Opini

Cinta Laura dan Moderasi Beragama

Cinta Laura saat sampaikan pidato pada peluncuran Aksi Moderasi Beragama

Cinta Laura saat sampaikan pidato pada peluncuran Aksi Moderasi Beragama

Bulan September dan Oktober ini patut menjadi momen perenungan terkait Moderasi dan Toleransi Beragama. Di dalamnya, beberapa kejadian yang tidak berhubungan secara langsung satu sama lain mengenai hal tersebut menjadi penjelasnya.

Dalam prosesi pemakaman wartawan senior Sabam Sirait di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Maruarar Sirait menghentikan pidato pelepasan ayahandanya karena terdengar suara azan (liputan6.com, 04/10/2021). Maruarar Sirait melakukan itu demi menghormati lantunan azan dari masjid sekitar. Setelahnya, dia menjelaskan bahwa dalam tatanan dan keseharian keluarganya, toleransi beragama telah ditanamkan sejak kecil oleh ayahnya. Baginya, menghentikan pidato saat azan berkumandang adalah wujud nilai toleransi tersebut.

Rasa sedih akan kehilangan orang tua yang begitu dicintainya dan khidmat pidato pelepasan tokoh politik nasional itu, tidak menjadi penghalang akan pesan mendasar toleransi beragama yang terus dijaganya. Ara, demikian dia dipanggil, seolah mengamini pesan penting mendiang Sabam Sirait untuk menjaga dan menjalankan toleransi beragama, bahkan ketika momen liang lahat sudah tidak bisa ditunda dan prosesinya tengah tepat di depan mata.

Amanah dan Optimisme

Sebelumnya, tidak berjarak lama dari momen pemakaman Sabam Sirait, Cinta Laura Kiehl memberikan pidato yang menggugah dalam peluncuran Aksi Moderasi Beragama (23/09/2021). Pidato berjudul “Moderasi Beragama Generasi Millenial” pada dasarnya adalah berupa sikap anak muda mengenai Moderasi Beragama dalam bentuk pernyataan sikap, himbauan, dan pengingat.

Cinta Laura mengabarkan kepada publik bahwa di tengah segala rancangan kebangsaan dan kenegaraan saat ini, dengan segala riuh, kronik, dan etalase perjalanan di dalamnya, toh pundak generasi Z dan Millenial yang akan memikul tanggung jawab segala rancangan tersebut beberapa tahun ke depan. Amanah itu tidak mudah karena berupa idealitas bangsa Indonesia yang moderen, sejahtera, dan terkemuka di dunia.

Pernyataan ini bukan dalam konteks keinginan merebut panggung yang tengah dikelola generasi sebelum mereka. Dalam pandangan anak muda yang diwakili Cinta, pernyataan itu terkait dengan kegalauan karena polarisasi dalam masyarakat yang masih terasa demikian kuat. Polarisasi itu begitu menyegala, sehingga jalan untuk idealitas tersebut terlihat masih merisaukan, terasa dingin dan berkabut. Keterbelahan itu kerap berakar dari keyakinan untuk mendikte kemauan Tuhan dan "menjadikanNya" sebagai manusia.

Dengan meminjam pandangan filosof Rene Descartes, Cinta Laura mengatakan bahwa kehendak "memanusiakan" Tuhan itu adalah nalar untuk menjadikan yang infinite (tak terbatas) menjadi finite (terbatas). Saat merasa sebagai penafsir dan pemilik tunggal kebenaran dari Tuhan, jelas saja segala nilai kebenaran menjadi dominasi tunggal; liyan, the others adalah pihak yang tidak patut diberi tempat, apalagi ruang toleransi. Padahal, keterbatasan manusia jelas tidak sebanding dengan ketidakterbatasan Tuhan.

Itulah mengapa pidatonya juga terasa sebagai sebuah imbauan, saat dia menyampaikan ajakan untuk bersikap kritis dalam beragama dan perlunya menjadikan agama sebagai kompas moral manusia.

Keramahtamahan Iman

Pada titik kompas moral dan perlunya berendah hati untuk tidak menjadikan Tuhan sebagai manusia, saya jadi teringat buku Kredensial, karya apik Trias Kuncahyono (2020) mengenai topik terkait. Saat dalam perjalanan reportase di wilayah Qom, Iran, terjadilah pembicaraan dan jamuan hangat dengan seorang ulama terkemuka setempat, Imam Muhammad Zamani. “Saya pernah seminggu tinggal di Vatikan,” tutur Sang Imam.

“Saya menghadiri konferensi dengan para uskup, tidur di Vatikan dan dianggap saudara oleh mereka. Maka, sekarang pun saya akan menyambut Anda sebagai Saudara,” katanya.

Pembicaraan ini memang “hanya” sebuah reportase, sebuah karya jurnalistik, bukan pula sebuah Sabda Nabi atau kembara Orang Suci. Namun, nilai fundamental di dalamnya adalah mengenai keramahtamahan iman yang terbuka menerima perbedaan. Keramahtamahan iman itu dibutuhkan karena nilai asasi Indonesia adalah beragam dalam segala hal terkait suku, etnis, budaya, dan lainnya.

Pada dasarnya, semua agama memiliki keunikan doktrin dan ritual masing-masing. Namun, jelas semua agama memiliki kesamaan etika sosial dalam menjunjung nilai kemanusiaan. Kekhasan dan kesamaan tersebut dengan tepat dan apik terangkum dalam nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang menekankan para pemeluk agama untuk saling menghormati agama dan para pemeluknya. Pancasila menjadi titik penting semangat keberagaman yang menyatukan, bukan menceraikan atau melemahkan.

Ini adalah nilai yang sejalan dengan semangat yang diusung Maruarar Sirait dan pidato keren Cinta Laura Kiehl. Tentu saja, sekali lagi, idealitas tersebut tidak akan pernah semudah membayangkan kesuksesan bagi jalan persemaian dan penguatan Moderasi Beragama pada masyarakat maupun lembaga pendidikan.

Tantangan dan Keyakinan

Tidak lama setelah pidatonya yang bersemangat dan berani ala anak muda, banyak komentar miring yang ditujukan pada pidatonya. Lucunya, jika memang layak dikatakan demikian, banyak di antara para penulis tersebut adalah generasi yang berjarak jauh dari Generasi Z dan Millenial, dengan asumsi dan cara pandang yang cenderung berlebihan.

Dalam komentar miring tersebut, Moderasi Beragama dikatakan menjadi bagian dari upaya menyamaratakan kebenaran agama dan menyandingkannya dengan pemahaman negatif mengenai pluralisme dan relativisme agama. Puncaknya, meskipun terdengar anekdotal, Moderasi Beragama disalahartikan sebagai Modernisasi Beragama.

Beragam pandangan minor tersebut tentu saja hanya layak dipahami sebagai pekerjaan rumah yang harus segera dibereskan. Langkah Kementerian Agama dengan menerbitkan buku-buku Moderasi Beragama dari perspektif semua agama perlu disegerasampaikan kepada publik. Beragam kemasan Moderasi Beragama yang kekinian, tanpa kehilangan makna dasarnya, perlu dikembangkan untuk mengimbangi dan menginspirasi tumbuhnya nalar keberagaman dan keberagamaan yang ditopang kemampuan critical thinking sebagai prasyarat kecakapan hidup generasi mendatang.

Cinta Laura seperti ingin mengingatkan, menggugah, dan membangunkan banyak pihak dengan pidatonya. Kritikan terhadap Generasi Z dan Millenial sebagai generasi yang penuh dengan kecuekan dan apatis dengan isu sekitar, mendapat jawaban tegas dalam ungkapan-ungkapan cerdas Cinta Laura. Dalam pidatonya, terdapat keyakinan dan semangat besar, namun juga ada pengingat.

Bagi saya, pengingat itu adalah penyadaran bahwa konsepsi Moderasi Beragama pada dasarnya menyiratkan makna kata kerja; Moderasi Beragama harus dijalankan dengan segala upaya positif dan jangan dibiarkan dicukupkan dalam pentas, selebrasi, dan diseminasi. Inilah yang rasanya menjadi wake up call untuk upaya menjalankan Moderasi Beragama bersama-sama.

Masih dalam konteks anak muda, ujung September dan pidato bernas Cinta Laura terasa selayaknya lantunan grup cadas Green Day yang digandrungi anak muda dengan hitsnya, wake me up when September ends. Ia sempat mengentak, tapi juga meyakini optimisme akselerasi Moderasi Beragama ke depannya.

Saiful Maarif (Asesor SDM Aparatur Ditjen Pendidikan Islam)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat