Opini

Berselancar di Oase Pemikiran, Catatan Kecil Majelis Risalah Jakarta

Al-Zastrouw (foto: danil)

Al-Zastrouw (foto: danil)

Jumat siang lalu (08/02), saya mengikuti majelis kecil yang dihadiri oleh orang-orang besar. Ada Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Romo Magnis Suseno, Prof. John Titaley, Prof. Komaruddin Hidayat, Ulil Abshar Abdalla, Usman Hamid, Haidar Bagir, Asvinawati, Savic Ali, dan komedian Arie Kriting dan beberapa tokoh lain. Forum yang dimoderatori Alissa Wahid ini memang unik karena berhasil mempertautkan beragam manusia dari latar belakang sosial dan profesi. Mulai intelektual, pejabat, aktivis, akademisi, budayawan, seniman, artis sampai pengamen seperti saya. Mulai generasi senior sampai generasi milenial.

Siang itu kami berbicara mengenai penodaan dan pelecehan agama yang makin marak di negeri ini. Saat memberikan kata pengantar, Lukman Hakim menyampaikan adanya kekosongan norma hukum terkait dengan persoalan penodaan dan penistaan agama. Misalnya, soal definisi agama, pengertian penistaan, siapa yang berhak menentukan suatu tindakan itu dianggap penistaan atau penodaan, siapa yang berhak menentukan batasan pokok ajaran agama, dan sebagainya. Semua ini membuat tiadanya kepastian hukum yang rentan terhadap munculnya konflik.

Setelah itu paparan dari Asvinawati (YLBHI) yang menyampaikan pengalaman dan data-data empirik selama memberikan pendampingan dan advokasi terhadap kasus penistaan agama. Ada beberapa hal menarik dari paparan Asvinawati dan komentar dari audience. Di antaranya, secara yuridis ada berbagai problem kasus penodaan dan penistaan agama baik pada aspek norma hukum, struktur atau subyek hukum dan budaya hukum.

Kedua, penindakan kasus penodaan agama lebih banyak tidak memenuhi unsur-unsur yuridis karena banyak dakwaan yang dalam persidangan tidak terbukti, terpatahkan argumennya, bukti yang tidak valid dan sejenisnya tapi terdakwa tetap dihukum hanya karena tekanan publik. Belum lagi soal saksi yang enggan menjadi saksi di pengadilan karena takut pada tekanan dan intimidasi. Pendeknya banyak norma hukum yang tidak memadai untuk menjerat mereka yang dituduh melakukan penodaan dan penistaan agama.

Ketiga, banyak aparat yang lebih mengedepankan aspek ketentraman dan ketertiban daripada aspek yuridis formal. Artinya, meski secara normatif hukum tidak memadai tapi terpaksa ditindak demi menjaga ketertiban. Dalam kondisi demikian, biasanya aparat cenderung bersikap tidak tegas dan kelompok yang lemah biasanya menjadi korban dan dipaksa mengalah.

Pembicaraan semakin menarik ketika memasukkan perspektif sosiologis-kultural. Keberagaman kondisi sosial dan konstruksi budaya dengan segenap norma yang ada di masyarakat menimbulkan kerumitan ketika hukum positif formal diterapkan. Di sini terjadi benturan antara hukum positif dengan norma dan budaya yang berlaku di masyarakat, karena banyak aspek kultural etik yang tidak tercover oleh hukum positif. Dalam konteks ini, perlu ada upaya pendekatan kultural etik dalam menangani kasus penodaan agama untuk melengkapi pendekatan yuridis formal. Selain itu, perlu juga menyerap nilai kearifan lokal dalam formasi hukum positif.

Yang lebih seru ketika bicara soal definisi agama, pemegang otoritas dalam menentukan standar penistaan sampai pada peran negara dalam menjaga dan melindungi agama lokal di Indonesia. Persoalan menjadi lebih rumit ketika hal ini dihadapkan pada sikap fanatisme sempit dan pola fikir formalis tekstual para pemeluk agama yang tidak segan-segan menggunakan cara-cara kekerasan dan mengabaikan hukum positif. Sebagaimana terjadi pada kasus Qadri yang membunuh Gubernur Punjab, Salem Taseer, karena dianggap menentang UU penodaan agama. Peristiwa di Pakistan ini bukan tidak mungkin terjadi di negeri ini meski dengan skala dan modus yang berbeda. Berbagai kasus ini mencerminkan bagaimana sensitifnya UU penodaan agama sehingga terlalu riskan untuk dicabut dan dihilangkan.

Lebih memungkinkan adalah melakukan revisi terhadap undang-undang yang terkait dengan penodaan agama, khususnya UU PNPS tahun 1965 ps. 1 dan KUHP ps. 165a yang dianggap sudah tidak memadai dan problematis. Ini merupakan upaya menciptakan kepastian hukum yang bisa dijadikan pegangan bersama dalam menyikapi dan menjawab kekosongan norma hukum terkait dengan masalah penodaan agama. Selain itu, hal ini juga merupakan realisasi putusan MK yang menganggap perlunya revisi UU Penodaan Agama agar tidak terjadi kerancuan tafsir.

Selain persoalan hukum, yang penting dilakukan adalah mengembalikan aspek akhlak dalam kehidupan beragama. Karena saat ini aspek akhlak ini hampir hilang tergerus oleh kuatnya arus syariah yang simbolik formal. Hilangnya akhlak membuat sikap keberagamaan menjadi kering dan keras. Hal lain yang penting dicatat adalah aparat harus tegas pada kelompok yang sering main pressure dan negara harus kuat agar bisa melindungi kelompok minoritas yang justru sering mendapat penistaan.

Di akhir diskusi semua peserta bersepakat mengenai rumitnya persoalan yang dihadapi bangsa ini yang tidak mungkin diselesaikan hanya dengan mengedepankan satu aspek saja. Perlu ada sinergi dan integrasi dari berbagai aspek untuk menjawab persoalan yang rumit dan kompleks ini. Untuk itu, diperlukan kerendahan hati dan kearifan tinggi untuk menyelesaikan masalah yang ada.

Di forum ini, semua dapat bicara bebas, tanpa caci maki dan provokasi. Tak ada batas dan sekat. Semua ikhlas mendengar dan berbicara, saling menghargai dan menghormati. Mengikuti pembicaraan siang itu, saya seperti berselancar dan menyelam di oase dengan airnya yang jernih dan sejuk. Di sini saya tidak hanya bisa minum airnya yang jernih, tetapi juga bisa mencuci berbagai kotoran dan residu "air" politik yang keruh yang setiap hari datang membanjiri pikiran. Hiruk pikuk politik terasa senyap di forum ini, berganti harmoni yang penuh kasih dengan nana-nada cinta yang indah. Semoga forum ini terus bisa bertahan. Tabik.****

Al-Zastrouw (budayawan)

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua