Opini

Agama dan Negara

Kamaruddin Amin (Dirjen Bimas Islam)

Kamaruddin Amin (Dirjen Bimas Islam)

Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dengan penduduk Muslim terbesar di dunia dan dengan mega diversity budaya, agama, suku, bahasa dan kepercayaan sekaligus dengan tingkat disparitas regional, sosial ekonomi yang masih tinggi, Indonesia memiliki potensi agung sekaligus tantangan besar dalam perjalanannya menuju cita-citanya sebagaimana yang tercantum dalam konstitusi.

Dalam mengelola potensi dan menghadapi tantangan ini, terdapat berbagai varian dan elemen yang terus berdialektika dan berkelindan dalam pergumulan menuju Indonesia maju. Agama dengan berbagai agensinya, sumber otoritas dan varian nilai yang ditawarkannya secara fundamental turut mengkonstruk dan berkontribusi dalam pergumulan peradaban Indonesia.

Walaupun agama bersumber dari Yang Mahasuci, ajarannya suci dan mulia, dan dibawa oleh orang suci, ketika turun ke bumi menyapa manusia dengan realitas dan kepentingan yang kompleks, secara empiris agama tidak jarang disalahpahami. Kontestasi pemaknaan dan klaim otoritas terhadap agama tidak jarang terjadi. Bahkan, agama sering dijadikan sebagai instrumen pemecah sosial.

Di samping agama, terdapat varian lain yang turut berperan dalam konvergensi sosial berbangsa dan bernegara. Walaupun kadang dijadikan sumber konflik oleh umat beragama, agama telah berfungsi instrumental membentuk Indonesia modern yang damai dan maju. Konstruksi sosial budaya Indonesia tak dapat dipisahkan dari agama.

Walaupun Indonesia bukan negara agama (teokrasi), agama telah menjadi ruh suci yang bukan hanya menginspirasi, tapi juga telah masuk dalam sukma bangsa Indonesia. Agama telah, sedang dan terus berperan dan berkontribusi, tidak hanya menjadi perekat sosial tapi hampir dalam semua aspek dalam kehidupan berbangsa bernegara.

Demikian pula sebaliknya, negara telah memberi tempat yang sangat terhormat kepada agama. Negara telah menjadi wadah yang sangat sejuk dan nyaman bagi agama. Di Indonesia agama tumbuh sangat subur. Agama bukan hanya perhiasan dalam panorama indah yang bernama Indonesia, tetapi agama berada dalam struktur dan fondasi utama negara.

Hal ini dapat dilihat dari posisi agama dalam konstitusi negara (UUD dan juga Pancasila). Dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 1 menyatakan, Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara pada ayat 2 disebutkan, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Di samping itu, terdapat sejumlah undang-undang (UU) yang dibuat untuk memfasilitasi pengamalan agama di Indonesia. Mulai dari UU Perkawinan, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, UU Pengelolaan Keuangan Haji, UU Jaminan Produk Halal, UU Perbankan Syariah, UU Zakat, UU Wakaf, UU Pesantren, sampai UU Peradilan Agama, dan lainnya.

Hubungan agama dan negara sangat fundamental, mesra, dan produktif. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa dalam hal hubungan agama dengan negara Indonesia layak menjadi model negara lain.

Sebagai negara beragama non theokrasi, umat beragama di Indonesia harus memahami posisi dan potensi peran agama dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Apalagi terdapat berbagai agama yang menurut konstitusi memiliki hak dan kewajiban yang sama.

Agama memang berperan penting dalam hampir semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan hanya dalam kehidupan praksis tapi juga dan bahkan dalam pembentukan berbagai peraturan perundang undangan. Namun demikian, negara hanya dapat memfasilitasi umat beragama dalam menjalankan agamanya. Negara tidak dapat memaksakan sebuah ajaran agama untuk dilaksanakan. Negara pun tidak dapat menjadi pemutus mutlak terhadap perbedaan menyangkut implementasi agama di ruang-ruang publik.

Sebagai contoh, negara telah memfasilitasi umat Islam dengan membuat UU Zakat, bahkan telah membentuk Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) di seluruh Indonesia. Tapi negara tidak dapat memaksa umat Islam untuk berzakat.

Demikian pula dalam penentuan awal Ramadan dan awal Syawal. Meskipun pemerintah telah memutuskan, sebagian masyarakat masih mengambil posisi berbeda dari keputusan pemerintah, meski terdapat kaidah hukum yang mengatakan bahwa keputusan hakim (pemerintah) menghilangkan perbedaan (hukmul haakim yarfa’ul khilaaf). Di Saudi dan negara negara teokrasi yang lain, keputusan pemerintah mengakhiri perbedaan.

Walhasil, di negara demokrasi yang religius seperti Indonesia, umat beragama memiliki kebebasan untuk menjalankan agama dan keyakinannya dan negara menjadi fasilitator. Bahkan, negara tidak memiliki otoritas menentukan atau memutuskan kebenaran sebuah ajaran agama. Dalam hal ini, peran civil society,-ormas ormas agama menjadi penting. Wallaahu a’lam.

Kamaruddin Amin (Dirjen Bimas Islam)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua