Opini

Jalan Tengah: Negasi

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin Makassar)

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin Makassar)

Anda sering bertemu dengan orang yang begitu mudah menegasikan orang lain? Kosa katanya kurang lebihnya: "tidak begitu" "salah itu", "kurang pas", agak dangkal", "kurang argumentatif", "itu klise", atau sejenisnya.

Di dunia kampus, kosa kata seperti di atas sering muncul dalam seminar, dialog, ataupun diskusi. Di warung kopi, kita juga sering menemukan cara menyampaikan pikiran dan respon seperti di atas. Di ruang publik lainnya bisa saja lebih massif. Misalnya di layar kaca, jangankan ujaran negatif, hujatan pun menjadi sangat biasa. Bahkan yang lebih sering lagi di tempat ibadah dengan aktifitas ceramah atau khutbah, salah satu frase negatif di atas mudah ditemukan.

Begitu mudah mengakses konten yang menegasikan orang atau kelompok lain. Begitu mudahnya kita membaca uploadan yang mengindikasikan kesalahan atau ketidaktepatan pandangan orang.

Kemarin anak bungsu saya mengonfirmasi pengetahuan barunya, jangan sikat gigi saat berpuasa, karena membuat makruh puasa, sambil menyimak tiktok seorang ustad. Saya menjawab bukan hanya membikin makruh puasa, tetapi membatalkan puasa, kalau sambil sikat gigi sengaja menelan air. Bahkan duduk termenung bisa membatalkan puasa, karena duduknya sambil makan jalangkote. Saya candai anak saya.

Lalu saya berusaha menjelaskan bagaimana kalau berbicara kepada orang lain dalam keadaan mulut bau karena tidak sikat gigi, bukankah itu bisa menjadi masalah baru dalam hubungan sosial?

Yang dilakukan anak bungsu saya mungkin juga banyak dilakukan orang untuk selalu mencari hukum suatu masalah. Ruang maya dan medsos tempatnya untuk mendapatkan jawaban; singkat padat dan lantang.

Pola beragama seperti ini lebih mengedepankan kedudukan hukum dibanding nilai moral sebuah ajaran. Prioritas pada pemahaman agama yang bersifat halal-haram ini bisa saja karena model pembalajaran fiqh seperti itu yang membentuk watak keberagamaan kita dari awal. Kita lebih banyak tercurah pada status hukum sebuah perbuatan dibanding mencari makna mengapa perbuatan itu ditetapkan pada hukum tertentu. Ada istilahnya dalam fiqh, tapi silakan cari sendiri. Saya tidak mau pintar sendiri, atau lebih tepatnya sok pintar. Apalagi bukan bidang keilmuan saya.

Mungkin perlu sentuhan baru dalam menalar hukum-hukum dalam beragama. Termasuk memperbaharui hukum adat berkomunikasi yang menghasilkan tradisi. Misalnya, kita bisa mengajarkan kepada anak kita, kalau berbeda dengan orang, kita mengatakan "satu pendapat baru" dibanding "tidak benar itu". Kita bisa mengatakan "menarik pandangannya" dibanding "pandangan yang aneh." Asal tetap hati-hati mengunakan kata "kita" sebagai cara halus untuk mengatakan "anda." Misalnya "dia isteri kita?" untuk memperhalus pertanyaan "dia isteri anda?"



Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua

Ahmad Zainul Hamdi, Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kemenag RI
Kenangan dan Kemenangan