Opini

Ormas Keagamaan Benteng Keutuhan Bangsa 

M. Fuad Nasar

M. Fuad Nasar

Kalau kita amati peta sosiologis keagamaan kontemporer di Indonesia, sebahagian besar umat beragama tergabung dalam berbagai wadah organisasi kemasyarakatan berbasis agama, disingkat ormas keagamaan. Kebhinnekaan bangsa sebagian tercermin dari kebhinnekaan ormas keagamaan yang menjadi wadah beramal bagi umat beragama.

Bangsa dan negara lain tidak seberuntung Indonesia yang mempunyai banyak ormas keagamaan sebagai penyangga kehidupan nasional. Dipandang sebagai penyangga kehidupan nasional, karena ormas keagamaan ikut menggerakkan perjuangan rakyat menentang kolonialisme dan imperialisne di masa lampau serta menanamkan kesadaran bela tanah air dengan motivasi agama. Kepeloporan ormas keagamaan dalam pemberdayaan masyarakat telah berlangsung jauh sebelum berdirinya negara Republik Indonesia.

Sewaktu menggambarkan peran strategis ormas keagamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, mantan Menteri Agama periode 1993 – 1998 Dr. H. Tarmizi Taher mengibaratkan ormas keagamaan sebagai “tenda bangsa.” Menteri Agama yang berasal dari Sumatera Barat dengan latar belakang profesi dokter dan Kepala Dinas Pembinaan Mental TNI Angkatan Laut itu menuturkan pengalamannya dalam biografi Jembatan Umat, Ulama dan Umara (1998) sebagai berikut, “Menteri Agama itu kan mesti intensif berhubungan dengan ulama. Barangkali tiap hari tidak pernah Menag nggak menelpon tokoh-tokoh organisasi keagamaan. Nah, untuk itu saya tidak melalui jalur-jalur yang terlampau formal.”

Ormas keagamaan yang besar dan memiliki jaringan luas di lingkungan umat Islam, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Sarekat Islam, Persatuan Islam (Persis), Persatuan Umat Islam (PUI), Al-Irsyad Al-Islamiyah, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Mathlaul Anwar, Al-Jam’iyatul Washliyah, Wanita Islam, Darud Dakwah Wal Irsyad, DDII, Alkhairaat, Hidayatullah dan banyak lagi yang lain, memiliki peranan penting dalam memajukan umat dan bangsa.

Kementerian Agama menempatkan seluruh ormas keagamaan sebagai mitra strategis dalam membangun umat dan merawat persatuan bangsa. Pembangunan bangsa membutuhkan keterlibatan ormas keagamaan dalam sebuah ekosistem pembangunan yang sinergis dan mutualistik. Program kolaborasi Kementerian Agama dengan seluruh ormas keagamaan perlu diperbanyak tanpa menjadikan ormas keagamaan kehilangan kemandirian disebabkan ketergantungan kepada bantuan pemerintah.

Dari Sabang sampai Merauke, tersebar puluhan ribu pondok pesantren, sekolah/madrasah, perguruan tinggi, rumah sakit, panti asuhan, lahan wakaf produktif, lembaga keuangan syariah, dan sebagainya yang didirikan dan dikelola oleh ormas keagamaan. Kekayaan ormas keagamaan melebihi Barang Milik Negara (BMN) yang dikelola di suatu kementerian/lembaga. Negara, di satu sisi, membantu ormas keagamaan, sementara di sisi lain ormas keagamaan membantu negara.

Kemandirian ormas keagamaan kerap menjadi pembicaraan publik. Dalam beberapa kesempatan saya mengikuti rapat di Kementerian Dalam Negeri, istilah “pembinaan ormas” sudah tidak dipakai sebagai bahasa kebijakan, tetapi ditransformasi menjadi “pemberdayaan ormas”. Kemandirian bukan untuk diperhadapkan dengan peran negara dalam memberdayakan ormas. Kemandirian dimaknai dalam konteks hubungan negara dan masyarakat yang saling membutuhkan.

Pendekatan kekuasaan menyangkut hubungan negara dan masyarakat telah berubah menjadi pendekatan pelayanan. Dalam hubungan ini kolaborasi Kementerian Agama dengan ormas keagamaan tidak dapat dipisahkan dari misi pelayanan umat sebagaimana dimaksud.

Perubahan sosial menjadi tantangan bagi ormas keagamaan dalam mengelola organisasi dan program keumatan. Saat ini, Indonesia tengah bersiap menghadapi bonus demografi, di mana dalam tahun-tahun ke depan penduduk usia muda atau generasi Z dan usia produktif 15 sampai 64 tahun, lebih banyak jumlahnya. Bonus demografi masih diwarnai angka kemiskinan yang tinggi, termasuk di kalangan remaja. Mengatasi kemiskinan akan lebih efektif jika dilakukan bersama-sama. Di sini terbuka peluang bagi ormas keagamaan untuk berperan aktif.

Sekitar 1998, sosiolog dan budayawan Dr. Kuntowijoyo dalam buku kumpulan eseinya yang fenomenal Muslim tanpa Masjid menceritakan keagamaan sebagian generasi baru muslim. Dijelaskan oleh Kuntowijoyo, mereka (sebagian, pen) tidak banyak mengunjungi masjid tempat umat berkumpul. Generasi yang lahir di perkotaan, pengetahuan agama didapatkan secara formal di sekolah. Pengetahuan mereka tidak didapat dari lembaga-lembaga Islam konvensional seperti masjid, pesantren, dan madrasah, ataupun perseorangan seperti kiai, ustadz, ulama, dan dai. Kalau pun di masjid, itu juga pasif dan tidak membentuk kepribadian mereka. Mereka yang disebut muslim tanpa masjid adalah mereka yang mendapatkan pengetahuan agama dari sumber-sumber anonim, seperti kaset, CD, VCD, internet, radio, dan televisi. Sumber pengetahuan yang didapat dari buku-buku, majalah-majalah, dan brosur, juga didapat dari sumber anonim. Guru agama di sekolah juga sebagai formalitas belaka, fungsi anonim tanpa ikatan.

Ormas keagamaan harus responsif dengan munculnya pergeseran aktualisasi beragama pada sebagian segmen umat khususnya anak muda dan kaum urban perkotaan. Pergeseran minat dari afiliasi pada organisasi konvensional kepada lingkaran komunitas menjadi tantangan bagi ormas keagamaan agar tetap mendapat tempat di hati generasi muda.

Kementerian Agama melalui Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Bimas Katolik, Bimas Kristen, Bimas Hindu, Bimas Buddha dan Khonghucu perlu terus menggandeng ormas keagamaan dan para tokoh agama, termasuk pemuda lintas agama, dalam kerjasama dan kolaborasi program pemberdayaan keumatan. Ormas keagamaan diharapkan meningkatkan perannya dalam pembangunan mental spiritual, kebudayaan dan kepribadian bangsa.

Segala bentuk kekerasan, kebencian dan ungkapan permusuhan terhadap sesama anak bangsa dan ormas keagamaan yang berbeda tidak dapat ditolerir di negara yang berdasarkan Pancasila. Pengalaman pahit di zaman penjajahan yakni permusuhan antara Kaum Tua dan Kaum Muda dan politik teori belah bambu (meminjam istilah Buya Ahmad Syafii Maarif) telah disimpan di kuburan sejarah, tidak boleh digali lagi.

Sejalan dengan pendekatan “moderasi beragama”, maka perbedaan bukan berarti berhadapan apalagi bermusuhan. Negara wajib melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Sesuai amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, siapa saja di republik ini, golongan berpendidikan atau tidak berpendidikan, orang yang taat beragama atau tidak taat beragama, apa pun agamanya dan paham atau aliran keagamaannya, orang kaya atau miskin, negara wajib melindunginya.

Dalam tahun-tahun politik menjelang pesta demokrasi lima tahunan, seluruh elemen bangsa perlu merawat iklim kehidupan nasional dengan mengedepankan akal sehat dan bersih dari kebencian.

Semua pihak yang berkontestasi untuk mencapai kemenangan harus bersifat jujur dan ksatria. Agama dan simbol-simbol agama jangan diperjualbelikan untuk kepentingan politik sesaat. Pemilu Legislatif, Pilpres dan Pilkada di masa kini bukan pertarungan ideologi, tetapi adu gagasan dan konsep untuk membangun Indonesia yang lebih baik. Untuk itu netralitas ormas keagamaan dan ketenangan tempat ibadah harus tetap terjaga dari hiruk-pikuk politik praktis. Pelaksanaan Pemilu bukan untuk membuat umat dan warga bangsa terbelah, menjadi gaduh, atau saling berhadapan karena beda pilihan.

Saya rasa tepat sekali kalimat Khalifah Ali bin Abi Thalib yang pernah dikutip oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, “Mereka yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan.” Wallahu a’lam bisshawab.


M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat