Feature

Kisah Pahlawan: Kang Oto: Kiai Nyentrik Kawan Preman

Ilustrasi: Mega Halimah

Ilustrasi: Mega Halimah

Bagaimana seorang kiai bisa bersahabat dengan kawanan preman, membuat mereka tersadar dan peka terhadap kehidupan sosial masyarakat?

“Ini salah satu preman terkenal di sini,” ujar Kang Oto, begitu ia biasa disapa, tatkala ada seseorang yang masuk ke dalam rumahnya dan mengcapkan salam. Pria yang diperkenalkan Ajengan dari Pesantren Alkarimiyah, Pungangan, Subang, Jawa Barat tersebut rambutnya gondrong dan agak bergelombang. Kumisnya tebal dengan mata yang nyalang. Tubuhnya tegap. Sekilas, sosoknya mirip Advent Bangun, aktor laga legendaris ang sekali pukul mampu merobohkan sepuluh orang. Sosok itu bernama Tarmo.

Kang Oto pun menyuruhnya duduk. Sesekali, ia mempermainkan ponsel. Matanya melihat sekitar tak lama kemudian kembali menyentuh ponsel, memetikkan jari besarnya pada keyboard ponsel, entah menuliskan apa dan kembali diam. Jarak kami begitu dekat, kurang dari satu meter, 12 menit kemudian ia baru bisa tersenyum.

Ketika duduk di depan kiai, begitu sosok itu kerap menyapa Kang Oto, sosok itu menundukkan kepala. Ia seperti kehilangan kata-kata dan segala keberingasan—yang tampak jika seseorang pertama kali berjumpa dengannya—beringsut dan seolah hilang seketika. “Tapi itu dulu,” imbuh Kang Oto, diiringi tawa berderai. Sekarang, tambahnya, Tarmo sudah berubah dan menjadi sosok yang bertanggung jawab.

Tarmo sendiri saat ini bekerja sebagai keamanan di sebuah pabrik tebu, tak jauh dari Pungangan. Pria yang saat ini berusia 40 tahun tersebut merupakan salah satu (mantan) preman yang akhirnya menjadi teman Kang Oto. Bisa dikatakan ia adalah generasi awal para preman di daerah Subang yang kerap ngobrol banyak hal dengan Kang Oto, dan akhirnya ngaji di pesantren alkarimiyah dan membuat pengajian bersama yang diberi nama “Jihad”, akronim dari Ngaji Malam Ahad.

Pengajian itu pada awalnya hanyalah ngobrol-ngobrol yang kerap dilakukan Kang Oto bersama para preman belaka tiap hari sampai dini hari tiba. Jumlah yang andil pun tidak banyak, hanya 3 – 4 orang. Tema obrolan juga tidak membincangkan agama belaka, tapi bisa soal kehidupan mereka dan banyak topik yang kerap ada di masyarakat. Lambat laun, obrolan tersebut jadi banyak orang dan pada akhirnya, atas inisiatif mereka, obrolan ini dijadwal tiap hari Minggu. “Malah awalnya bernama jamaah ‘apa adanya’. Ya, karena yang diobrolkan bisa apa saja,” ujarnya.

Tahun 2002, meletuslah bom Bali, disusul dengan merebaknya terorisme mengatasnamakan Islam. Kang Oto gusar. Ia merasa Islam tidak menakutkan seperti itu. Apalagi, ia terkenal dengan dengan para preman, yang bisa jadi baru mengenal Islam.

“Sejak rame-rame bom dan jihad-jihad nggak jelas itu, nama grup kami ubah menjadi ‘jihad’. Lambangnya bedug,” ujarnya. Perubaha nama ini menurutnya untuk menunjukkan bahwa Islam itu tidak semenakutkan seperti yang terlihat di berita dan televisi. Apalagi forum ini merupakan hasil inisiasi bersama, termasuk di dalamnya para preman.

Tempat Curhat para Preman

Ia agak lupa persisnya kapan kali pertama akrab dengan para preman tapi ia tidak akan pernah lupa kejadian pertama kali yang membuat ia dekat dengan mereka. Peristiwa itu terjadi pada pertengahan tahun 2000-an. Waktu itu, ia membutuhkan seorang supir yang tangkas dan cepat. Malam itu juga, gurunya meminta ia datang ke Pandeglang, Banten. Ada sesuatu yang sangat penting dan mengharuskannya tiba dengan cepat.

“Bayangkan saja, dari Subang ke Pandeglang dari jam 9 malam, nyampe jam 11 kurang. Satu jam setengah. Itu pasti supirnya gila,” tandas pria bernam asli Thola’al Badar tersebut, pria yang sejak muda melanglang buana nyantri di beberapa pesantren, antara lain di Pesantren Tebu Ireng, Buntet, dan Sarang asuhan KhH. Maimoen Zoebair.

Perjalan dari Subang ke Pandeglang, normalny aakan memakan waktu 4 – 6 jam, bahkan lebih. Tentu saja dibutuhkan seorang dengan keahlian khusus dalam menyetir dan kepiawaian yang mumpuni menaklukkan jalanan guna mencapai Pandeglang malam itu juga. Selama perjalanan tersebut, ia pun bercakap banyak hal dengan sopir itu.

“Namanya Kang Cipto (bukan nama sebenarnya). Ternyata ia sopir bajinh loncat,” katanya. Dalam obrolan itu, ia menyadari bahwa sebenrnya jauh di hari para preman ini ternyata ingin sekali menjadi orang yang baik, tapi terkadang tidak tahu caranya dan sudah terlanjur dicap buruk oleh masyarakat.

Jika dihitung dengan berdirinya pengajian, berarti sudah lebih dari 14 tahun ia membina dan menemani para preman di daerah ini. Bahkan, ia acapkali dianggap “guru” oleh mereka. “Kalau gurunya para preman, berarti saya ngajari jadi preman dong,” kelakar Kang Oto, yang saat ini diberi amanah untuk memimpin MWC NU Patokbeusi, Subang.

Memang menurutnya, para preman di jalanan pantura ini memang sangat banyak. Namun, istilah itu hanyalah versi manusia. Ia selalu mengisahkan seorang bernama Syekh Bahrom Almajusi. Ia merupakan penjahat, germo, dan bandar judi. Seorang alim bernama Abdullah Ibn Mubarak suatu ketika bermimpi bertemu Rasulullah saw. Lalu Rasulullah menitipkan salam kepada Bahrom Almajusi. Tentu saja ia terkaget, melihat polah lakunya selama ini. “Yang kata orang preman, belum tentu jelek di mata Allah,” ujarnya.

Kang Oto sendiri di mata para preman merupakan sosok yang bisa dijadikan sebagai teman curhat yang menyenangkan. Tidak sekali dua kali, Cipto mengeluarkan keluh kesahnya kepada Kang Oto, apalagi setelah menyupiri kiai itu ke Pandeglang beberapa waktu lalu. “Misalnya kalau ada masalah A, ya perginya ke Kang Oto. Apa saja dah pokoknya,” tutur Cipto.

Menurut pria yang lahir di tahun 1968 itu, yang membuat Kang Oto dekat dengan para preman adalah pembawaannya yang membumi dan gaul dengan para preman, seolah tidak ada sekat antar mereka. Tidak seperti kiai atau ustadz pada umumnya. Jika kiai lain memilih untuk berdakwah di panggung dan terasa sangat jauh dengan masyarakat, Kang Oto sebaliknya.

Ia langsung mendatangi mereka entah di rumah, sawah maupun tempat yang dianggap orang lain sebagai “sampah”, misalnya, tempat pelacuran dan perjudian. Dan sesampai di tempat itu, bukan agama yang dibicarakan tapi masalah-masalah yang mereka hadapi dan bagaimana mereka mampu mengelola dan menyelesaikan masalahnya masing-masing. Seperti tidak ada sekat antara kiai dan preman, yang oleh masyarakat kerap dinistakan.

“Dari pak kiai, saya belajar tentang bagaimana menghargai orang,” terang Cipto, dengan tatapan mata menerawang ke atas. Ia pun menambahkan, walaupun ia dekat dengan para preman tidak pernah sekalipun ia melihat kiai turut meminum-minuman keras atau hal buruk lainnya yang dilarang agama. Itulah yang membuat dia kagum.

Kalau Jadi Kiai, Dalil Melulu

Kang Oto memimpin Pondok Pesantren Alkarimiyah sejak berumur 23 tahun. Kini umurnya sudah 45 tahun. Ia ingin jadi orang yang berguna bagi sesama, nusa, dan bangsa. Preman baginya sama saja dengan manusia lain. “Kalau jadi kiai saja, nanti dalil melulu. Kalau dengan preman, saya bisa berbicara apa saja. Itu prinsipnya,” tuturnya.

Itulah yang membuatnya dekat dengan preman. “Mereka ini kan dihindari warga, saya sebaliknya. Saya ajak kumpul bareng, ngobrol,” tuturnya. Ia pun kerap mendatangi rumah para preman itu, kalau saat pengajian ia tidak nampak. Menurutnya, cara seperti itu cocok untuk membuat hati mereka tersentuh.

Selain sosok yang ramah bagi para preman, terkadang ia juga terkenal sangat keras. Putra sulung Kok Oto, Ahmad Bahriz menuturkan bagaimana sosok ayahnya ini, “Beliau sosok biasa saja, kayak orang-orang. Nggak kayak kiai malah.”

Hal tersebut terus ia lakukan, ngobrol dengan mereka tentang perbagai hal sampai pagi tiba, dan itu hampir tiap hari ia lakukan. Itulah yang menyebabkan Bahriz resah belakangan ini. Apalagi Kang Oto terkena strike beberapa bulan lalu.

Hal ini diamini oleh Kang Oto sendiri, “Yang paling khawatir istri. Apalagi kalau soal istirahat,” kelaka pria yang dilahirkan pada Desember 1970 tersebut.

Walaupun demikian, menurutnya Kang Oto selalu bisa menjadi teman para preman dan akan terus berjuang membela agama. Ditambah saat ini ia menjadi pengasuh di pengajian Jihad (Ngaji Malam Ahad) dan Jimat (Ngaji Malam Jumat) yang beranggotakan lebih dari 300 orang dan terdiria dari para DKM (Dewan Kemakmuran) Masjid), ustadz dan para preman di daerah Subang.

“Hidup dalam dunia ini belum final. Nanti finalnya paling tidak adalah kematian. Begitu halnya preman, bisa jadi nanti mereka menjadi syafaat buat saya,” ujarnya.

Dedik Priyatno
Tulisan ini diambil dari buku “Mendidik Tanpa Pamrih: Kisah para Pejuang Pendidikan Islam” yang diterbitkan Ditjen Pendidikan Islam, Kemenag, tahun 2015.


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Feature Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua