Opini

Menemukan Kebermaknaan Hidup

Thobib Al Asyhar (Alumni Pesantren Futuhiyyah, Mranggen, Demak, Kasubdit Kelembagaan dan Kerjasama Diktis)

Thobib Al Asyhar (Alumni Pesantren Futuhiyyah, Mranggen, Demak, Kasubdit Kelembagaan dan Kerjasama Diktis)

Viktor Emil Frankl, seorang neurolog dan psikiater asli Austria mengatakan, hidup bukan semata untuk memenuhi prinsip-prinsip kesenangan (pleasure principle). Ia menolak teori psikoanalisis Sigmund Freud yang amat masyhur sebagai rujukan psikologi mainstream.

Bukan pula, hidup yang diorientasikan untuk memenuhi hasrat kuasa (will to power). Karenanya, ia menentang konsep psikologi individual ala Alfred Adler, psiko-terapis Austria. Baginya, hidup yang hanya fokus untuk kekuasaan akan mengurangi energi batin untuk menemukan makna hidup.

Frankl mengemukakan sebuah teori yang dikenal logoterapi. Teori ini menekankan bahwa hidup itu bukan tentang menghindari kesedihan dan mencari kesenangan. Lebih dari itu, hidup harus mampu menemukan maknanya. Sehingga, manusia harus siap menghadapi penderitaan, kesulitan dan tantangan. Hanya butuh satu modal penting, yaitu adanya keyakinan bahwa setiap penderitaan atau kesulitan pasti memiliki makna.

Fokus Frankl lebih pada bagaimana setiap orang mampu memaknai penderitaan, kesedihan, dan kesulitan yang dihadapi. Segala penderitaan harus menjadi "media" yang mampu membangkitkan jiwa. Teori tersebut muncul setelah ia menjadi salah satu tahanan korban kekejaman Holocaust, Nazi.

Setiap hari ia melihat dan mengalami langsung penyiksaan tanpa jeda. Kerja paksa tanpa upah dan makanan yang cukup. Bahkan ia kehilangan orang-orang terkasih, orang tua, saudara, dan istrinya di kamp penyiksaan Nazi tersebut. Namun, dewi Fortuna masih berpihak padanya. Ia bisa selamat dari kematian setelah melarikan diri.

Baginya, penderitaan atau kesulitan yang dialami setiap manusia adalah keniscayaan. Manusia tanpa pernah mengalami kesulitan, hidupnya tidak akan sempurna. Karenanya diperlukan sikap batin agar kita mampu menerimanya dengan hati lapang. Saat masih di kamp Nazi dan dipaksa kerja tanpa upah, dia berkata: Aku sadar, kalau aku kembali bekerja, dalam waktu cepat aku akan mati. Namun, kalau memang aku harus mati, setidaknya kematianku mempunyai arti.

Sumber pemaknaan hidup, bagi Frankl, terletak pada keyakinan bahwa setiap manusia wajib memiliki kepedulian terhadap orang lain dan keberanian menghadapi situasi sulit. Dengan cara apa? Dengan mengoptimalkan kebebasan spiritual dan kebebasan berfikir untuk menemukan makna hidupnya meskipun sedang berada pada kondisi fisik dan mental yang tertekan.

Uraian di atas sangat relevan dengan pesan moral puasa. Kondisi lapar dan haus, apalagi di tengah terik mentari, menyadarkan kita akan pentingnya memiliki jiwa solider. Situasi "sulit" melalui puasa membangun betapa lapar dan haus sudah biasa dialami oleh mereka yang papa.

Sebuah hadits nabi yang sangat populer menyebutkan: "Tidaklah mukmin, orang yang kenyang, sementara tetangganya lapar sampai ke lambungnya." (HR. Bukhari). Hadits ini merupakan peringatan keras bagi kita agar jangan sekali-kali menjadi orang abai (ignorance) kepada orang lain. Ancamannya serius, tidak disebut sebagai orang yang beriman (kepada Allah).

Karenanya, puasa yang kita lakukan ini harus menguatkan kesadaran bahwa hidup itu dinilai bukan seberapa banyak yang kita peroleh. Bukan pula seberapa tinggi yang kita capai. Tetapi, hidup itu soal seberapa banyak yang kita bisa bagi kepada orang lain.

Demikian juga puasa mengajarkan kepada kita agar kita tidak takut menghadapi kesulitan dan penderitaan. Bahkan jika setiap saat "cobaan" hidup datang, kita mesti menyiapkan diri untuk menerima. Ikhlas, sebagaimana kerelaan kita untuk menahan diri tidak makan meski lapar, minum meski haus, tidak marah meski tersinggung, dan tidak memenuhi hasrat kepada lawan jenis meski "sangat ingin".

Bukankah kesulitan, penderitaan, dan ujian hidup itu adalah bagian dari paket penciptaan manusia? Tiada manusia yang tidak ada masalah, dan masalah bukan untuk dihindari, tetapi dihadapi. Manusia dicipta dengan segala kelemahaan sehingga banyak keluh kesah (QS: Al-Maarij: 19-21). Namun kelemahan manusia tersebut tidak boleh menjadikannya sebagai makhluk yang tidak bisa berterima kasih kepada Tuhan dan sesama.

Semoga puasa Ramadan kita tahun ini benar-benar membentuk kita menjadi pribadi yang mampu menemukan makna hidup. Hidup bermakna akan ditemukan ketika kita dapat menaikan level energi batin kita menjadi lebih bijak, andap asor, "sumeleh" dan menjadikan Allah sebagai fokus utama tempat terbaik untuk kembali. Wallahu a'lam.

Thobib Al Asyhar (Alumni Pesantren Futuhiyyah, Mranggen, Demak, Kasubdit Kelembagaan dan Kerjasama Diktis)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Kolom Lainnya Lihat Semua