Opini

Buya Syafii Maarif, Pemikir Bangsa Cendekiawan Bersahaja

Buya Syafii Maarif, Pemikir Bangsa Cendekiawan Bersahaja

Buya Syafii Maarif, Pemikir Bangsa Cendekiawan Bersahaja

Pemikir bangsa dan cendekiawan bersahaja, dua kata yang saya anggap tepat melukiskan profil almarhum Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif atau biasa disapa “Buya Syafii Maarif”. Salah satu tokoh nasional itu telah berpulang ke rahmatullah, Jumat 27 Mei 2022 pukul 10.15 WIB di RS PKU Muhammadiyah Gamping, Yogyakarta. Buya Syafii Maarif yang lahir di Sumpur Kudus, Sumatera Barat, 31 Mei 1935, meninggal dalam usia 87 tahun.

Bukan hanya lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah yang berduka dengan kepergian salah satu kader terbaiknya. Berbagai elemen bangsa, lintas golongan dan lintas agama, merasa kehilangan atas meninggalnya Buya Syafii Maarif.

Perkenalan saya yang singkat dengan Buya Syafii Maarif meninggalkan kesan positif tentang sosok almarhum sebagai cendekiawan bersahaja dengan pemikiran dan kapasitas intelektualnya yang brilian sebagai tokoh bangsa. Sepanjang pengamatan saya, Buya Syafii Maarif memiliki “kepedulian di atas rata-rata orang Indonesia” terhadap masa depan negara-bangsa ini. Obsesinya tentang Islam berkemajuan dan Indonesia yang bangkit dari keterpurukan tak pernah padam hingga menjelang tutup usia.

Jejak langkah dan titik kisar perjalanan Buya Syafii Maarif dari Sumpur Kudus, sebuah kampung tersuruk di Minangkabau yang menyimpan peristiwa-peristiwa penting sejarah bangsa, sampai menjadi tokoh nasional yang dikenal dunia, melukiskan perjuangan hidup seorang anak desa yang berhasil mengubah nasib di alam kemerdekaan. Buya Syafii Maarif yang ditinggal wafat ibunya ketika berusia 2 tahun kurang, atas ajakan dan bimbingan M. Sanusi Latief yang tak pernah dilupakan jasanya dan kebetulan satu kampung dengannya, merantau ke Yogyakarta untuk melanjutkan sekolah.

Buya Syafii Maarif muda menamatkan pendidikan di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Ia kemudian kuliah sampai tingkat sarjana muda di FKIP Universitas Tjokroaminoto Surakarta (1964) dan menamatkan sarjana lengkap di FKIS IKIP Yogyakarta (1968). Meraih M.A. (Master of Arts) dari Ohio University Athens Amerika Serikat dalam bidang sejarah (1980) dan meraih gelar Ph.D dalam bidang pemikiran Islam dari Chicago University Amerika Serikat (1982).

Pada tahun 2008 ia dianugerahi penghargaan Ramon Magsaysay Awardees dan Habibie Award 2010 dari the Habibie Center. Buya Syafii Maarif pernah menjabat sebagai Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP). Buya Syafii Maarif, bersama Nurcholish Madjid dan Taufik Abdullah (dua nama terakhir ini dari LIPI) mendapat kesempatan langka mengajar di Institute of Islamic Studies, Mc.Gill University, Montreal Kanada, atas rekomendasi dari Menteri Agama Munawir Sjadzali dan diteruskan oleh Menteri Agama Tarmizi Taher.

Buya Syafii Maarif sejak 2004 menjadi penulis tetap kolom "Resonansi" Harian Umum Republika. Republik Online beberapa hari lalu merilis tulisan perdana almarhum tertanggal 13 Januari 2004 yang pesan-pesannya masih relevan hingga kini. Berikut petikannya: “Gerakan untuk sebuah good governance (tata pemerintahan yang baik) sejak beberapa bulan terakhir semakin gencar. Ramifikasinya meluas menjadi gerakan antikorupsi dan antipolitisi busuk, sebuah ungkapan yang tidak sedap didengar dan dirasakan, khususnya oleh mereka yang diperkirakan sedang berada pada sasaran tembak. Namun, sebagai bangsa yang mau belajar menjadi bijak dari berbagai kegagalan kita sejak proklamasi dalam menciptakan sebuah bangunan demokrasi yang kuat dan sehat, tentu kebangkitan ini tidak boleh setengah hati, tidak boleh pura-pura, sebab taruhannya terlalu besar, yaitu kita tidak punya masa depan. Di depan kita tidak ada pilihan lain, kecuali membangun kembali optimisme yang rasional. Sebuah bangsa yang mau belajar secara kritikal pada potret buram masa lalu, bukan bangsa yang masih menggantungkan nasibnya kepada asap kemenyan para dukun dan paranormal yang biasa menebar seribu janji,” tulis Buya Syafii Maarif dengan gaya bahasa khasnya.

“Guru saya Fazlur Rahman….” (di Chicago University, pen) – kata Buya Syafii Maarif – pernah berucap, “Bila minyak bumi lenyap dari dunia, mungkin akan ada gantinya. Tapi bila Islam yang hilang, gantinya tidak ada ada lagi.” Sebuah pernyataan dari seorang yang lebih dari 30 tahun bergumul dengan intensitas yang sangat dalam untuk memikirkan jalan keluar yang terbaik bagi masa depan Islam dan umatnya di tengah-tengah dunia yang semakin brutal, tandasnya.

Pada bagian kesimpulan buku Islam dan Politik Teori Belah Bambu (1996) yang awalnya berasal dari tesis S2 beliau, antara lain dikemukakannya: “Demokrasi dengan segala kelambanan dan kelemahannya sejauh ini masih dipandang sebagai sistem terbaik yang pernah dikenal manusia. Indonesia pascaproklamasi telah mencoba berbagai model demokrasi agar lebih sesuai dengan kepribadian bangsa yang senantiasa menuntut perumusan baru dan segar. Sesudah bebas dari penjajahan politik, nasionalisme Indonesia perlu direorientasikan untuk membebaskan mayoritas rakyat dari kondisi ketertindasan dan ketidakberdayaan ekonomi. Political will pemerintah sangat dinantikan untuk tujuan strategis ini. Praktek korupsi dan kolusi harus dinyatakan sebagai lawan nasionalisme dengan orientasi baru ini.”

Menarik digarisbawahi salah satu poin penting kesimpulan disertasi Buya Syafii Maarif di Chicago University. Menurutnya, “Berbicara secara intelektual, masa depan Islam di Indonesia tampaknya akan banyak bergantung kepada berhasil atau gagalnya umat Islam merumuskan kembali hukum-hukum syariah untuk memenuhi kebutuhan umat sekarang ini. Proses Islamisasi yang cepat dan hebat dalam masyarakat kontemporer Indonesia, benar-benar menuntut suatu bingkai kerja intelektual yang kukuh, di dalam prinsip-prinsip moral dan etik Al-Quran dapat diformulasikan dengan penuh makna dan sistematis, dan kemudian di atas landasan inilah, prinsip-prinsip Islam yang lain ditegakkan dengan mantap. Dalam jangkauan maknanya yang komprehensif inilah sebenarnya, peran utama dari kerja ijtihad.

Di awal era reformasi, Buya Syafii Maarif aktif dalam gerakan moral anti korupsi bersama mendiang H.S. Dillon, K.H.A. Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU) dan sejumlah tokoh masyarakat sipil. Gerakan moral tersebut dideklarasikan Oktober 2003. Dalam autobiografinya, Buya Syafii Maarif menulis mengenal hal itu, “Hari depan Indonesia akan tergantung kepada berhasil atau gagalnya bangsa ini melawan korupsi ini. Jika berhasil, ada harapan bahwa Indonesia masih punya masa depan. Sebaliknya, jika gagal, mungkin masih ada masa depan, tetapi sebuah masa depan yang gelap gulita.”

Dalam salah satu bab autobiografinya Memoar Seorang Anak Kampung (Penerbit Ombak, 2013), buku tersebut dihadiahkan sebagai kenang-kenangan oleh Buya Syafii Maarif ketika saya bersilaturahmi di kediaman beliau di Perumahan Nogotirto Sleman Yogyakarta tanggal 30 Agustus 2017, Buya Syafii Maarif menulis dirinya sebagai “Anak Panah Muhammadiyah”. Meski demikian, Buya Syafii Maarif bukan hanya milik Persyarikatan Muhammadiyah, tetapi telah menjadi milik bangsa Indonesia. Ia punya reputasi sebagai guru bangsa. Pemikiran dan pandangan briliannya sering diminta oleh berbagai kalangan Mulai dari presiden, menteri dan pejabat pemerintah lainnya, akademisi, politisi maupun generasi muda harapan bangsa, pernah diterima oleh Buya Syafii Maarif di rumahnya yang sederhana.

Buya Syafii Maarif mengemban amanah sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah tahun 1998 – 2005, setelah periode kepemimpinan M. Amien Rais. Selama memimpin Muhammadiyah ia meneladankan sikap jujur, lurus, amanah dan sederhana sebagaimana teladan para pendahulu Muhammadiyah. Pesan terakhir yang disampaikan kepada Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, agar menjaga keutuhan bangsa, keutuhan Muhammadiyah dan keutuhan umat.

Ia adalah pribadi yang egaliter, tampil apa adanya, low profil tanpa pura-pura dan tanpa dibuat-buat. Buya Syafii Maarif tidak ingin diistimewakan. Dalam istilah tasawuf, almarhum orang yang qanaah dan zuhud terhadap kemewahan materi dan kehormatan duniawi. Sebagai orang yang pernah menjadi pucuk pimpinan Muhammadiyah, ia rela antri menunggu giliran dipanggil sebagai pasien di RS PKU Muhammadiyah, duduk di bangku pasien sama seperti pasien lainnya. Banyak cerita inspiratif tentang kesederhanaan Buya Syafii Maarif sebagai sosok langka diungkapkan orang-orang di sekitarnya.

Dalam kesehariannya Buya Syafii Maarif yang terbuka menerima tamu dari berbagai kalangan karena ia tidak punya kepentingan pribadi apapun dan selalu menjaga jarak dengan urusan politik. Hemat saya, ketika beliau bersedia menerima tawaran menjadi anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, motifnya tiada lain karena ingin melakukan sesuatu bagi bangsa ini di ujung usianya. Sebagaimana pernah disampaikannya, “Nasib Pancasila, dimuliakan dalam kata. Diagungkan dalam tulisan. Dikhianati dalam perbuatan.”

Penting direnungkan pernyataan almarhum selaku Ketua Umum PP Muhammadiyah dalam pidato pembukaan (Iftitah) Sidang Tanwir Muhammadiyah di Denpasar tanggal 24 Januari 2002 yang mencoba menarik pembeda antara politik dan dakwah kurang lebih sebagai berikut: “Politik mengatakan: Si A adalah kawan. Si B adalah lawan. Dakwah mengoreksi: Si A adalah kawan. Si B adalah sahabat. Politik cenderung berpecah dan memecah. Dakwah merangkul dan mempersatukan.” Pernyataan itu diilhami dari pemikiran jernih negarawan dan pejuang umat Mohammad Natsir.

Dalam autobiografinya, ia menyinggung soal perbudakan spiritual yang mendewakan asal usul keturunan. “Apakah ada doktrin kitab suci selain Al-Quran yang menilai begitu tinggi kerja spiritual seseorang? Kesempatan untuk merebut posisi takwa terbuka bagi seluruh orang beriman tanpa terkait dengan latar belakang keturunan, kultur, sejarah, ekonomi dan apapun. Posisi seseorang di dunia ini ditentukan oleh kualitas hidupnya, kualitas iman dan amal, tidak oleh yang lain. Islam bagiku pada akhirnya sudah merupakan pilihan secara sadar, bukan hanya karena keturunan.”

Pendiri Maarif Institute for Culture and Humanity itu adalah figur intelektual muslim kontemporer yang mampu mempertautkan dunia pemikiran Timur dan Barat. Sebagai pemikir muslim moderat, ia tidak segan-segan melakukan autokritik secara bertanggungjawab terhadap kelemahan umat Islam dan negara-negara muslim. Ia memiliki lingkaran pergaulan yang inklusif, lintas golongan dan lintas agama. Sampai usia lanjut, ia tidak lelah berpikir, mengemukakan pandangan kritis yang objektif dan mengutarakan kerisauan sembari memberi masukan melalui lisan dan tulisan di media massa sebagai sesepuh bangsa, menyangkut kehidupan umat, bangsa dan negara yang dicintainya. Petuah dan wasiat-wasiat Buya Syafii Maarif tersebar dalam puluhan buku hasil karyanya serta ratusan artikel di Harian Kompas, Republika serta publikasi Muhammadiyah. Julukan sebagai guru bangsa dan “suluh bangsa” sangat layak disandangkan kepada Buya.

Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS) IKIP Yogyakarta (kini UNY) itu telah menulis dan menerbitkan puluhan buku, di antaranya: Islam dan Masalah Kenegaraan (Studi tentang Percaturan Dalam Konstituante), Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Dinamika Islam, Islam dan Politik Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin 1959 - 1965, Islam, Kenapa Tidak?, Membumikan Islam: Dari Romantisme Masa Silam Menuju Islam Masa Depan, Al-Quran Realitas Sosial dan Limbo Sejarah, Mencari Autentisitas Dalam Dinamika Zakat, Islam dan Politik, Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, dan lain-lain.

Saya ingin menutup obituari ini dengan kalimat kontemplatif Buya Syafii Maarif dalam buku Titik-Titik Kisar Di Perjalananku, edisi pertama (Mizan, 2009). “Untuk sekian kalinya aku bersyukur karena dalam usia lanjut itu, kegiatanku belum menurun secara drastis sampai satu saat detak jantungku berhenti untuk selama-lamanya. Untuk yang satu ini, seluruh rahasia hanya Allah yang tahu. Yang penting, kita jalani saja hidup ini secara wajar, sekalipun perasaan frustrasi oleh berbagai sebab sering datang juga. Hidup bergerak antara suka dan duka, tenang dan gelisah, bersemangat dan lesu, demikianlah seterusnya. Tetapi sebagai seorang yang beriman tentu aku akan selalu berharap akan mendapatkan husnul al-khatimah di ujung perjalanan duniawi yang sewaktu-waktu pasti datang.”

Selamat Jalan Buya. Semoga husnul khatimah, diampuni segala kekhilafan dan diterima Allah di tempat yang penuh kemuliaan.

M. Fuad Nasar (Sesditjen Bimas Islam)

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ahmad Zainul Hamdi, Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kemenag RI
Kenangan dan Kemenangan