Opini

Profesionalitas dan Moderasi Beragama: Catatan Tentang Survei IPMB Kemenag

JB Kleden (Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Kupang)

JB Kleden (Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Kupang)

Pada 28 Februari 2023, Kementerian Agama kembali melakukan survei tahap II Indeks Profesionalitas dan Moderasi Beragama (IPMB) bagi para ASNnya. Survei tahap I telah dilaksanakan pada 27 Desember 2022 dan tercatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI). Saya sendiri mengikuti survei ini pada tahap II.

Sepanjang ingatan yang terekam dari rangkaian pertanyaan yang ada, pertanyaan mengenai moderasi beragama menyasar indikator komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penerimaan terhadap tradisi lokal. Sementara profesionalitas diindikatori oleh nilai-nilai yang menjadi budaya kerja Kementerian Agama: melakukan pekerjaan sesuai kompetensi jabatan; disiplin dan bersungguh-sungguh dalam bekerja; melakukan pekerjaan secara terukur; melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan tepat waktu; menerima reward and punishment sesuai ketentuan.

Sebagai Kepala Kantor, saya berkepentingan untuk memantau dan melihat hasil CAT IPMB ASN Kemenag Kota Kupang untuk kepentingan internal. Hasil CAT IPMB beberapa ASN Kemenag Kota Kupang yang saya baca dari layar komputer mereka, menunjukkan indeks moderasi beragama berada di atas indeks profesionalitas, dengan nilai sikap (afeksi) yang lebih tinggi dari nilai pemahaman (kognisi). Pengamatan ini tidak jauh meleset dengan hasil yang pernah dirilis usai pelaksanaan CAT IPMB tahap I bahwa ada sekitar 40% ASN yang dinilai kurang profesional.

Saya berkelakar kepada ASN saya, kita musti bangga bahwa kita lebih unggul pada unsur afeksi ketimbang kognisi, karena profesionalitas dan moderasi beragama, kita sudah jalani tanpa terlebih dahulu mendalaminya secara konseptual. Lagi pula kita instansi vertikal dengan jumlah pegawai yang amat banyak, sulit mendapatkan kesempatan mengikuti diklat keahlian.

Tujuan survei ini, sebagaimana ditegaskan Menag Yaqut Cholil Qoumas saat memberikan sambutan melalui rekaman video yang disiarkan kepada semua titik lokasi CAT, untuk mengukur secara kuantitatif tingkat profesionalitas dan moderasi beragama setiap ASN sebagai dasar penilaian dan evaluasi dalam upaya pengembangan. Artinya survei ini tidak terutama mencari tahu seberapa kuat hubungan antara profesionalitas dan moderasi beragama melalui analisis korelasi, juga tidak mengukur seberapa kuat pengaruh profesionalitas terhadap moderasi beragama ataupun sebaliknya melalui analisis regresi.

Namun demikian secara teoretik kita dapat mengasumsikan bahwa antara kedua variabel ini ada hubungan positif. Demikian juga saling pengaruh antarvariabel bisa diasumsikan ada, meskipun pada angka berapa (sebagai peserta) tidak bisa memprediksikannya. Saya coba membuat korelasi di antara kedua variable ini secara intuitip saja.

Memaknai Moderasi Beragama di Indonesia.

Indikator pertama dari moderasi beragama adalah komitmen kebangsaan. Sebuah prinsip kebangsaan yang paling mendasar adalah Bhineka Tunggal Ika. Indonesia merupakan negara yang sejak kelahirannya menegaskan keanekaragaman, termasuk keanekaragaman agama, sebagai eksistensinya.

Demikianlah bila sebuah daerah yang sangat kental keislamannya seperti Aceh, Minangkau, Banten atau Bugis, Flores yang mayoritas Katolik dan Bali yang penuh umat Hindu, menolak simbol dan ekspresi keagamaan dari agama lain, maka kita akan spontan mengatakan bahwa sikap seperti itu bertabrakan dengan semangat kebangsaan. Tetapi kalau di Aceh, Minang, Bugis, gereja, pura, kelenteng dan wihara boleh tegak berdiri dan umat Kristiani, Hindu, Buddha, dan Konghucu boleh beribadah dengan leluasa, maka sadarlah kita bahwa warga setempat sudah kuat komitmen kebangsaannya. Demikian pula kalau di Bali yang khas Hindu ada masjid dan gereja, atau di Flores yang kental semangat kekatolikannya, mesjid, pura, kelenteng dan wihara bisa berdampingan secara damai, maka tahulah kita bahwa orang Bali dan orang Flores sudah mahfum dengan komitmen kebangsaan.

Selanjutnya, ciri yang kedua dari moderasi keberagamaan adalah toleransi. Apakah itu toleransi, gambaran dalam sebuah tayangan tiktok tentang seorang gadis berhijab menyanyikan lagu rohani Kristen? Atau misalnya dalam perayaan liturgi umat Katolik lalu ada seorang Hindu yang turut serta membawakan persembahan ke altar? Tentu bukan itu maksud toleransi. Itu sikap berlebihan yang tidak pada tempatnya.

Toleransi yang benar dan sejati berarti menerima perbedaan dan menghormatinya, memberikan ruang kebebasan bagi umat lain melaksanakan ajaran agamanya dalam kebebasan, meski dengan itu kita musti berbetah-betah dalam ketidaknyamanan karena ekspresi keberagamaan orang lain.

Contoh, ketika umat Islam melaksanakan pawai takbiran, umat Katolik Larantuka melaksanakan prosesi Jumat Agung, dan umat Hindu melaksanakan pawai Ogoh-ogoh, berarak di sebuah jalanan umum, maka jelaslah bahwa praktik keagamaan ini mengganggu lalu lintas. Namun para pengguna jalan yang berhenti dengan sabar penuh hormat sampai acara ini lewat adalah pengendara yang “menoleransi” ketidaknyamanan mereka agar orang lain dapat melakukan ritual atau tradisi keagamaannya dengan nyaman. Jadi, jangan meromantisasi toleransi dengan ikut ambil bagian dalam ekspresi keberagamaan orang lain, melainkan membiarkan dengan penuh kasih orang lain melakukan ekpresi keberagamaannya dengan leluasa, meskipun kita harus bersabar-sabar sedikit.

Indikator ketiga dari moderasi keberagamaan adalah antikekerasan. Kekerasan dalam kehidupan beragama lahir dari fanatisme sempit, karena keyakinan bahwa orang lain tidak boleh melakukan ritual keagamaannya karena warga mengidentikkan sebuah wilayah geografis dengan agama tertentu. Kita sering menyaksikan di media sosial larangan bagi sekelompok umat Kristen untuk beribadah, atau peristiwa di mana gereja dibakar bahkan diledakkan. Ini adalah kekerasan dalam hidup beragama. Sikap menentang kekerasan ini adalah bagian dari moderasi beragama.

Ciri terakhir dari moderasi beragama adalah menghormati budaya lokal dalam ekspresi keberagamaan. Dalam sejarah penyebarannya, baik Islam maupun Kristen sudah menggunakan idiom-idiom budaya dan sarana-sarana tradisional untuk melakukan dakwah. Bedug dan wayang sejak dulu digunakan oleh walisanga dalam menyebarkan Islam. Demikian juga umat Katolik menggantikan lonceng kecil dengan gong saat konsekrasi dalam perayaan misa.

Sekarang ada orang yang suka aneh-aneh, membid’ahkan bedug dan wayang karena tidak ada dalam sejarah Nabi, atau melarang penggunaan gong dalam misa karena bukan tradisi Gereja. Namun para ulama dan pastor yang berwawasan menjelaskan bahwa selalu ada perjumpaan yang saling mendukung antara ajaran agama dan ekspresi budaya setempat. Sejauh tidak mengganggu aqidah, menggantikan ajaran, maka kebudayaan setempat harus diterima dan dihormati. Namun, bila unsur kebudayaan masuk terlalu jauh ke dalam sistem kepercayaan lalu bertabrakan dengan aqidah dan ritual sakral, toh tetap dipraktikkan, maka itulah sinkretisme yang harus ditolak.

Bahasa setempat, kesenian, pakaian, musik, tata gerak dalam tarian dan komunikasi dengan Wujud Tertinggi diadopsi sebagai “pakaian” untuk menyampaikan ajaran iman. Dengan demikian prinsip-prinsip dasar keimanan tidak pernah berubah, sementara penghormatan terhadap budaya asli tetap berlangsung.

Professional di Tengah Moderasi Keberagamaan

Sudah kita lihat di atas bahwa prinsip pertama dalam sikap professional adalah pemberlakukan the right man on the right place. Kementerian Agama menerima pegawai untuk bekerja di Kementerian Agama karena memenuhi syarat pekerjaan yang dilamar, bukan karena pegawai tersebut adalah perwakilan atau perutusan agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu untuk ditempatkan di Kementerian Agama. Dalam hal profesionalitas, sentimen-sentimen keagamaan dilepaskan karena percaya pada keanekaragaman profesi yang tidak boleh dinafikan demi kesejahteraan bersama.

Kalau dalam moderasi beragama, kita yakin bahwa kebhinekaan dalam agama adalah niscaya, maka dalam pembangunan kita juga percaya bahwa keanekaragaman profesi adalah niscaya demi kepentingan publik. Bila sentimen agama bermain, maka kita bisa menempatkan the right man on the wrong place atau the wrong man on the right place.

Prinsip kedua dalam profesionalitas adalah bersungguh-sungguh dalam bekerja. Mengapa? Karena kita tahu banyak yang antre menunggu hasil pelayanan kita. Serius dalam bekerja demi pelayanan publik, bisa saja mengorbankan waktu istirahat kita. Kementerian Agama merupakan satu dari sedikit kantor pemerintah yang paling sering dikunjungi warga untuk mendapatkan pelayanan. Bayangkan apa jadinya kalau seorang harus menunggu sampai satu tahun untuk mendapatkan sebuah rekomendasi pembangunan rumah ibadah. Pengorbanan waktu demi pelayanan publik dapatlah kita analogikan dengan semangat toleransi terhadap ketidaknyamanan pribadi demi kebaikan bersama.

Prinsip ketiga, melakukan pekerjaan secara terukur. Terukur artinya tidak melebih porsi, sesuai dengan keahlian, agar pegawai lain juga kebagian kesempatan untuk melakukan pekerjaannya. Bila kita melakukan sesuatu secara berlebihan, kita merampas porsi orang lain, dan itulah kekerasan dalam profesi. Merampas porsi orang lain membuat pembayaran kita lebih besar, tetapi membuat pegawai lain mengalami kekurangan dalam pembayaran.

Bila kita tidak merelakan orang lain mengerjakan porsinya, kita tidak menghormati orang lain untuk mengaktualisasikan bakatnya dan dengan demikian merampas hak kesejahteraan mereka. Ini ada kaitanya dengan prinsip terakhir yaitu pemberian reward and punishment. Dengan merampas hak orang lain, selain tidak menghormati aktualisasi bakat orang lain, kita telah menutup kesempatan bagi orang lain untuk menerima reward.

Kalau setiap kebudayaan dapat menjadi sarana untuk ekspresi keberagamaan, maka setiap kekayaan talenta dalam diri setiap pegawai adalah sarana berkat untuk orang lain. Sarana berkat itu jangan dirampas karena kita hanya ingin menggunakan talenta kita untuk pelayanan publik. Biarlah kepelbagaian talenta menjadi kekuatan sosial untuk kesejahteraan bersama sebagaimana koeksistensi damai antarpenghayat agama yang berbeda menciptakan kerukunan yang kita cita-citakan bersama.

Melalui survei IPMB, Kementerian Agama telah menampilkan dua hal yang paralel: kalau agama boleh menghantar manusia kepada kesejahteraan ukhrawi kelak, maka profesionalitas telah menghadirkan secara antisipatoris kesejahteraan ukhrawi itu dalam kesejahteraan di dunia ini. Survei telah membuktikan bahwa pegawai yang bekerja di Kementerian Agama telah mempraktikkan moderasi beragama dan profesionalitas dalam kerja.

Semoga Kemenag menjadi pionir dalam mengadvokasi koeksistensi damai di antara warga negara dengan kebudayaan dan ekspresi keagamaan yang berbeda-beda. Bravo Kemenag untuk Indonesia Hebat. (*)

JB Kleden (Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Kupang)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua