Nasional

Tausiah Menag Pada Hari Pers Nasional

“Membenahi Relasi Pers-Pemerintah Guna Memenuhi Harapan Rakyat”

Pengantar

Saya mengucapkan terima kasih karena telah diundang ke acara bedah buku dalam rangka peringatan Hari Pers Nasional. Terima kasih pula karena telah mendaulat saya sebagai pembicara mewakili tokoh dari Kabinet Kerja. Saya mempergunakan kesempatan ini untuk menyampaikan beberapa hal terkait apa yang saya kerjakan sebagai menteri dan apa yang saya pahami seputar media. Meskipun boleh jadi apa yang saya sampaikan adalah pandangan pribadi, bukan secara resmi mewakili sikap pemerintah.

Menurut hemat saya, peringatan Hari Pers Nasional tepat sekali diadakan di Batam, wilayah Kepulauan Riau. Ini sesuai visi-misi pemerintah yang sedang berupaya mengembalikan kejayaan maritim. Kepulauan Riau juga identik dengan budaya Melayu sebagai salah satu identitas kebangsaan yang mewarnai Indonesia. Dalam konteks sekarang, Riau adalah pintu masuk menuju integrasi ekonomi sekawasan Asia Tenggara atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang mulai berlaku akhir tahun 2015 ini.

Saya juga berterima kasih kepada rekan-rekan media yang selama ini memberikan ‘ruang’ yang cukup bagi kami untuk mengkomunikasikan hal-hal penting bagi publik. Ruang ini terasa lebih lega bagi saya ketika diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat dalam forum diskusi yang disiapkan panitia.

Tak lupa, saya sampaikan salut kepada teman-teman wartawan yang tak bosan memberitakan berbagai kegiatan dan isu keagamaan di Indonesia. Diangkatnya isu agama sebagai bahan berita menunjukkan bahwa negeri ini masih demokratis tapi relijius, masih menempatkan agama sebagai bagian penting dalam kehidupan bermasyarakat di era yang cenderung bebas.

Menyehatkan Pers-Pemerintah

Saya senang sekali, ada sesuatu yang beda dari peringatan Hari Pers Nasional atau HPN kali ini. Jika sebelum-sebelumnya HPN identik dengan harlah atau milad PWI, maka sekarang kegiatan ini mulai terasa sebagai pestanya pers nasional. Sebab, terlihat dari banner-banner yang ada, beberapa organisasi dan elemen pendukung pers lainnya seperti IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia), ATVSI, SPS (Serikat Perusahaan Pers), hingga Dewan Pers dan PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia) turut merayakannya. Ini artinya ada upaya untuk mengintegrasikan semua elemen agar bisa bersama-sama membangun pers yang lebih maju. Ini merupakan semangat luar biasa ketika di ranah yang lain, politik dan agama misalnya, terjadi kecenderungan berpecah belah dan akrobatik. Semangat kebersamaan ini adalah modal dasar yang kuat bagi pers dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Semangat kebersamaan itu juga akan memberikan suntikan tersendiri bagi pemerintah yang sedang berupaya mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kami para eksekutif perlu mendapatkan sokongan dari pers supaya bisa menjalankan pemerintahan dengan baik. Apalagi, kata orang, pemerintahan Jokowi-JK ini sedang dirongrong oleh oligarki politik.

Namun, di sini saya tidak mau berlebihan memberikan pujian buat para insan pers sekalian. Katanya, tidak baik kalau terlalu banyak atau kekenyangan. Sebaliknya, karena saya Menteri Agama, maka saya justru ingin sedikit menyampaikan “tausiah” untuk teman-teman media. Sedikit melepaskan dahaga batin bagi teman-teman yang karena saking sibuknya terkadang tak sempat bertafakur atau mengecas ulang baterai. Mudah-mudahan kita semua mendapatkan hidayah untuk menuju ke arah kebaikan.

Secara umum, ada tiga hal penting yang patut kita ingat bila bicara tentang pers. Tiga hal itu sebenarnya sekadar merangkum problematika pers dan pemerintah yang dipaparkan para penulis buku “Menyongsong Kepemimpinan Nasional Pro Rakyat” yang sedang kita bedah.

Pertama, kita patut bersyukur bahwa pers di Indonesia terus berkembang. Teknologi informasi yang tumbuh cepat turut menyuburkan perkembangan media massa dan keragaman cara dalam menyampaikan pendapat. Demokrasi kita telah bisa dirasakan hingga di ranah digital.

Kebebasan pers yang kita nikmati adalah anugerah. Maka, jangan sia-siakan anugerah yang telah diraih dengan susah payah semenjak masa reformasi 17 tahun silam. Salah satu cara mensyukuri anugerah tersebut adalah dengan menjalankan pers sesuai fungsinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Fungsi utama pers adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena itu, pers harus mampu mendudukkan beragam persoalan pada konteksnya, memberikan pencerahan, edukasi, informasi yang terang benderang bagi publik, serta memasok kabar yang menyehatkan. Fungsi berikutnya adalah sebagai pilar demokrasi. Pers harus konsisten berperan sebagai watch dog bagi terselenggaranya demokrasi sesuai konstitusi yang kita sepakati bersama.

Sepemahaman saya, pekerjaan pers ibarat tugas para nabi. Pers memegang amanat besar, dipercaya oleh rakyat untuk memantau dan mengontrol jalannya pemerintah yang mendapatkan mandat dari rakyat. Teman-teman media harus menjaga amanat itu dengan senantiasa mengingatkan kami, pemerintah, untuk menunaikan setiap janji dan program yang telah dicanangkan. Seperti peran nabi, sampaikanlah kebenaran, tunjukkan antara yang haq dan batil, serta jangan biarkan kami terjerumus dalam kesalahan ketika menjalankan pemerintahan.

Kritikan yang keras dan menyengat tentu diperlukan untuk menyadarkan diri kembali siuman. Tapi kalau dosisnya kelewat berlebihan dan meninggalkan cara-cara “ketimuran”, maka yang didapat bisa bertolak belakang dengan yang diharapkan. Selain itu, kita juga bisa melakukan langkah konstruktif dengan berdialog, saling terbuka, dan berorientasi pada kemaslahatan publik.

Kedua, pers harus sehat. Indikator kesehatan itu cuma dua, sehat fisik dan sehat psikis atau jasmani dan rohani. Sehat fisik artinya media massa harus memiliki kemampuan bersifat material seperti infrastruktur, finansial, manajerial, dan sumber daya manusia. Sedangkan sehat psikis berarti memiliki kewarasan dalam hal konten dan kemasan.

Mengutip tulisan Ketua Dewan Pers Pak Bagir Manan dalam buku “Menyongsong Kepemimpinan Nasional Pro Rakyat”, masalah internal pers meliputi aspek jurnalistik dan non jurnalistik. Yakni, menyangkut kapasitas atau kemampuan wartawan dan mengenai urusan manajemen redaksional dan bisnis.

Saya berharap acara ini bisa menjadi momentum bagi para pengelola media agar lebih meningkatkan kapasitas wartawannya baik dari teknis maupun etis. Hal ini supaya wartawan dapat bekerja lebih profesional dan media dapat menyajikan berita yang lebih berkualitas kepada publik. Di tengah derasnya arus informasi, publik berhak mendapatkan berita yang bermutu supaya kehidupan berbangsa dan bernegara di Tanah Air ini bisa lebih bermutu pula.

Saya termasuk bagian dari publik yang mengonsumsi media massa sebagai sumber referensi dalam mengambil kebijakan dan melayani kepentingan masyarakat. Tak pelak, jika ada kekeliruan dalam mengambil kebijakan dan melayani rakyat, maka boleh jadi karena sumber informasinya juga keliru. Karena itu, mohon jangan sesatkan kami agar tak salah melangkah.

Memberitakan hal-hal populis yang dilakukan Presiden Jokowi maupun beberapa menterinya memang menarik, dan terus terang hal itu membantu pencitraan kami. Tetapi ada hal yang lebih penting, bahwa apa yang kami lakukan harus benar-benar berdampak kepada rakyat. Jangan cuma indah di media, tapi rakyat kurang merasakannya.

Dalam mengonsumsi informasi, saya tentu memilih media massa yang kredibel, berintegritas, dan independen atau memiliki konten yang sehat. Media massa yang demikian biasanya pasti sehat pula secara bisnis sehingga seharusnya mampu menyejahterakan wartawannya. Maaf, soal ini perlu saya singgung, karena kita harus sama-sama melakukan “Revolusi Mental” sebagaimana ajakan Presiden Joko Widodo.

Marilah kita melakukan Revolusi Mental dengan “Ibda’ binafsik”, dimulai dari diri sendiri. Revolusi mental itu di sini berarti kita harus memperbaiki relasi media dan pemerintah. Seperti diingatkan para pemerhati pers dalam buku ini, kami dari pemerintah akan berupaya lebih jujur, lebih terbuka, dan siap menerima kritik dari pers. Tapi kami berharap teman-teman juga lebih obyektif, komprehensif, dan konstektual dalam memberitakan apa saja yang dikerjakan pemerintah.

Dalam konteks bisnis pers, selama ini pemerintah terkesan hanya jadi obyek atau “hard target” untuk memasok pendapatan media lewat iklan, program sosialisasi, dan amplop wartawan. Ada juga kesan seolah sebagian wartawan bekerja untuk pemerintah sehingga ada gaji dari APBN. Relasi seperti ini bisa dimaknai pers turut memboroskan anggaran negara, menurunkan independensi media, juga meruntuhkan kredibilitas profesi wartawan.

Ke depan kita harus mengubah pola ini. Marilah kita pergunakan APBN dengan berorientasi pada kepentingan rakyat dan pembangunan. Anggaran-anggaran untuk media di pemerintahan mungkin perlu diubah menjadi dana yang lebih produktif. Caranya misalnya, mengatur ulang diseminasi iklan dan sosialisasi program serta mengalihkan dana amplop di pusat maupun daerah menjadi kegiatan berbasis peningkatan kapasitas wartawan.

Kalau ada format lain yang lebih bagus, silakan didiskusikan lebih lanjut oleh organisasi-organisasi wartawan dan media serta Dewan Pers. Terpenting, konsep dasarnya adalah: kalau kita berhasil meningkatkan pembangunan dan menaikkan pertumbuhan ekonomi sesuai harapan, insyaallah kue bisnis akan semakin besar bagi industri media. Dari situ akan tercipta industri pers yang lebih dinamis dan sehat sebagai bekal menghadapi pasar bebas ASEAN. Dengan kata lain, mari kita coba membenahi relasi media dan pemerintah menjadi lebih produktif sehingga industri pers tumbuh sehat dan publik pun merasakan dampaknya. Setuju?

Ketiga, junjunglah kode etik. Sekilas membaca kode etik wartawan Indonesia, saya merasakan ada kesamaan dengan nilai-nilai agama, dan semua itu terkait dengan mentalitas atau moralitas. Dalam kode etik misalnya disebut, wartawan wajib menyiarkan informasi secara independen, akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Ada juga larangan menerima sogokan, menyalahgunakan profesi, hingga tidak boleh bertindak diskriminatif. Kemudian ada ketentuan meminta maaf bila bersalah. Kewajiban, larangan, dan sikap moral bagi wartawan atau media itu jelas sekali selaras dengan ajaran-ajaran agama. Dalam fiqh Islam, ada istilah seperti fitnah, ghibah, ghadab, dan risywah atau rasuah sebagai hal yang dilarang. Jadi saya kira, wartawan yang patuh kode etik sama artinya penganut agama yang salih dan salihah.

Sebagai sebuah institusi, media atau pers dapat memberikan dampak sosial yang sangat luas terhadap tata nilai, kehidupan, dan penghidupan masyarakat yang mengandalkan kepercayaan pada informasi. Untuk itu, keluhuran moral para teman-teman pelaku media akan jadi teladan bagi semua elemen bangsa ini. Keluhuran moral itu akan tercermin dengan sendirinya dari keteguhan kita menjaga kode etik. Menurut survei Edelman Trust Barometer, kepercayaan publik terhadap intitusi media saat ini mencapai 68 persen. Jangan runtuhkan kepercayaan yang demikian besar itu dengan standar berita yang rendah dan menabrak kode etik. Ketika media berintegritas dan kredibel, maka kontrolnya terhadap penyelenggaraan negara atau kegiatan pemerintah akan terasa lebih bermakna bagi rakyat.

Penutup

Semoga Hari Pers Nasional kali ini bisa menjadi momentum bagi kita semua untuk berbenah dan melakukan revolusi mental untuk meningkatkan kualitas pers sekaligus kehidupan bangsa Indonesia.

Karena tidak afdol kalau ke Tanah Melayu tanpa bermain kata-kata, maka saya sampaikan sedikit pantun dan rima:

Di Batam nan memikat, kita satukan semangat # Berkalam dan bersepakat, kita teguhkan khidmat

Wujudkan harapan rakyat, jadikan Indonesia hebat # Tebarkan beragam maslahat, buktikan pers sehat

Demikian sedikit tausiah saya. Kalau ada benarnya, anggaplah itu sebagai “bonus iklan”. Kalau ada salahnya, saya siap menampung “hak jawab”. Akhirul kalam, mohon maaf sebesar-besarnya, dan selamat Hari Pers Nasional.

(pinmas/mkd)

Tags:

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua