Opini

Idulfitri dan Penguatan Toleransi

Menag Yaqut Cholil Qoumas

Menag Yaqut Cholil Qoumas

"Memuliakan manusia, berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya" (Gus Dur)

Kalimat bijak dari Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di atas sengaja saya kutip untuk memaknai lebih dalam Hari Raya Idulfitri 1442 Hijriah kali ini. Di tengah ujian besar warga dunia yang masih dilanda pandemi Covid-19, Idulfitri tahun ini tepat kiranya menjadi momentum untuk menerjemahkan arti kemenangan dari Ramadan secara lebih mendalam.

Idulfitri tak sekadar dimaknai sebuah ritus ibadah seperti takbiran, salat Id atau bermaaf-maafan semata. Idulfitri juga jangan sampai dimaknai kebebasan berlebihan hingga nekat melabrak tatanan atau regulasi yang telah menjadi kesepakatan bersama. Lebih dari itu, sejatinya Idulfitri kali ini adalah mengandung pesan yang sangat luas untuk memperkuat nilai-nilai kemanusiaan.

Berbagai aturan yang dibuat seperti larangan mudik, takbir keliling dan pembatasan kapasitas jamaah di masjid atau musala memang pada situasi tertentu tidak mudah untuk diterima. Kebijakan baru itu pun sulit untuk mengobati kerinduan yang selama ini tertanam, seperti ingin pulang ke kampung halaman, bersalam-salaman atau berkunjung ke sanak kadang.

Namun sejatinya, pembatasan ini bukan berarti ingin mengurangi makna dari kemenangan Idulfitri. Aturan-aturan itu adalah bagian ikhtiar bangsa ini. Dan dari ikhtiar itu justru diniscayakan menjadi solusi untuk mencapai kemenangan yang jauh lebih besar, yakni bagi diri sendiri, keluarga, lingkungan dan bangsa Indonesia.

Hingga Rabu (12/5/2021), total kasus Covid-19 di Tanah Air tercatat telah mencapai 1,72 juta. Semua tentu sangat prihatin dengan masih begitu tingginya kasus paparan virus corona yang terangkum dalam 15 bulan terakhir tersebut. Tantangan dan masalah besar ini jelas tak akan mungkin diselesaikan oleh pemerintah sendiri.

Dari data faktual ini, maka tidak berlebihan jika di balik banyaknya orang yang terkena corona ini harus menumbuhkan leverage sehingga terciptanya kesadaran kolektif akan pentingnya sikap saling tolong menolong, membantu dan meringankan antarsesama. Membangkitkan kesadaran bersama ini penting sebab datangnya virus corona tak mengenal latar belakang agama, suku, ras, bahasa dan lain sebagainya.

Sebagai bangsa yang terbukti kuat karena memiliki sikap kegotongroyongan tinggi, semua elemen jangan pernah lelah untuk bekerja sama dan berjuang melawan pandemi Covid-19. Dengan modal komitmen dan kerja keras itu, diyakini seberapa pun kencangnya cobaan yang dihadapi bangsa akan bisa teratasi.

Perkokoh Toleransi dan Moderasi Beragama

Kesediaan hati untuk berlaku ikhlas diikuti aksi-aksi meringankan beban saudara tanpa memandang sekat-sekat pembeda seperti di atas adalah bagian wujud nyata praktik toleransi. Ketika seseorang terpanggil hatinya untuk berderma misalnya, maka yang muncul dalam pikiran dan hatinya hanyalah bagaimana orang lain meski itu berbeda keyakinan juga tetap terjaga keselamatan jiwa, akal dan kehidupannya. Mereka tidak lagi berpikir kerdil dengan hanya berupaya mengutamakan nasib atas dirinya sendiri.

Sikap-sikap positif ini harus dirawat meski seringkali dihadapkan pada situasi penuh keterbatasan. Di tengah keberagaman yang dimiliki bangsa ini, terjaganya sikap peduli sekaligus menghormati nilai-nilai kemanusiaan adalah hal yang menjadi keharusan. Dari praktik toleransi inilah yang sejatinya mampu membangun solidaritas tinggi dan memperkokoh nilai persatuan bangsa.

Bangunan toleransi ini juga perlu terus diperkuat sebagai pengikat rasa kebersamaan anak bangsa. Toleransi ini hanya bisa terwujud dengan baik jika masing-masing individu berlaku adil, berimbang dan menaati konstitusi yang menjadi kesepakatan berbangsa.

Esensi-esensi praktik toleransi ini secara lebih komprehensif telah dirumuskan oleh Kementerian Agama (Kemenag) dalam program Penguatan Moderasi Beragama. Program ini akan semakin strategis karena juga masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Kemenag pun telah merumuskan Peta Jalan Penguatan Moderasi Beragama yang harapannya akan dituangkan dalam peraturan presiden agar bisa menjadi panduan bersama seluruh kementerian, lembaga dan pemerintah daerah.

Dengan menjalankan praktik moderasi beragama, sejatinya seseorang telah menjaga harkat dan derajat menusia atau memanusiakan manusia. Dus, dengan kesadaran ini maka segala bentuk sikap dan tindakan apa pun yang berakibat pada kehancuran kehormatan sesama manusia sangat bertentangan dengan esensi agama walaupun aksi tersebut dilakukan atas nama agama. Moderasi Beragama juga memiliki fungsi kuat karena meminimalisasi sikap fanatik beragama secara berlebihan. Penafsiran kebenaran atas teks-teks agama secara membabi buta inilah yang seringkali memicu terkoyaknya toleransi beragama.

Bagi Indonesia, Penguatan Moderasi Beragama ini juga sangat strategis karena menjadi sarana memperkuat persatuan bangsa yang dibangun oleh para pendiri bangsa di atas berbagai keragaman suku, agama, budaya, ras, dan lain sebagainya.

Jelas sekali bahwa toleransi, baik yang bersifat intra-agama maupun antaragama adalah sebuah jalan kedamaian bagi semua pihak. Toleransi ini juga menjadi pilar penting bagi tegaknya demokrasi di Indonesia. Dengan kesadaran ini maka sudah seharusnya menjadi tanggung jawab bersama agar toleransi ini bisa terus terwujud di tengah-tengah masyarakat.

Idulfitri 1442 Hijriah tahun ini sangatlah istimewa untuk menerjemahkan praktik-praktik moderasi beragama yang menjadi pilar kokohnya toleransi di Indonesia. Hari Raya Idul Fitri yang jatuh pada Kamis (13/5/2021) adalah bertepatan dengan Kenaikan Yesus Kristus ke Surga. Perayaan dua hari besar keagamaan ini sudah saatnya menjadi media saling menghormati dan meneguhkan atas nilai-nilai kemanusiaan serta keagungan Tuhan. Jangan sampai perbedaan yang ada justru menjadi ajang merendahkan atau menistakan penganut agama lain. Jika itu sampai terjadi, maka seperti kata Gus Dur, sejatinya mereka telah berani merendahkan dan menistakan Tuhan yang jelas tak akan mungkin ada padanannya.

Merayakan Idulfitri di tengah pandemi dan bersamaan dengan perayaan hari besar umat agama lain juga terkandung makna tersendiri. Di sinilah, umat Islam diuji sejauhmana sikap dan kesalehan yang telah terbina selama Ramadan bisa terefleksikan dengan baik dalam kehidupan sosialnya. Jika memang kesalehan-kesalehan sosial mampu terpotret kuat, maka insyaAllah derajat ketakwaan sebagaimana tujuan final dari orang berpuasa Ramadan seperti termaktub dalam Alquran Surat Al-Baqarah 183 sejatinya telah tercapai. (*)

Tulisan ini telah tayang di detik.com pada 13 Mei 2021


Editor: Moh Khoeron

Opini Lainnya Lihat Semua

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat