Nasional

Prof. Machasin: Perkuat Demokrasi dengan Mengelola Kebinekaan

Jakarta (Pinmas) - Proses demokratisasi dan konsolidasi demokrasi di Indonesia, mengandung banyak risiko. Kehidupan masyarakat menjadi sangat dinamis, hubungan antarkomunitas dan lembaga kerap meruncing, dan muncul hiruk-pikuk yang tak jarang misleading dengan tujuan demokrasi yang diangankan. Demikian dikemukakan Plt.Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama (Kemenag) Prof Machasin, pada acara seminar Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2012, di Jakarta, Rabu.

Hadir sebagai pembicara antara lain, Kapus Litbang Kehidupan Keagamaan Kemenag Prof M Nur Kholis Setiawan, dan peneliti Wahid Institute Ahmad Suaedi. "Karena itu, mengelola dan membina kebinekaan dengan baik adalah jawaban untuk mengeliminasi potensi risiko tersebut. ni akan praktis akan semakin memperkuat pondasi demokrasi," ujar Machasin. Pada faktanya, tutur dia, banyak hal telah dilakukan pemerintah, namun luput dari perhatian masyarakat. "Karena keterbatasan informasi yang diterima dari tangan pertama. Sementara di sisi lain, informasi lain didapat dari sumber lain yang ternyata tak selalu tepat melaporkan, atau kerap terjebak pada bias kepentingan tertentu," ujarnya.

Atas dasar itulah, tutur dia, antara lain, Laporan Tahunan Kemenag ini diterbitkan. "Buku tentang kehidupan keagamaan 2012 ini, dimaksudkan untuk memberikan informasi, laporan, atau penjelasan tentang kasus-kasus keagamaan yang terjadi sepanjang bulan Januari-Desember 2012, dari perspektif Puslitbang Kehidupan Keagamaan," katanya. Menurut dia, inilah institusi pemerintah yang salah satu tugasnya mengkaji ihwal kehidupan keagamaan masyarakat. "Ini untuk melengkapi perpektif-perspektif lain di berbagai laporan tahunan oleh lembaga swadaya masyarakat," ucapnya.

Dia mengatakan, jika demokratisasi Amerika Serikat memerlukan waktu 100 tahun, Indonesia semestinya akan lebih cepat karena pengalaman negara-negara lain membekali dan mengakselerasinya. "Di antara risiko demokratisasi dan efek globalisasi-modernisasi dewasa ini, adalah munculnya gejala multiple shocks (keterkejutan ganda) di dalam masyarakat, termasuk di kalangan umat beragama," ujarnya. Masyarakat, menurut dia, dipaksa mengalami perubahan-perubahan radikal dalam berbagai segi kehidupan. Cara-cara beragama yang konvensional dan tradisional, misalnya, tiba-tiba dihadapkan dengan kebutuhan-perkembangan kekinian yang mengharuskannya berubah. "Bahkan, konsep-konsep yang selama ini dianggap telah mapan pun ditantang oleh konsep-konsep baru yang tampak lebih menggairahkan.

Lebih dari pada sekadar adanya revitalisasi atau reformulasi ajaran agama, misalnya, melainkan memunculkan agama-agama baru yang lebih siap berkontestasi secara terbuka dengan para pendahulunya," katanya. Maka, lanjut Machasin, masyarakat beragama menjadi terkejut dan memberikan respon dalam berbagai bentuknya. Rasanya tak berlebihan mengatakan bahwa alam demokrasi Indonesia merupakan surga bagi para penjaja agama dan keyakinan, baru maupun lama. "Masyarakat Indonesia menjadi pasar potensial bagi para 'marketing' ideologi-ideologi apa pun, kiri maupun kanan. Kebebasan beragama dan berekspresi yang berdiri di tengah kerentanan bangunan hukum Indonesia. Euforia kebebasan telah menghadirkan masalah sosial baru, tumbuhnya aliran-paham-gerakan keagamaan baru," ucapnya. (Yudhiarma)

Nasional Lainnya Lihat Semua

Berita Lainnya Lihat Semua