Nasional

Ridwan Lubis: Pembubaran JAI Tidak Selesaikan Masalah

Mataram (Pinmas) --- Masalah Jemaat Ahmadiyah menjadi pekerjaan rumah (PR) umat Islam dan Pemerintah Indonesia, dari dulu hingga saat ini. Masalahnya menjadi rumit karena secara formal ajarannya tidak bertentangan dengan keyakinan Islam mainstream.

“Pada saat pertemuan antara Pemerintah dengan tokoh JAI (Abdul Basith) pada tahun 2008, ketika saya tanya bunyi syahadatnya, mereka menyatakan bahwa asyhadu an la ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasuluullah. Secara formal, tidak ada perbedaan dengan keyakinan umum. Namun, siapa yang tahu bahwa mereka berkeyakinan bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Muhammad,” tegas guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. H. Ridwan Lubis, MA di hadapan peserta Sosialisasi SKB 3 Menteri tentang Jemaat Ahmadiyah di hotel Lombok Raya, Mataram, Rabu (12/11).

Untuk menyikapi masalah ini, lanjut Ridwan, para ulama harus menjaga wibawa keulamaannya agar bisa mencegah terjadinya kekerasan sosial terhadap mereka. “Ulama itu menjadi cermin masyarakatnya. Ulamanya seperti apa, maka masyarakat akan mengikuti menjadi apa. Dalam tinjauan sosiologis, ulama itu disebut sebagai culture broker (makelar budaya) yang memiliki posisi strategis. Karena itu, dalam menyikapi fenomena Ahmadiyah, para ulama harus mampu mengelola umatnya agar tidak bertindak anarkis terhadap jemaat Ahmadiyah yang secara teologis sulit untuk dikembalikan. Karena tindakan anarkis akan merugikan semua pihak,” jelasnya.

Menurut Ridwan Lubis, Jemaat Ahmadiyah perlu didekati dari hati ke hati. Kalau banyak desakan agar mereka dibubarkan, menurutnya tidak akan menyelesaikan masalah secara tuntas, karena itu soal keyakinan. “Katakanlah secara formal dibubarkan di atas kertas, namun karena ini menyangkut keyakinan, siapa yang bisa kontrol. Artinya, ketiadaan pengakuan negara secara formal juga tidak akan bisa menghentikan mereka dalam keyakinan mereka. Buat apa kalau hanya jadi macan kertas? Sehingga di sini diperlukan pendekatan dakwah yang tepat dengan 3 pendekatan, yaitu dengan hikmah, mauidhah hasanah, dan mujadalah,” urainya.

“Sekarang, tugas ulama dalam menghadapi Jemaat Ahmadiyah adalah menyiapkan kader dakwah yang memiliki kemampuan wawasan yang siap untuk bermujadalah (berdebat). Saat ini menjadi kelemahan kita, banyak lulusan pesantren yang tidak memiliki kapasitas menjadi pendebat. Padahal dulu mereka diajarakan tentang teknik meneliti dan berdebat,” tambahnya.

Dalam kesempatan yang sama, dosen IAIN Mataram yang juga menjadi nara sumber dalam kegiatan tersebut, Dr. Suprapto, mengatakan, “Jemaat Ahmadiyah saudara-saudara kita. Kalaulah mereka tidak bisa diajak bersama dengan kita, setidaknya kita bisa mendidik sanak turunan mereka agar tidak seperti orang tuanya. Namun, prinsip yang penting untuk kita pegangi, jika mereka bisa dirangkul, kenapa harus dipukul. Jika mereka bisa dididik, kenapa harus kita hardik,” tutupnya. (thobib/mkd/mkd)

Tags:

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua