Opini

Media, Keadilan Informasi, dan PUSAKA SuperApps

JB Kleden (Kepala Kankemenag Kota Kupang)

JB Kleden (Kepala Kankemenag Kota Kupang)

Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mengajak semua pihak menjadikan momentum peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2023 untuk bersama membangun kembali pers Tanah Air yang lebih tangguh, sekaligus kuat di tengah tantangan industrialisasi media yang kian kompleks saat ini.

"Kita hakikatnya memiliki tujuan bersama untuk mewujudkan keadilan bagi masyarakat Indonesia, termasuk dalam keadilan memperoleh informasi yang berkualitas dan mewujudkan umat beragama rukun. Untuk itu saatnya kita harus lebih sering berdiskusi untuk merumuskan skema yang terbaik upaya penyelamatan pers Indonesia ini," tandas Menag. (https://kemenag.go.id/read/menag-yaqut-saatnya-perkuat-pers-indonesia-agar-kian-sehat-dan-bermartabat-3qdlp).

Mungkin ada yang nyeleneh. Ngapain Menteri Agama “ngurus” media? Tentu saja. Media berurusan dengan berita, informasi, dan fakta. Berita adalah kisah, informasi adalah naratif, dan fakta adalah makna. Hal terkecil apapun dalam kehidupan bersama bisa menjadi a tremendous trifle. Kisah kehidupan bersama yang dinarasikan secara baik dan benar melahirkan kedamaian dan ketenangan hidup. Fakta yang keliru dinarasikan, bisa menimbulkan konflik bahkan kerusuhan massal. Apalagi kalau itu menyangkut agama. Dan sepanjang sejarah, kita selalu berupaya membangun narasi kehidupan beragama yang baik.

Maka sebagai menteri yang menangani lalulintas kehidupan umat beragama di Indonesia, sangat wajar kalau Gusmen dihinggapi kecemasan dan keprihatinan akan tanggungjawab pers terhadap kehidupan beragama yang rukun untuk Indonesia hebat. Kewajiban setiap media untuk accountable terhadap publik mewujudkan kehidupan bersama yang rukun dan damai.

Apakah ini tidak lebih dari wishful thinking seorang Gusmen? Tidak juga. Ini adalah journalistic benchmark untuk pers membangun demokrasi bermartabat. Keadilan informasi yang berkualitas, bukan saja kebajikan yang harus dimiliki media terhadap publiknya, tetapi juga keutamaan yang harus ada pada setiap pekerja pers berhadapan dengan dirinya sendiri. Sebagai seorang penulis media, Gusmen paham betul bahwa fakta media, bukanlah suatu kejadian sebagaimana terjadi tetapi suatu kejadian sebagaimana dikonstruksikan oleh wartawan atau oleh media.

*
Terdapat dua point penting dalam siaran pers tersebut yang menjadi harapan Gusmen terhadap media. Pertama, agar pers dapat terus meningkatkan perannya mewujudkan keadilan bagi masyarakat dalam memperoleh informasi yang berkualitas. Kedua, mewujudkan umat beragama rukun.

Harapan pers mewujudkan keadilan informasi yang berkualitas dan kehidupan umat beragama yang rukun menjadi sebuah keniscayaan untuk menjawab kegamangan sebagian besar orang akan banjir informasi di era internet ini. Tanpa perlu melakukan studi yang mendalam, seperti yang kita saksikan, di era internet ini, setiap orang dapat memproduksi konten informasi dan berita sendiri tanpa penyuntingan. Siapa saja bebas mencipta, membangun dan mengembangkan media sendiri terutama melalui platform media sosial.

Kehadiran Medsos menjadi semacam “virus corona baru” memorak-morandakan pemahaman konvensional kita mengenai media. Tidak diterbitkan seperti koran, tidak disiarkan seperti radio, tidak ditayangkan seperti tv, tetapi diposting dan didisplaykan di internet. Kecepatan menjadi etosnya. Tidak ada kabar yang lebih cepat datangnya dari WA, Twitter, FB dan Tik-Tok. Juga nyaris tidak ada perkembangan sosial politik luput dari aktivis media sosial.

Istilah trendynya hit and run. Jurnalisme yang lebih menekankan kecepatan penyampaian informasi dengan menomorduakan kelengkapan dan kelayakan bahan berita. Jurnalisme yang eksplosif-insinuatif juga mengabaikan ketelitian dan etika karena lahir dari cara berpikir instant sebagai reaksi cepat atas rangsangan seketika. Orang tidak lagi berpikir dengan keseluruhan dirinya tetapi berpikir dengan jari ketika menulis berita dengan menyampingkan keharusan melakukan verifikasi. Kerajinan tangan menjadi penentu.

Ini bukan karangan. Sebuah gunjing di FB dengan cepat menjadi big talk on small things. Twitter menjadi small talks on big things tempat presiden, menteri dan pejabat menuangkan isi hati masing-masing. Short message service WA menjadi small talks on small things generasi baby boomer dalam melewatkan malam usai gerimis. Deep thinking dianggap membuang waktu karena yang jauh lebih dibutuhkan bukan menyelami soal, tetapi menjelajahi permukaan yang membangkitkan rangsangan sejauh mungkin, tanpa perlu membedakan mana informasi, mana noise.

Perubahan ini juga turut mengubah wajah media massa (mainstream). Karena merasa dibutuhkan dan tak mau ketinggalan, awak media pun terburu-buru dalam menyiapkan dan menurunkan berita. Proses produksi berita yang menjadi hal urgen, menjadi semakin ringkas, sederhana, dan cepat. Media mainstream bersaing dalam menurunkan berita secepat mungkin yang dianggap eksklusif.

Karena tuntutan kecepatan, seorang wartawan jarang memeriksa otoritas sumber, kelayakan pernyataan dan konfirmasi ke sumber terkait. Ketika praktik jurnalistik ini menjadi suatu keharusan, maka jurnalisme tidak lagi menjadi sesuatu yang serius, karena dilakukan secara serampangan. Di sini kita dapat mengidentifikasi munculnya simtomatik media, yakni gejala penyimpangan ekstrem media terhadap standar normatif pemberitaan.

Ironisnya simtomatik media ini juga merasuki pemberitaan terkait kehidupan beragama. Kita temukan banyak postingan yang tanpa hujan angin menyinggung agama atau kelompok agama tertentu tanpa konfirmasi. Masyarakat menjadi bingung atau bahkan keliru memahami apa yang disampaikan media, menjadi tersulut emosinya, dan konflikpun dengan mudah meledak.

Maka himbauan Gusmen agar pers dapat mewujudkan umat beragama rukun menjadi menjadi catatan penting di tahun politik ini. Gusmen sendiri telah mencanangkan 2023 sebagai Tahun Kerukunan Umat Beragama . “Menjelang tahun politik, saya khawatirkan banyak terjadi hal-hal yang mengganggu keharmonisan umat beragama. Jadi kita canangkan tahun 2023 sebagai Tahun Kerukunan Umat Beragama,” ujar Menag di Surabaya, Sabtu (4/2/2023).

Sebagai seorang politisi Gusmen paham betul bahwa media massa dibutuhkan oleh setiap parpol dan setiap yang berkeinginan menjadi pemimpin nasional. Masing-masing kontestan memandang media massa melulu sebagai instrument kepentingan subyektif dan menafikan kepentingan obyektif yang harus dijalankan. Dan beberapa media tampak seperti kehilangan nalar karena menjadi alat kepentingan pragmatis-partikuar dengan mengingkari perannya sebagai ruang public deliberatif yang berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama.

Semua ini semakin menyadarkan kita bahwa apa yang secara konvensional dinamakan obyektifitas sebetulnya merupakan suatu kenyataaan yang sangat rapuh. Lalu kita mau apa. Menafikan media?

*
MEDIA isn’t dead, it’s reborn. Karena manusia adalah homo informaticus yang senantiasa bergerak cepat, dinamis, dan lincah tanpa batas. Maka memang untuk dapat bertahan di era digital yang diwarnai dengan kemajuan pesat teknologi informasi, setiap media harus selalu menjaga mutu beritanya. Dalam perspektif ini, harapan Gusmen tersebut bukan pertama-tama sebuah question of knowledge yang harus diteliti, tetapi a question of action yang harus dipecahkan dan diatasi. Termasuk Kemenag.

Media di lingkungan Kemenag tidak saja berhubungan dengan institusi, tetapi juga dan terutama berhubungan dengan suatu public pembaca. Media-media di lingkungan kemenag, baik media cetak, online, media sosial bertanggungjawab tidak saja kepada Menteri Agama dan Institusi Kemenag tetapi bertanggungjawab terhadap khalayak pembacanya. Terhadap umat beragama yang dilayaninya.

Kita pernah punya media cetak, majalah Iklas Beramal. Meski hidup enggan mati tak mau, dengan jadwal penerbitkan yang tak tentu IB telah turut berperan penting sebagai media pertukaran informasi dan berita Kemenag. Seiring dengan perkembangan dunia digital, kita melakukan transformasi digital pemberitaan dengan menggunakan berbagai platform digital, web, twitter, fb, istagram, wa dsbnya.

Perjalanan panjang transformasi digital telah menghantar Kemenag membangun PUSAKA SuperApps yang dilaunching Gusmen pada 25 Nopember 2022 lalu. PUSAKA SuperApps merupakan aplikasi yang menghadirkan berbagai fitur layanan online Kementerian Agama untuk masyarakat dengan mengintegrasikan semua aplikasi yang ada sehingga lebih memudahkan.

Tapi perlu dipahami sebagai sebuah aplikasi teknologi, PUSAKA SuperAapps never be the starting point, it is enabling tools. PUSAKA SuperAps diinisiasi berdasarkan kebutuhan Kemenag dan dimanfaatkan untuk mendukung layanan kehidupan beragama dan pendidikan keagamaan di Indonesia. Melalui Aplikasi PUSAKA SuperApps, diharapkan masyarakat Indonesia dapat secara lebih mudah mengakses layanan keagamaan yang dibutuhkan, termasuk layanan berita. (PUSAKA SuperApps memiliki konten berita)

Beberapa riset menunjukkan, generasi sekarang tidak terbiasa membaca koran dan bahkan juga buku cetak. Bila ingin mendapatkan informasi, mereka mengaksesnya dari medium internet. Maka harapan terbesar kita tentunya, dengan data keagamaan yang dimiliki Kemenag, PUSAKA SupperAps menjadi juga semacam mesin pembelajar atau artificial inteligen yang menjawab berbagai pertanyaan umat beragama seputar pembangunan agama dan keagamaan di Indonesia.

Saya berkeyakinan penuh dalam tapak-tapak maju PUSAKA SuperAps Kemenag akan menemukan value proposition baru bagi penyampaian informasi Kemenag dalam stylenya yang fresh dan new to the world sesuai kebutuhan generasi alpha.

Artinya meski sebagai aplikasi tunggal, konten berita PUSAKA SuperApps, dalam penyajian informasi tidak boleh terjebak pada trend hit and run yang lebih mengutamakan kecepatan pemberitaan dan mengabaikan verifikasi. Di sini peran kepemimpinan digital para “punggawa” PUSAKA SuperApps menjadi penentu kesuksesan, not just a technology one.

Maka sebuah newsroom bagi “punggawa” konten berita PUSAKA SuperApps harus tetap dipelihara. Inilah innermostnya, tempat para “punggawa” konten berita menjaga independensi dan integritas dalam kerja keprofesionalan, ketika sumber informasi sudah menjadi sebuah outsourching. Dalam newsroom para “punggawa” tampil sebagai otentikator, penyahih, dan smart aggregator yang mampu melampaui algoritma komputer memeriksa autentisitas informasi, serta dapat membuktikan mengapa informasi di PUSAKA SupperApps itu harus dipercaya dan layak dimanfaatkan publik.

Dalam kaitan dengan kerukunan beragama, PUSAKA SuperApps bisa menjadi forum organizer (penyedia forum) membangun kesadaran, menumbuhkan perilaku, dan menciptakan struktur yang menunjang kehidupan beragama yang rukun melalui diskusi dengan melibatkan masyarakat beragama secara aktif. Majunya sebuah negeri tidak hanya diukur oleh kemajuan teknologi tetapi justeru diukur oleh kesusastraannya. Inilah kekayaan rohani negeri manapun.

Teknologi boleh canggih, tetapi roh harus tetap hidup dan jaya. Roh semacam ini tersembunyi dalam sastra negeri yang harus dipupuk. PUSAKA SuperApps Kemenag dapat menambahkan konten yang memuat khazanah kesustraan nusantara di bidang keagamaan, seperti Islam Nusantara yang selama ini diagungkan, namun minus literaturnya, juga sastra keagamaan lainnya.

Dengan demikian PUSAKA SuperApps bukan hanya memperbesar body of knowledge digital capability kita, tetapi juga membantu membangun leadership capability dengan mempertajam tool of analysis, membantu melakukan interpretation of meaning dan memungkinkan kita melakukan self of refleksion yang memperkaya kita mewujudkan core business Kemenag.

*
DI ANTARA baris-baris siaran pers Menteri Agama terkait hari pers nasional, kita dapat membaca etos harapan ini: Sebuah peringatan terus menerus tentang “kebeluman” media mewujudkan keadilan informasi, dan bahayanya menggantikan harapan masa depan dengan ketenaran teknologi masa kini dan ketak-sempurnaan masa lalu.

Jika “punggawa” media di lingkup Kemenag mampu melakukannya dengan baik, saya yakin harapan akan keadilan informasi berkualitas dalam mewujudkan kerukunan hidup beragama pasti tercapai. Karena media Kemenag sendiri hadir sebagai sense maker (penuntun akal) yang membimbing umat beragama how to know what’s true. Sebuah kontribusi kepada human investment dalam membangun Indonesia sebagai Rumah Bersama yang aman dan nyaman bagi setiap orang yang mendiaminya. Why not? Temukan faktor-faktor pengungkitnya and finding our place in the universe. (*)

JB Kleden (Kepala Kankemenag Kota Kupang)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ruchman Basori (Inspektur Wilayah II, Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)
Puasa Birokrat