Kementerian Agama diharuskan menjadi juru kampanye Moderasi Beragama melalui berbagai program sesuai Satker masing-masing. Meskipun ada sebagian ASN yang masih menerima konsep itu karena khawatir terkikis keyakinan agamanya, meski tidak memerlukan kompromi untuk mengorbankan keyakinan atas prinsip ajaran pokok agama demi memelihara toleransi dengan umat agama lain.

Terkait dengan mantra integrasi data, itu merupakan media (wasilah) dari sebuah konsekuensi dari upaya peningkatan pelayanan umat beragama. Kemajuan teknologi informasi, komputasi, otomasi, dan robotisasi menjadi sebuah keharusan sekaligus momentum berbenah diri untuk memberikan pelayanan umat yang lebih cepat, akurat, dan memuaskan.

Merupakan hal yang absurd akan dapat memberikan layanan publik yang optimal di era digital tanpa upaya penyediaan data yang akurat, terintegrasi, dan updated. Intinya, kunci sukses program pelayanan kehidupan umat beragama Kemenag akan sangat dipengaruhi oleh sedetil apa penguasaan terhadap data, dan seefisien apa kita mengelolanya terkait data kebutuhan umat, tenaga pendidik, peserta didik, lembaga pendidikan, rumah ibadah, zakat, wakaf, dan lain-lain.

Dengan tiga "mantra" tersebut, LHS nampak sekali ingin meninggalkan legacy sebagai Menteri Agama agar pelaksanaan misi utama Kementerian Agama dapat berjalan dengan baik, tepat sasaran, dan bermanfaat sesuai dengan tujuan luhur dari "founding father" kita. Wallahu a'lam.

Thobib Al-Asyhar
(Kabag OKH Ditjen Bimas Islam)

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua