Opini

Bersyukur dalam Musibah

Kepala Subdit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Suwendi

Kepala Subdit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Suwendi

Ada banyak kisah orang-orang hebat yang patut kita jadikan teladan dalam kehidupan sehari-hari. Di antaranya adalah kisah Nabi Ayub dan Nabi Sulaiman. Kedua sosok ini merupakan panutan bagi siapa pun, utamanya bagi setiap umat beragama.

Nabi Ayub merupakan personifikasi manusia ideal yang mampu bertahan dan sukses ketika ditimpa ujian yang bertubi-tubi. Mulai kehilangan keluarga, harta kekayaan, hingga ditimpa musibah penyakit yang tiada tara. Musibah yang dialaminya direspon oleh Nabi Ayub dengan kesabaran dan ikhtiar sehingga ia menjadi tokoh yang mampu melampaui segala ujian itu dengan kesuksesan dan kemuliaan.

Berbeda dengan Nabi Ayub, sosok Nabi Sulaiman merupakan tokoh paripurna yang sukses ketika diberikan kemapanan harta kekayaan dan kekuasaan. Harta dan kekayaan sang Nabi Sulaiman demikian banyak sehingga kunci gudang tempat penyimpanan kekayaannya itu harus dipikul oleh beberapa orang pembantunya. Demikian juga kekuasaan Nabi Sulaiman melampaui kekuasaan manusia biasa, sehingga ia mampu menaklukkan beberapa kerajaan yang dikuasai manusia hingga makhluk lainnya.

Di antara keberhasilan sang Nabi Sulaiman adalah kesadaran bahwa harta kekayaan dan kekuasaan yang dimilikinya itu adalah titipan dari Tuhan Yang Maha Kuasa yang patut disyukuri dengan mentasharufkan dan menggunakannya untuk kemakmuran masyarakat dan orang banyak. Dengan mensyukuri kenikmatan ini, Nabi Sulaiman adalah sosok ideal yang patut ditiru oleh semua orang.

Dua kisah di atas memberikan inspirasi bagi kita bahwa sesungguhnya Tuhan menilai seseorang itu bukan karena fakta atau kenyataan apa yang terjadi, tetapi bagaimana kita merespon atas fakta atau kenyataan itu dengan baik. Jika Nabi Ayub dihadapkan dengan fakta ditimpa musibah yang bertubi-tubi, maka Nabi Sulaiman justru dengan kondisi sebaliknya, kelapangan rizki dan kekuasaan yang melimpah. Musibah yang dialami Nabi Ayub direspon dengan sabar, sementara kelapangan yang diterima Nabi Sulaiman direspon dengan syukur. Jadi, respon sabar dan syukur inilah yang menjadikan kedua sosok Nabi ini memiliki kemuliaannya tersendiri.

Dalam kaitan itu, benar adanya apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW.

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَخَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَالِكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sungguh menakjubkan yang dialami oleh orang mukmin. Sungguh, semua yang dilakukannya menjadi kebaikan, dan itu hanya dialami oleh orang mukmin. Apabila mendapatkan kebahagian ia bersyukur, dan bersyukur itulah menjadi kebaikan baginya. Dan apabila ia tertimba kesengsaraan ia bersabar, dan bersabar itulah menjadi kebagaiaan baginya”. (Hadits Riwayat Ahmad)

Syukur dan sabar merupakan kata kunci untuk meraih kemuliaan sebagaimana para nabi dan menjadi kebaikan sebagaimana dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW dalam hadits di atas. Merespon atas peristiwa dan fakta dengan sikap sabar dan syukur inilah yang akan dilihat oleh Tuhan yang tentu akan berpengaruh terhadap ketenangan batin, kematangan psikologis, dan diraihnya kebahagiaan.

Meski secara faktual diberikan kelapangan rizki dan kekuasaan oleh Tuhan, namun jika direspon dengan sikap tidak bersyukur, digunakan tidak sesuai peruntukannya, maka niscaya kalapangan rizki dan kekuasaan tersebut malah menjadi sumber malapetaka. Demikian juga sebaliknya, jika saat diberikan musibah, keterbatasan rizki, dan ketiadaan kekuasaan kemudian direspon dengan sikap sabar dan dijadikan batu lompatan untuk perbaikan kualitas diri, maka musibah, keterbatasan rizki, dan ketiadaan kekuasaan itu justeru menjadi sumber kebahagiaan yang tiada tara.

Dengan demikian, kondisi apapun yang diterima saat ini merupakan surat cinta Tuhan agar dapat direspon dengan baik sehingga menjadi sumber kemuliaan dan kebahagiaan. Kelapangan rizki, kekuasaan, kesehatan pada hakikatnya itu sama dengan musibah, keterbatasan rizki, dan ketiadaan kekuasaan yang semuanya merupakan surat cinta Tuhan. Perspektif ini mengajarkan kepada kita agar kita dapat menerima kenyataan apapun dengan baik. Kita patut mensyukuri atas kenikmatan yang kita peroleh sebagaimana kita mensyukuri musibah yang dihadapi. Kita juga patut bersabar atas penderitaan yang dialami sebagaimana kita juga bersabar dengan kekuasaan yang kita miliki. Jka ini telah dapat difahami dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, niscaya engkau akan rasakan kedamaian dan kebahagiaan. Semoga.

Kepala Subdit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Suwendi


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua