Buddha

Memahami Hukum Perubahan

Buddha Wacana

Buddha Wacana

Jīranti ve rājarathā sucittā atho sarīnaṁ pi jaraṁ upeti. Sataṁ ca dhammo na jaraṁ upeti, santo have sabbhi pavedayanti. Kereta kerajaan yang indah sekalipun pasti akan lapuk, begitu pula tubuh kita akan menjadi tua. Namun ajaran (Dhamma) orang-orang suci tidak akan lapuk. Sesungguhnya dengan cara inilah orang suci mengajarkan kebaikan. (Dhammapada, Syair 151)

Ketidakkekalan (anicca) merupakan salah satu dari tiga corak umum dan fenomena mutlak yang senantiasa terjadi dan sedang terjadi disela-sela hidup dan kehidupan setiap orang. Saat ini juga, ketika sedang beraktivitas, waktu terus berputar yang berarti sedang terjadi proses ke kelapukan dan ketidakkekalan.

Perubahan akibat ketidakkekalan ini menimpa semua hal yang berkondisi di lingkungan sekitar. Benda-benda yang dimiliki dan disayangi, kendaraan, rumah tinggal, perabotan atau peralatan, bahkan kondisi sosial, semua berubah setiap saat. Kondisi nyaman seketika dapat berubah menjadi kondisi yang tidak mengenakkan, begitu pula sebaliknya. Kondisi yang tidak mengenakkan dapat berubah menjadi kondisi nyaman dan menyenangkan. Silih berganti terjadi, semua berproses menuju ke kelapukan dan kehancuran.

Menjadi tua, sakit, dan mengalami kematian juga merupakan fenomena kehidupan yang tidak dapat ditolak oleh siapapun. Tidak peduli mereka orang kaya, berkuasa, cantik rupawan, maupun orang jelek, miskin dan hina. Semua akan mengalami proses itu secara umum.

Guru Agung Buddha menempatkan duka (dukkha) itu sebagai kebenaran yang pertama. Dukkha tidak hanya dimaksudkan sebagai penderitaan dalam pengertian secara umum tersebut, namun juga meliputi semua kondisi krisis yang disebabkan akibat ketidakkekalan dan keadaan-keadaan yang berkondisi yang akan berproses menuju kelapukan (anicca).

Berawal dari kecemasan terhadap kondisi itulah yang mendorong Pangeran Sidharta meninggalkan seluruh kerajaan dan kemasyhuran sebagai putra mahkota untuk mencari “obat” guna menghentikannya, hingga menjadi Buddha. Atas dasar cinta kasih dan kasih sayang untuk menghentikan dukkha itulah yang akhirnya mendorong Buddha mengajarkan Dhamma ajaran-Nya kepada semua makhluk.

Kini dapat dimengerti dan dipahami bahwa segala kondisi adalah tidak kekal. Pemahaman yang baik atas Dhamma ini membuat seseorang senantiasa siap jika mengalami perubahan yang tidak mengenakkan atau sebaliknya. Setiap orang menjadi termotivasi untuk dapat mengantisipasi terjadinya perubahan akibat pergantian musim, suhu, iklim, struktur sosial, regulasi, maupun hal-hal yang bersifat kahar yang mungkin terjadi. Mereka lalu ikut aktif dalam upaya mengantisipasi kemungkinan terjadinya gelombang ke-3 pandemi Covid-19 di akhir tahun dengan mengurangi dan menahan diri untuk tidak bepergian dan merayakan libur akhir tahun. Kita tetap patuh melaksanakan protokol kesehatan agar terhindar dari wabah yang mungkin akan menyerang kembali. Inilah pentingya Dhamma tentang hukum perubahan.

Pemahaman ini tidak boleh diputarbalikkan dengan pengertian pada kepasrahan diri. Dengan mengetahui bahwa segala sesuatu tidak kekal, lantas dengan sengaja membiarkan bahkan menjerumuskan diri menuju bahaya. Hal ini adalah tindakan yang bertentangan dengan Dhamma kebenaran. Hal itu bukanlah kebaikan yang diinginkan oleh diri sendiri maupun orang lain.

Sebagai akhir pemahaman atas hukum perubahan ini, sangat baik merenungkan kata-kata bijak dari Bhante Tejanando yang menyatakan “Ketika seseorang sedang terpuruk dan menderita serta orang lain tidak mau tahu, sesungguhnya membuat orang itu sedang belajar tentang ketegaran. Semua tekanan mental sesungguhnya adalah proses penempaan diri menuju mental yang kuat dan dewasa sebagai modal untuk berjuang meraih kesuksesan yang lebih berkualitas dan bermartabat”.

Semoga semua makhluk hidup berbahagia.


Fotografer: Istimewa

Buddha Lainnya Lihat Semua

Ilustrasi
Kasih Sayang Ibu
Buddha Wacana
Keyakinan Benar

Mimbar Agama Lainnya Lihat Semua

Khutbah Jumat
Keagungan Ramadan