Internasional

Kiat Menjadi Profesor, Riset dan Tulis Jurnal Internasional Bereputasi

Jakarta (Kemenag) --- Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) masih minim guru besar atau professor. Saat ini tercatat baru ada 508 professor dari 40.124 dosen, baik di PTKI negeri maupun swasta.

Hal ini mendorong Ditjen Pendidikan Islam untuk melakukan akselerasi guru besar. Proses akselerasi ini dibahas dalam webinar Litapdimas seri ke-17 dengan tema "Jurnal Internasional Bereputasi dan Kiat Menjadi Profesor", Selasa (25/08).

Hadir sebegai narasumber, Prof. Dr. Wasilah Sahabuddin, S.T., M,T (UIN Alauddin Makassar), Prof. Dr. Martin Kustanti, M.Pd (Guru Besar UIN Imam Bonjol Padang), dan Prof. Dr. M. Nur Rianto Al Arif M.Si (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Sebagai pembahas, Staf Ahli Menag yang juga Guru Besar UIN Jakarta, Prof. Dr. Oman Fathurahman, M.Hum.

Prof. Wasilah mengatakan, proses pengajuan gelar guru besar tidaklah mudah. Salah satu syarat yang harus dipenuhi yakni memiliki publikasi jurnal internasional bereputasi, minimal empat jurnal. Ini sesuai ketentuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

"Pengajuan guru besar, semuanya disarankan baik jurnal internasional ataupun jurnal nasional. Adapun jurnal internasional bereputasi, ini diwajibkan," kata Wasilah.

Menurutnya, publikasi adalah agenda penting bagi kalangan akademisi. Selain prasyarat guru besar, publikasi juga menjadi bukti utama originalitas penelitian yang pernah dilakukan sekaligus menjadi rekam jejak seorang peneliti. Melalui publikasi, peneliti bisa membangun jejaring dengan pihak-pihak luar yang terlibat dalam penelitiannya.

Senada dengan Prof. Wasilah, Guru Besar UIN Imam Bonjol Padang Prof. Dr. Martin Kustanti, M.Pd menyatakan bahwa menjadi guru besar tidak semudah membalik telapak tangan. Namun demikian, menjadi guru besar bukan hal mustahil bagi siapa saja yang ingin mendapatkan jabatan tertinggi ini.

Terkait penulisan artikel di jurnal internasional bereputasi, Martin Kustanti mengingatkan pokok-pokok penting yang harus diperhatikan seperti judul penelitian, abstrak dan latar belakang.

"Yang membuat tulisan kita ditolak biasanya karena beberapa faktor, pertama adalah pada saat mensubmit jurnal, dilihat dari judul, lalu abstrak dan latar belakangnya, ini menjadi satu catatan bagi mereka (reviewer) untuk diterima, diperbaiki atau ditolak," ujar Martin Kustanti.

Ia menambahkan, peneliti juga harus menampilkan novelty atau unsur kebaruan dalam temuan penelitian yang akan diangkatnya, agar berbeda dengan tulisan-tulisan sebelumnya.

"Apa keunikan baru yang akan kita teliti nanti. Nah ini yang harus kita berikan pada pembaca. Lihat grand theory yang kita lakukan, kita jadikan sitasi sebagai rujukan tulisan berikutnya," ungkapnya.

Sementara itu, Prof. Dr. M. Nur Rianto Al Arif M.Si dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengungkapkan sejumlah permasalahan publikasi ilmiah di Indonesia. Mulai dari rendahnya budaya riset dan menulis di perguruan tinggi. Suasana akademik kampus yang kurang kondusif untuk melakukan riset dan publikasi, kemudian terbatasnya akses rujukan pada jurnal-jurnal internasional bereputasi, akses pada pangkalan data lintas negara yang terbatas, dan keterbatasan akses fasilitas laboratorium bagi dosen eksakta.

Ketika sedang mencari data penelitian, ia pun mengingatkan agar jangan hanya untuk satu topik penelitian saja. Hal ini bertujuan untuk memperbanyak karya ilmiah, dan jangan tergantung pada hibah ketika melakukan penelitian atau pengabdian masyarakat.

Arif meminta peserta webinar agar merencanakan karir sedari awal ketika telah memilih karir sebagai dosen dan bermimpi mengejar gelar guru besar. “Rencanakan kapan mau lanjut pendidikan ke jenjang lebih tinggi (jika belum S3). Rajin menulis (terutama di jurnal) tetap berproses, jangan mencari cara instan. Lakukan kolaborasi dengan banyak peneliti dengan memperluas networking penelitian,” ujarnya.

Senior editor Studia Islamika UIN Jakarta, Prof. Dr. H. Oman Fathurahman, M.Hum selaku pembahas diskusi mengatakan tak dapat dipungkiri banyak orang yang berambisi memiliki artikel tanpa terlibat dalam prosesnya secara langsung. Fakta ini diutarakan Oman sesuai dengan pengalaman yang pernah dialaminya. Padahal, kata dia, kegiatan riset adalah bagian terpenting yang harus dijalani untuk mendapatkan sebuah artikel.

"Artikel adalah hasil, riset itu adalah prosesnya. Ini tidak bisa dipisahkan. Tapi jangan langsung punya artikel, yang terpenting adalah prosesnya," imbuh Oman Fathurahman.

Untuk penulisan artikel, Oman menekankan bahwa menulis struktur artikel tidak seperti khutbah Jum'at, melainkan harus berbasis riset. Oman pun menekankan bahwa penulisan artikel adalah ekosistem yang tidak bisa berdiri sendiri. Dengan adanya artikel berbasis riset, kadang juga tidak bisa menjadi guru besar kalau tidak diterbitkan di jurnal bereputasi internasional.

“Itu semuanya ekosistem yang harus dijalani,” tandas Oman.

Tadarus Litapdimas ke-17 ini dibuka Kasubdit Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Suwendi. Dia mendorong para dosen untuk menjadi guru besar dan lebih produktif. Tidak hanya sekedar mengajar, tetapi dosen juga meneliti dan menulis.

Menurutnya, Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam sudah membangun Moraref (Ministry of Religious Affairs Refference) yaitu sebuah portal indeks yang ke depannya akan menjadi akreditasi jurnal yang berbasis keagamaan.

“Diharapkan, ini akan menjadi salah satu instrumen agar dosen PTKI mencapai ke tingkat guru besar yaitu jurnal-jurnal yang sudah terhimpun di Moraref itu. Saat ini draft Peraturan Menteri Agama tentang jabatan fungsional dosen PTK sudah disusun. Insya Allah, pada waktunya akan didiskusikan,” harapnya.

Tags:

Internasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua