Nasional

Tidak Ada Diskriminasi Pemeluk Agama

Bogor (Pinmas) —- Kementerian Agama tidak akan memberikan hak istimewa ataupun memperlakukan diskriminasi dalam memberi pelayanan terhadap pemeluk agama, meskipun Undang-Undang Administrasi Penduduk (Adminduk) menyebutkan bahwa setiap warga negara harus mencantumkan pilihan agama dalam kartu tanda penduduk (KTP).

“Setiap pemeluk agama di Tanah Air bebas melaksanakan dan mengamalkan agama yang dianutnya masing-masing,” kata Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Agama, H. Zubaidi di Bogor, Rabu (27/11) malam seusai membuka acara Sinkronisasi Data Kemenag Tahun 2013.

“Kementerian Agama tidak akan melakukan diskriminasi meski pada UU Adminduk menyebut warga yang memeluk aliran kepercayaan diharapkan dapat memilih satu di antara agama yang sudah diakui pemerintah,” katanya.

Pada acara itu hadir para pengelola data keagaaman dari seluruh provinsi, para pengelola data dari eselon satu pusat, serta Kepala Bidang Data Pinmas Sulistyowati, Kasubid Data Pendidikan Rosidin, dan Kasubid Data Keagamaan Sutaji.

UU Adminduk baru disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Para anggota dewan sepakat mengesahkan Rancangan Undang-Undang perubahan terhadap UU No. 23 tahun 2006, Selasa, 26 November 2013.

Dalam UU Adminduk disebutkan setiap warga harus memilih dan mencantumkan agama yang diakui pemerintah. Agama yang diakui Pemerintah, menurut Kementerian Agama adalah Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghuchu. Menurut Zubaidi, di Indonesia masih ada agama-agama lain di luar agama yang sudah diakui. Tetapi bukan berarti lantas memperlakukannya secara diskiriminatif.

“Tidak ada perlakukan seperti itu, mereka tetap bebas dapat menjalankan ibadahnya,” ia menjelaskan.

Hanya saja, lanjut dia, pelayanan Pemerintah terhadap penganut di luar agama yang sudah diakui itu tentu tidak bisa disamakan dengan agama yang pemeluknya lebih besar. Seperti Konghuchu, pemeluknya tidak sebanyak umat Islam atau pun Kristen. Mereka bisa menjalankan ibadahnya dengan baik.

Memang di Kementerian Agama tidak ada Dirjen Konghuchu. Namun untuk melayani umat terhadap agama yang penganutnya besar, seperti Islam ada Dirjen Pendidikan Islam (Pendis), Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam. Demikian juga untuk Hindu, ada Bimas Hindu, seterusnya Bimas Buddha dan Kristen.

Kenapa? Alasannya, karena belum cukup efisien jika punya Dirjen Konghuchu. Tapi, untuk pelayanan tetap ada. “Yang penting soal pelayanan. Tidak ada diskriminasi soal ini,” ia menambahkan.

Terkait dengan pencantuman agama sebagai identitas dalam KTP, Zubaidi menyatakan, dari dulu hingga kini harus disikapi hati-hati. Agama adalah wilayah sensitif, namun patut disyukuri bahwa dengan adanya UU Adminduk akan memberikan kepastian hukum dan kejelasan jati diri seseorang. Semua perjalanan hidup seseorang tercatat mulai lahir hingga meninggal.

Hal itu erat kaitannya juga dengan kepentingan seseorang ketika menikah, tentu dilakukan dengan tuntutan agama apa. Ketersediaan buku nikah. Juga, pada hal lain seperti pembuatan akte kelahiran, pembuatan paspor dan urusan dokumen lainnya.

Kepentingan Data

Zubaidi mengakui adanya UU Adminduk sangat bermanfaat bagi pendataan jati diri seseorang, khususnya status agama yang dianutnya. Sayangnya, pekerjaan itu tidak semudah membalik telapak tangan.

Dulu, sebelum 1999, ada penganut Agama Konghuchu mencantumkan data kependudukannya di KTP sebagai pemeluk Agama Buddha. Setelah Agama Konghuchu mendapat pengakuan, di antara mereka ada yang kemudian mengubah data agamanya menjadi Agama Konghuchu.

Konsekuensi berikutnya menyangkut rumah ibadah. Sampai dengan sekarang, masih ada sebagian umat Konghuchu dan umat Buddha yang mempersengketakan rumah ibadah mereka, apakah menjadi rumah ibadah umat Budhha ataukah umat Konghuchu.

Karena itu, lanjut dia, melalui rapat sinkronisasi data yang berlangsung selama dua hari hingga 29 Nopember, diharapkan diperoleh data aktual, akurat yang dapat dijadikan acuan kerja bagi kementerian itu. Data bidang keagamaan yang menyangkut jati diri seseorang, data rumah ibadah, lembaga pendidikan, mempunyai banyak varian. Belum lagi data lembaga keagamaan di luar pendidikan. Untuk itu ia berharap semua data tersebut segera dapat “di-up date”.

Zubaidi pun minta kepada para peserta untuk melepaskan ego sektoral dalam menyusun data Kementerian Agama Dalam Angka 2013, yang sudah harus terbit pada awal 2014 sehingga bisa digunakan sebagai bahan menyusun kebijakan ke depan.

Menyusun data selengkap apa pun memang sulit. Kamus bahasa saja, yang disebut lengkap saja, pasti ketika diterbit sudah dijumpai kekurangannya. Sebab, ketika proses pencetakan berlangsung di tengah masyarakat sudah muncul kata-kata baru yang diserap dari berbagai bahasa daerah atau pun asing.

Kini kendala yang kerap ditemui dalam menyusun data tersebut, menurut Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Agama itu, solusinya sudah ada. Yaitu, antara lain memanfaatkan teknologi informasi sehingga mudah diakses bagi para pemangku kepentingan dan publik. Hal ini juga sejalan dalam menciptakan good governance atau tata kelola pemerintahan yang baik. (ess/ant/mkd)

Tags:

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua