Nasional

LHS, Mahasiswa Buddha dan Makna Toleransi

Menteri Agama periode 2014-2019 Lukman Hakim Saifuddin mejadi nara sumber
di Mahanitiloka Dhamma Tingkat Nasional 2022

Menteri Agama periode 2014-2019 Lukman Hakim Saifuddin mejadi nara sumber di Mahanitiloka Dhamma Tingkat Nasional 2022

Jakarta (Kemenag) --- Menteri Agama periode 2014-2019 Lukman Hakim Saifuddin mengajak mahasiswa Buddha untuk senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi terhadap keragaman dan perbedaan yang ada hampir di semua aspek dan bidang kehidupan.

Ajakan memaknai nilai-nilai toleransi ini disampaikan Lukman Hakim Saifuddin dalam pertemuan secara dalam jaringan (daring) dengan ratusan mahasiswa Buddha di Mahanitiloka Dhamma Tingkat Nasional 2022 yang digelar Direktorat Jenderal Bimas Buddha Kementerian Agama.

Ajang pertemuan yang diikuti 240 mahasiswa dari tujuh Perguruan Tinggi Keagamaan Buddha (PTKB) Negeri dan Swasta di Indonesia ini digelar selama lima hari, mulai 30 Mei sampai 3 Juni 2022. Mahanitiloka Dhamma merupakan ajang perlombaan bagi mahasiswa Buddha untuk menunjukkan kemampuan, kreatifitas, dan inovasi di bidang akademis.

"Saya ingin menyegarkan ingatan kita bersama khususnya memori kolektif dari para mahasiswa Buddhis tentang siapa kita. Saya ingin kita berangkat dari kita sendiri sebagai mahasiswa. Jadi pandangan saya dan tentu pandangan banyak orang, mahasiswa itu hakikatnya pewaris sah Indonesia," kata LHS yang baru-baru ini dianugerahi gelar doktor kehormatan, Dr. (H.C.) dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

"Dari sekian banyak penduduk Indonesia, mahasiswa adalah sekelompok yang terdidik dan memiliki basis ilmu pengetahuan karena telah menjalani proses pendidikan secara formal," sambung LHS, Kamis (2/6/2022).

Karenanya, LHS pun ingin mengajak mahasiswa untuk mengenali hakikat Indonesia sebagai rumah sendiri. Sebagai pewaris Indonesia, mahasiwa harus menemukenali apa yang menjadi ciri Indonesia, yakni kemajemukan dan keberagaman di hampir semua aspek kehidupan termasuk agama.

"Ini mesti kita syukuri dengan menjaga dan merawatnya. Indonesia juga dikenal dunia sebagai bangsa yang sangat agamis dan tidak ada satu pun yang tidak terkait dengan nilai-nilai agama. Jadi heterogenitas dan religiusitas sangat kuat di Indonesia," kata LHS.

Pertanyaan yang muncul, lanjut LHS, adalah apa toleransi itu yang sesunguhnya. Toleransi tentu memiliki pengertian yang beragam. Namun semuanya bermuara pada satu hal yang sama yaitu bahwa sesuguhnya kemauan dan kemampuan pada diri untuk menghargai dan menghormati perbedaan yang ada pada pihak lain.

"Kita mau dan mampu itu menjadi kata kunci toleransi. Sebab orang yang mau belum tentu dia mampu begitu juga sebaliknya. Dalam kontek hidup berbangsa dan bernegara perbedaan itu adalah keniscayaan. Keberagaman dan perbedaan itu harus kita akui ada. Problem mendasar orang yang tidak mau atau belum bisa toleransi terhadap orang lain karena dia tidak sadar bahwa ada sesuatu yang tidak sama. Ketika dia melihat adanya perbedaan dia merasa takut dengan pebedaan itu," tandas LHS.

"Orang harus menyadari bahawa keberagaman itu ada. Kita jangan punya kehendak untuk menyeragamkan semua yang ada dihadapan kita sebab itu adalah sesuatu yang mustahil. Perbedaan adalah kehendak dan takdir," lanjut LHS.

Kepada mahasiwa Buddha, LHS menyatakan toleransi harus menjadi sesuatu yang diupayakan dan diikhtiarkan. Mahasiwa mesti mampu dan mau menghargai perbedaan melalui pendidikan dan itu harus ditanamkan bahwa keberagaman itu adalah sesatu yang tidak perlu dihindari.

"Justru perbedaan itu adalah anugerah Tuhan karena keberagaman kita saling mengisi dalam kehidupan ini. Jadi agama tidak bisa dikatakan sebagai sumber konflik karena tidak ada agama yang mengajarkan itu semua. Agama mengajarkan kedamaian dan memanusiakan manusia," kata LHS.


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua